1. Gaya Pembelajaran
Cara belajar seseorang dari hal-hal secara umum dan cara
mengatasi sebuah masalah tergantung pada hubungan yang agak samar-samar antara
kepribadian dan kognisi, hubungan ini disebut gaya kognitif. Gaya pembelajaran
merupakan hubungan antara gaya-gaya kognitif dengan konteks pendidikan, dan
faktor afektif faktor fisiologis terjalin.
Menurut Keefe (dalam Brown, 2007:
114) gaya pembelajaran dianggap sebagai sifat-sifat kognitif, afektif dan
fisiologis yang merupakan indikator tentang bagaimana pembelajar mengindera,
berinteraksi dengan, dan merespon dengan lingkungan pembelajaran. Sedangkan
Skehan (dalam Brown, 2007: 114) mendefenisikan gaya pembelajaran sebagai sebuah
kecenderungan umum, sukarela atau tidak untuk melakukan pemrosesan informasi
dalam sebuah cara tertentu.
Gaya pembelajaran menjembatani emosi dan kognisi,
misalnya gaya reflektif yang tumbuh dari pribadi yang relektif atau mood yang
relektif sedangkan gaya impulsif muncul
dari sebuah keadaan emosional yang impulsif. Gaya-gaya individu ditentukan oleh
cara individu tersebut menyerap apa-apa yang ada dilingkungan mereka. Setiap
orang akan memperlihatkan kecenderungan umum terhadap sebuah gaya atau yang
lainnya, tetapi konteks yang berbeda akan membangkitkan gaya yang berbeda pada
orang yang sama. Menurut Dornyei dan Skehan (dalam Brown, 2007: 128) bahwa
sebuah kecenderungan sikap mungkin saja berurat akar, tetapi tetap menyiratkan
adanya semacam kapasitas luwes dan ruang
untuk mengadaptasi gaya-gaya tertentu guna menghadapi tantangan situasi-situasi
tertentu.
Menurut Brown bahwa gaya pembelajaran sangat banyak telah
dikenali oleh para pendidik dan psikolog, sejak penelitian awal oleh Ausubel
dan Hill tentang pembelajaran umum untuk semua subjek hingga penelitian yang
lebih baru khusus tentang pemerolehan bahasa kedua. Erhman dan Leaver (dalam
Brown, 2007: 129 ) meneliti sembilan gaya untuk pemerolehan bahasa kedua. Pertama, depedensi-independensi bidang. Kedua, acak (nonlinear) vs berurutan
(linear). Ketiga, umum vs khusus. Keempat, induktif vs deduktif. Kelima,
sintesis vs analitis. Keenam,
analog vs digital. Ketujuh, konkret
vs abstrak. Kedelapan, penyetaraan vs
penajaman. Kesembilan, impulsif vs reflektif. Para peneliti lainnya
faktor-faktor lain penentu keberhasilan pemerolehan bahasa yang relevansi
dengan pengajaran bahasa yaitu gaya otak kiri dan kanan, toleransi ambiguitas,
dan gaya visual/audiotoris/kinestetis.
Gaya-gaya tersebut relevansi dengan terhadap pengajaran bahasa dengan
bahan pertimbangan sebagai berikut.
a. Independensi Bidang
Gaya independensi bidang merupakan kemampuan seseorang
melihat item atau faktor tertentu yang sesuai dengan sebuah bidang yang
tersusun atas item-item yang mengacaukan. Sebaliknya, dependensi bidang
merupakan kecenderungan untuk tergantung pada bidang total sehingga
bagian-bagian yang melekat dalam bidang itu tidak mudah dikenali.
Gaya bebas bidang atau field independent (FI) dapat membuat seseorang mampu membedakan
bagian-bagian dari suatu keseluruhan, berkosentrasi pada suatu (misal membaca
di halte bus) atau menganalisis variabel-variabel yang terpisah tanpa dicemari dengan variabel-variabel di
sekitarnya. Segi negeatif FI yaitu mengakibatkan padangan sempit kognitif.
Berbeda dengan gaya ketergantungan bidang atau field dependent (FD) memiliki efek peositif yaitu seseorang dapat
melihat keseluruhan, pemandangan yang luas,
konfigurasi umum dari sebuah problem, ide, atau peristiwa. Maka, jelas
bahwa FI maupun FD diperlukan untuk
masalah kognitif dan afektif yang
kita hadapi.
FI meningkat saat anak memasuki masa dewasa merupakan
sifat yang relatif stabill saat anak memasuki masa dewasa. Secara efektif orang
FI lebih condong lebih independen, kompetetif, dan percaya diri. Sedangkan
orang-orang FD condong lebih bersosialisasi, menyatukan diri dengan orang-orang
sekitar mereka dan biasanya lebih berempati dan memahami perasaan dan pemikiran
orang lain. Dua hipotesis berkenaan
dengan FI dan FD sebagai berikut. Hipotesis
pertama, FI terkait erat dengan pembelajaran kelas yang melibatkan
analisis, perhatian kepada rincian, dan kemampuan mengikuti latihan, dril,
aktivitas terfokus lain. Hipotesis kedua,
FD terkait dengan asoasinya berkaitan dengan empati, jangkauan sosial, dan kemampuan memahami pemikiran orang
lain—akan menghasilkan pembelajaran sukses dalam aspek komunikatif bahasa
kedua.
Sedangkan menurut Brown bahwa kedua gaya jelas penting.
Dua hipotesis yang dijelaskan di atas berkaitan dengan dua jenis pengajaran
yang berbeda. Jenis pertama menegaskan bahwa komunikasi tatap muka alami, suatu
jenis komunikasi yang sangat jarang berlangsung di kebanyakan kelas bahasa.
Jenis kedua melibatkan aktivitas kelas yang lazim: drill, latihan, tes dan
seterusnya. Jadi, gaya FI merupakan jenis gaya pembelajaran di ruang kelas
ditingkatkan dan gaya FD merupakan jenis gaya pembelajaran alami di lapangan.
FID menjadi alat untuk membedakan pemerolehan bahasa
anak-anak dan orang dewasa. Anak-anak yang didominasi FD memiliki keunggulan
gaya kognitif atas orang dewasa yang lebih FI. Stephen dan Krashen menyatakan
bahwa oorang dewasa menggunakan strategi-strategi pemantauan atau pembelajaran
untuk pemerolehan bahasa. Sedangkan anak-anak memanfaatkan strategi
pemerolehan.
b. Dominasi Otak Kiri-Kanan
Otak kiri diasosiasikan
dengan pikiran logis analistis,
dengan informasi matematis dan pemrosesam linear sedangkan otak kanan menangkap
dan mengingat citra visual rabaan dan audiotoris, lebih efisien dalam pemrosesan informasi holistik,
integratif dan emosional. Torrance (dalam Brown, 2007: 119) mengelompokkan
karakteristik dominasi otak kiri dan kanan.
Tabel Karakteristik Otak Kiri dan Kanan
No
|
Dominasi
Otak Kiri
|
Dominasi
Otak Kanan
|
1
|
Intelektual
|
Intuitif
|
2
|
Ingat nama
|
Ingat wajah
|
3
|
Merespon instruksi verbal
dan penjelasan
|
Merespon instruksi yang
diperagakan, digambarkan, atau simbolis
|
4
|
Mencoba secara sistematis
dan dengan kontrol
|
Mencoba secara acak dan
tidak terlalu menahan diri
|
5
|
Membuat penilaian objektif
|
Membuat penilaian
subjektif
|
6
|
Terencana dan terstruktur
|
Mengalir dan spontan
|
7
|
Menukai informasi tertentu
yang pasti
|
Menyukai informasi tak
pasti dan sulit dipahami
|
8
|
Pembaca analistis
|
Pembaca yang membuat
sintesis
|
9
|
Mengandalkan bahasa dan
dalam berpikir dan mengingat
|
Mengandalkan citra saat
berpikir dan mengingat
|
10
|
Menyukai bicara dan
menulis
|
Menyukai gambar dan objek
bergerak
|
11
|
Menyukai tes pilihan ganda
|
Menyukai pertanyaan
terbuka
|
12
|
Mengontrol perasaan
|
Lebih bebas dengan
perasaan
|
13
|
Tak pintar menafsirkan
bahasa tubuh
|
Pintar menafsirkan bahasa
tubuh
|
14
|
Jarang menggunakan
metafora
|
Sering menggunakan
metafora
|
15
|
Condong pada pemecahan
masalah secara logis
|
Condong pada pemecahan
masalah intuitif
|
Corpus collusum merupakan pita urat syarat yang
menghubungkan kedua belahan, pesan-pesan yang dikirim dan diterima kembali
sehingga keduanya terlibat dalam banyak aktivitas neurologis otak manusia.
Kebanyakan pemecahan masalah melibatkan kapasitas kedua belahan otak, dan
sering solusi terbaik untuk sebuah masalah adalah solusi yang tiap belahan berpartosipasi secara optimal. Gagasan otak
kiri atau kanan membantu merumuskan rentetan
gaya pembelajaran lain yang berguna. Danesi menggunakan “bimodalitas
neurologis” untuk menhanalisis bagaimana berbagai metode pengajaran bahasa
gagal yakni karena condong kepada proses otak kiri, nerode-metode lama di kelas
bahasa tak cukup merangsang proses otak kanan.
Harnett mendukung hipotesis bahwa para pembelajar bahasa
kedua yang dominan otak kiri menyukai gaya deduktif, sementara yang dominan
otak kanan terlihat yang lebih berhasil
dalam lingkungan kelas yang
induktif. Sedangkan Stevick menyimpulkan bahwa
pembelajaran bahasa kedua yang dominan otal kiri lebih baik saat
memproduksi kata-kata terpisah, mengumpulkan hal-hal spesifik dari bahasa, menjalankan urutan
pengerjaan, dan berurusan dengan abstraksi, klasifikasi, pelabelandan
penyusunan ulang. Pembelajar yang dominan otak kanan, terlihat lebih baik saat
menghadapi citra keseluruhan, generalisasi, metafora, reaksi emosional, dan
ekspresi artistik.
c.
Toleransi Ambiguitas
Toleransi ambiguitas sanggup
mempertimbangkan bahkan menyerap dalil-dalil yang berlawanan, dalam dalil
intoleransi ambiguitas tersebut, dapat melihat semua dalil bisa dimasukkan ke
dalam organisasi kognitif mereka ingin melihat semua dalil bisa dimasukkan ke
dalam organisasi kognitif, jika tidak dalil ini akan ditolak. Dalam
pembelajaran bahasa kedua, banyak informasi yang dijumpai tampaknya yang berlawanan:
kata-kata yang berbeda dengan bahasa
yang asli, aturan-aturan yang tak hanya berbeda tetapi juga inkonsisten karena
perkecualian tertentu dan kadang sistem budaya yang berbeda jauh dari sistem
budaya asli. Pembelajaran bahasa yang berhasil mewajibkan toleransi ambiguitas.
d. Reflektivitas dan
Impulsivitas
Gaya impulsif merupakan gaya pembelajaran dimana
seseorang cenderung membuat tebakan cepat atau untung-untungan dalam menjawab
pertanyaan. Sedangkan gaya refleksitif merupakan gaya dimana seseorang membuat
keputusan yang lebih lambat dan penuh perhitungan. David Ewig (1977) meurujuk
dua gaya yang terkait erat dengan dimensi reflektivitas/impulsivitas yaitu gaya
sistematis dan intuitif. Gaya intuitif menyiratkan pendekatan pertaruhan dengan
basis firasat. Pemikir sistematis cenderung menimbang semua segi dalam suatu
masalah, menghindari semua jebakan, dan setelah refleksi panjang baru
mengajukan solusi. Implikasi dalam pemerolehan bahasa, anak yang reflektif
cenderung membuat kesalahan lebih sedikit dalam membaca ketimbang anak yang
impulsif. Namun, orang impulsif biasanya pembaca yang lebih cepat dan dapat
menguasai “permainan menebak psikolinguistik” pada tindakan membacanya sehingga
gaya impulsif mereka mungkin tidak dengan sendirinya menghalangi pemahaman.
Penalaran induktif didapati lebih efektif pada orang
reflektif, yang menyarankan bahwa orang yang secara umum reflektif bisa memetik
manfaat lebih dari situasi pembelajaran induktif. Peneliti pembelajaran tentang
murid dewasa ESL, Abraham (1981) menyimpulkan bahwa refleksi terkait sedikit
saja performa pada tugas pengoreksian kesalahan. Jemieson (1992) melaporkan
studi lain tentang pembelajar dewasa ESL bahwa pembelajar “cepat-akurat” atau
penebak jitu adalah pembelajar bahasa yang lebih baik seperti di ukur dengan
TOEFL standar, tetapi mewanti-wanti agar tidak menganggap bahwa impulsivitas
selalu mengimplikasi akurasi. Beberapa subjeknya terbukti cepat dan tidak
akurat.
R/I memiliki beberapa usulan penting bagi pembelajaran
dan pengajaran bahasa kedua di kelas. Guru condong menghakimi kesalahan terlalu
keras, terutama dalam kasus pembelajar impulsif yang mungkin lebih suka
menebak-nebak jawaban ketimbang seorang reflektif. Sebaliknya, seorang
reflektif membutuhkan kesabaran dari guru, yang harus memberikan waktu lebih
banyak bagi murid untuk bergulat dengan respons. Dapat dikatakan bahwa orang
dengan gaya impulsif bertransisi lebih cepat pada tahapan semigramatikal SLA,
sementara orang-orang reflektif condong lebih lama pada sebuah tahapan tertentu
dengan lompatan “lebih besar’ dari tahap satu ke berikutnya.
e. Gaya Visual, Auditoris, dan
Kinestetis
Gaya visual merupakan gaya dimana pembelajar visual
condong menyukai tabel, gambar, dan informasi grafis. Pembelajar auditoris
lebih senang mendengar ajaran dan audiotape. Sedangkan pembelajar kinestetis
lebih menyukai pada demonstrasi dan aktivitas fisik yang melibatkan pergerakan
tubuh. Pembelajar yang paling berhasil adalah mereka yang memanfaatkan masukan
visual maupun auditoris.
Dalam studi tentang pembelajar dewasa ESL, Joy Reid
(1987) menentukan beberapa perbedaan umum yang penting dalam gaya visual dan
auditoris. Hasilnya adalah murid Korea jauh lebih visual ketimbang orang
Amerika yang berbahasa Inggris, murid Jepang paling kurang auditoris ketimbang
murid China dan Arab. Beberapa kecondongan subjeknya dipengaruhi oleh faktor
gender, lama tinggal di Amerika, bidang studi akademis, dan tingkat pendidikan.
Temuan penelitian tentang gaya pembelajaran
menggarisbawahi pentingnya mengenali berbagai kecondongan pembelajar. Gaya
pembelajaran tersebut merupakan cerminan latar belakang budaya seseorang. Oleh
karena itu, guru wajib peka pada bahasa dan budaya warisan para murid dalam
setiap kegiatan kelas. Guru juga harus membantu murid agar bertanggung jawab
terhadap proses pembelajaran bahasa
mereka untuk menjadi pembelajar yang otonom dan kemudian menjadi paham akan
gaya, kecondongan, kekuatan, dan kelemahan, dan dapat mengambil langkah yang
tepat untuk menjawab tantangan pembelajaran bahasa kedua mereka.
2. Strategi
Jika gaya adalah karakteristik umum yang membedakan
seseorang dari yang lainnya, strategi adalah serangan spesifik yang kita tujukan
pada masalah tertentu dan sangat bervariasi dalam diri setiap individu.
Strategi adalah teknik momen per momen yang kita pakai untuk memecahkan masalah
yang dihadirkan oleh masukan dan keluaran bahasa kedua. Chamot (2005, h. 112)
medefinisikan strategi sebagai prosedur-prosedur yang memudahkan sebuah tugas
pembelajaran dan strategi seringkali bersifat sadar dan digerakkan oleh tujuan.
Dalam pemerolehan bahasa kedua, terdapat dua jenis strategi yaitu strategi
pembelajaran dan strategi komunikasi. Strategi pembelajaran terkait dengan
masukan – dengan pemrosesan, penyimpanan, dan penerimaan yaitu memasukkan pesan
dari orang lain. Sedangkan strategi komunikasi berhubungan dengan keluaran
yaitu bagaimana kita secara produktif mengungkapkan makna, dan bagaimana kita
menyampaikan pesan kepada yang lain.Untuk menjabarkan pembelajar bahasa yang
baik dalam hal karakteristik, gaya dan strategi pribadi, Rubin (Rubin &
Thompson, 1982) merangkumkan empat belas kategori yaitu :
1. Menemukan
cara mereka sendiri, bertanggung jawab atas pembelajaran mereka.
2. Menata
informasi tentang bahasa.
3. Kreatif,
mengembangkan sebuah “rasa” bahasa dengan bereksperimen melalui tata bahasa dan
kata-katanya.
4. Menciptakan
kesempatan bagi diri sendiri untuk berlatih menggunakan bahasa di dalam dan
luar kelas.
5. Belajar
hidup dengan ketidakpastian dengan tidak menjadi gugup dan terus melanjutkan
bicara atau mendengar tanpa memahami setiap kata.
6. Menggunakan
mnemonik dan strategi memori lain untuk mengingat apa yang sudah dipelajari.
7. Menjadikan
kesalahan sebagai hal yang bermanfaat dan bukan penghambat.
8. Menggunakan
pengetahuan linguistik, termasuk pengetahuan tentang bahasa pertama saat
mempelajari bahasa kedua.
9. Menggunakan
petunjuk-petunjuk kontekstual untuk membantu mereka dalam pemahaman.
10. Belajar
membuat tebakan cerdas.
11. Mempelajari
potongan-potongan bahasa sebagai keseluruhan dan berlatih rutin demi mencapai
performa yang “melebihi kompetensi mereka”.
12. Belajar
kiat-kiat tertentu yang membantu menjaga percakapan berlanjut.
13. Belajar
strategi produksi tertentu untuk menutup kesenjangan dalam kompetensi mereka
sendiri.
14. Belajar
gaya-gaya bicara dan menulis yang berbeda dan belajar menvariasikan bahasa
sesuai formalitas situasi.
Penelitian semacam ini menggiring peneliti yang lain
untuk menawarkan saran kepada calon murid bahasa asing mengenai bagaimana
menjadi pembelajar yang lebih baik.
Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran dalam buku sumber dibagi menjadi
tiga kategori utama. Kategori yang pertama adalah strategi metakognitif yaitu
strategi yang melibatkan perencanaan belajar, pemikiran tentang proses
pembelajaran yang sedang berlangsung, pemantauan produksi dan pemahaman
seseorang, dan evaluasi pembelajaran setelah sebuah aktivitas selesai. Strategi kognitif lebih terbatas pada
tugas-tugas pembelajaran spesifik dan melibatkan pemanfaatan yang lebih
langsung terhadap materi pembelajaran itu sendiri. Sedangkan strategi
sosioafektif berkenaan dengan aktivitas mediasi sosial dan interaksi dengan
yang lain. Ketiga strategi tersebut tercantum pada Tabel di bawah ini.
Tabel
Strategi Pembelajaran
Strategi
Pembelajaran
|
Deskripsi
|
Strategi
Metakognitif
|
|
Perencanaan awal
|
Membuat tinjauan
pendahuluan umum tetapi komprehensif mengenai pengorganisasian konsep atau
prinsip dalam aktivitas pembelajaran yang akan datang.
|
Perhatian fokus
|
Memutuskan di awal untuk
kemudian secara umum pada sebuah tugas pembelajaran dan mengabaikan
pengganggu yang tidak relevan.
|
Perhatian selektif
|
Memutuskan di awal untuk
memberi perhatian pada aspek tertentu masukan bahasa atau rincian situasional
yang akan memberi petunjuk dalam pengingat input.
|
Manajemen diri
|
Memahami kondisi-kondisi
yang membantu seseorang belajar dan megatur kehadiran kondisi tersebut.
|
Perencanaan fungsional
|
Merencanakan dan melatih
komponen linguistik yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas bahasa mendatang.
|
Pemantauan diri
|
Mengoreksi ucapan sendiri
demi mendapatkan akurasi dalam pengucapan, tata bahasa, kosakata, atau demi
ketetapan berkenaan dengan keadaan atau orang yang hadir.
|
Produksi tertunda
|
Secara sadar memutuskan
menunda berbicara dengan pertama-tama belajar melalui pemahaman dengan cara
mendengar.
|
Evaluasi diri
|
Memeriksa sendiri hasil
pembelajaran bahasa dengan takaran internal atas kelengkapan dan akurasi.
|
Strategi
kognitif
|
|
Repetisi
|
Menirukan sebuah model
bahasa, termasuk praktek nyata.
|
Melacak ulang
|
Menggunakan materi
referensi bahasa sasaran.
|
Penerjemahan
|
Menggunakan bahasa pertama
sebagai basis untuk memahami atau memproduksi bahasa kedua.
|
Mengelompokkan
|
Menata atau menggolongkan
ulang dan melabeli materi yang dipelajari berdasarkan atribut umum.
|
Mencatat
|
Menuliskan gagasan utama,
poin-poin penting, garis besar, atau rangkuman informasi yang disajikan
secara lisan maupun tertulis.
|
Deduksi
|
Secara sadar menerapkan
aturan-aturan untuk menghasilkan atau memahami bahasa kedua.
|
Rekombinasi
|
Menyusun, dalam versi
baru, sebuah kalimat bermakna atau rangkaian bahasa yang lebih besar dengan
mengombinasikan unsur-unsur yang diketahui.
|
Pencitraan
|
Menghubungkan informasi
baru dengan konsep visual di memori melalui visualisasi, frase, atau lokasi
yang akrab dan mudah diingat.
|
Representasi auditoris
|
Pengingatan bunyi atau
bunyi serupa pada kata, frase atau susunan yang lebih panjang.
|
Kata kunci
|
Mengingat sebuah kata baru
dalam bahasa kedua dengan (1) mengidentifikasikan kata yang akrab dalam
bahasa pertama yang bunyinya mirip atau mengingatkan pada kata baru dan (2)
memunculkan citra yang mudah diingat tentang hubungan antara kata baru dan
kata yang familiar.
|
Strategi
Kognitif
|
|
Kontekstualisasi
|
Menempatkan kata atau
frase dalam susunan bahasa yang mempunyai makna.
|
Elaborasi
|
Menghubungkan informasi
baru dengan konsep-konsep lain di memori.
|
Transfer
|
Menggunakan linguistik
atau pengetahuan konseptual yang diperoleh sebelumnya untuk memudahkan sebuah
tugas baru pembelajaran bahasa.
|
Melakukan interferensi
|
Menggunakan informasi yang
tersedia untuk menebak arti item-item baru, memperkirakan hasil atau mengisi
informasi yang hilang.
|
Strategi
Sosioafektif
|
|
Kooperasi
|
Bekerja dengan satu atau
lebih rekan untuk mendapatkan umpan balik, mengumpulkan informasi, atau
merancang aktivitas bahasa.
|
Pertanyaan untuk
klarifikasi
|
Meminta seorang guru atau
penutur asli untuk mengulang ujaran, menyusun ulang kalimat, menjelaskan dan
memberi contoh.
|
Sudah banyak studi mengenai efektivitas penggunaan
berbagai strategi oleh pembelajar dalam upaya meraih kompetensi bahasa. Salah
satu cara untuk mengukur keberhasilan ini adalah dengan mempertimbangkan empat
keterampilan yaitu mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Strategi
pembelajaran melibatkan keterampilan mencerna apa yang didengar dan apa yang
dibaca. O’Malley, Chamot, dan Kupper (1989) mendapati bahwa pembelajar bahasa
kedua mengembangkan keterampilan mendengar yang efektif dengan menggunakan
pemantauan, elaborasi, dan interferensi. Strategi-strategi seperti perhatian
selektif pada kata-kata kunci dan perencanaan awal penyimpulan sesuai konteks,
prediksi, penggunaan lembar penugasan dan pembuatan catatan sudah berhasil
diajarkan. Strategi membaca seperti pemrosesan dari atas ke bawah, memprediksi,
menebak dari konteks, tukar pikiran, dan perangkuman telah diajarkan secara
efektif dalam studi-studi lain.
Gender juga terlibat sebagai variabel penting dalam
penggunaan strategi, baik strategi pembelajaran maupun komunikasi. Studi
Bacon(1992) memperlihatkan bahwa laki-laki dan perempuan menggunakan strategi
mendengar secara berbeda. Maubach dan Morgan (2001) melaporkan bahwa di antara
pembelajar usia SMA bahasa Perancis dan Jerman, pembelajar laki-laki melibatkan
strategi berbicara yang lebih beresiko dan spontan sementara perempuan
menggunakan strategi perencanaan dalam tugas tertulis secara lebih efektif.
Dalam sekitar satu dasawarsa terakhir pengajaran bahasa,
terdapat bukti mengenai manfaat menyertakan strategi-strategi pembelajar ke
dalam proses pemerolehan mereka. Dua bentuk utama penggunaan strategi yaitu
pelatihan di kelas atau pelatihan dengan buku teks, sekarang disebut dengan
instruksi berbasis strategi atau strategies-based instruction (SBI) dan
pelatihan otonom mandiri. Keduanya sudah terlihat efektif untuk berbagai
pembelajar dalam berbagai konteks.
Kesimpulan umum dari begitu banyak studi mutakhir di
banyak negara menyatakan bahwa SBI dan pembelajaran otonom adalah jalur yang
bisa ditempuh untuk keberhasilan pembelajaran bahasa antara lain di China,
Korea, Mesir, Kuwait, Italia, dan Singapura.
Strategi Komunikasi
Sementara strategi pembelajaran berurusan dengan wilayah
pemahaman apa yang diterima, memori, penyimpanan, dan pengingatan, strategi
komunikasi melekat pada pemakaian mekanisme verbal dan nonverbal untuk
berkomunikasi untuk informasi produktif. Di arena interaksi linguistic, kadang
sulit, tentu, membedakan kedua strategi ini, sebagaimana ditulis dengan sangat
baik oleh Tarone (1983), karena pemahaman dan produksi bisa terjadi hamper
bersamaan. Namun demikian, selama seseorang bisa menghargai kepelikannya, dikotomi
semacam itu tetap merupakan pembeda yang berguna Dallam memahami sifat
strategi, terutama untuk tujuan pedagogis.
Faerch dan Kasper (1983a, h. 36) mendefinisikan strategi
komunikasi sebgai “rencana-rencana yang sepertinya sadar untuk memecahkan apa
yang menjadi masalah dalam peraihan sebuah tujuan komunikastif tertentu”.
Pendekatan yang lebih baru tampaknya memandang strategi komunikasi secara lebih
positif sebagai unsur dari seluruh kompetensi strategis. Ia dibawa oleh
pembelajar untuk memunculkan segala kemungkinan yang bisa mengembangkan
kompetensi mereka untuk mengirimkan pesan yang jelas dalam bahasa kedua. Lebih
lanjut, strategi-strategi semacam itu mungkin “kelihatan disadari” atau mungkin
tidak; dukungan untuk kesimpulan semacam ini datang dari pengamatan-pengamatan
terhadap strategi pemerolehan bahasa pertama yang mirip dengan strategi yang
digunakan oleh orang dewasa dalam pembelajaran bahasa kedua (Bongaerts &
Poulisse, 1989).
Barang kali cara terbaik untuk memahami apa yang dimaksud
dengan strategi komunikatif adalah dengan melihat daftar umum tentang
strategi-strategi semacam itu. Tabel 1.1 menawarkan sebuah pengelompokan yang
mencerminkan kategori-kategori yang diterima yang diterima selama beberapa
decade penelitian (diadaptasi dari Dὃrnyei, 1995, h. 58).
Klasifikasi Dὃrnyei adalah basis praktis yang tepat untuk
penjelasan-penjelasan lebih lanjut tentang strategi komunikasi. Kita akan
memerinci beberapa strategi.
Strategi Penghindaran (Avoidance Strategies)
Penghidaran
adalah sebuah strategi komunikasi lazim yang bisa dipecah ke dalam beberapa
subkategori. Jenis yang paling umum dari strategi penghindaran adalah penghindaran sintaksis atau leksikal di dalam kategori semantic.
Pertimbangkan percakapan berikut antara seornag pembelajar dan penutur asli.
Pembelajar : I lost my road
Penutur asli : you lost your road?
Pembelajar : Uh, …I lost. I lost. I
got lost
Si pembelajar menghindari item leksikal road sepenuhnya, karena tak bisa
memikirkan kata way pada saat itu. Penghindaran fonologi juga lazim, seperti kasus seorang
berkebangsaan Jepang yang kinghindari penggunaan kata rally (karena kesulitana fonologisnya) dan memilih mengatakan “hit the ball”.
Jenis penghindaran yang lebih
langsung adalah penghindaran topik,
di mana seluruh topik percakapan (katakanlah, pembicaraan tentang kejadian
kemarin jika bentuk lampau tidak familiar) mungkin dihindari sepenuhnya. Para pembelajar
berhasil memikirkan cara-cara kreatif untuk menghindari topik: mengganti
subjek, berpura-pura tak mengerti (cara klasik menghindar dari jawaban
pertanyaan), tak menjawab sama sekali, atau terlihat menghentikan pesan ketika
sebuah pemikiran menjadi terlalu sulit untuk diungkapkan.
Tabel
1.1. Strategi Komunkasi
Strategi Penghindaran
1. Penghentian
pesan: Membiarkan sebuah pesan tak selesai karena kesulitan bahasa
2. Penghidaran
topik: Menghindari bidang atau konsep topik yang mendatangkan kesulitan bahasa
Strategi Kompensatoris
3. Penyampaian
tak langsung (circumlocution):
Menggambarkan atau mencontohkan tindakan objek yang dimaksud (misalnya,
menyebut benda pembuka botol untuk kotrek)
4. Aproksimasi:
Menggunakan istilah alternative yang mengungkapkan makna item leksikal sasaran
sedekat mungkin (misalnya, kapal
untuk perahu layar)
5. Menggunakan
kata-kata serba guna: Menerapkan item leksikal kosong yang umum untuk konteks
yang kekurangan kata spesifik (misalnya, penggunaan berlebihan dari thing, stuff, what-do-you-call-it, thingie)
6. Pembentukan
kata baru: menciptakan kata B2 yang tak ada berdasarkan apa yang dianggap
aturan (misalnya, vegetarianist untuk
vegetarian)
7. Pola-pola
standar: menggunakan frase cadangan yang teringat, biasanya untuk tujuan
“bertahan hidup” (misalnya, where is the
… atau comment allez vous? Dimana
komponen-komponen mprfologisnya tidak doketahui si pembelajar)
8. Sinyal
nonlinguistic: gerak tubuh, gesture, ekspresi wajah, atau peniruan bunyi
9. Penerjamah
harfiah: secara harfiah menerjemahkan sebuah item, idio, kata campuran, atau
struktur leksikal dari B1 ke B2
10. Peng-asing-an:
menggunakan sebuah kata B1 dengan pengucapan B1 atau kata B3 dengan pengucapan
B3 ketika berbicara dalam B2
11. Alih
kode: menggunakan sebuah kata B1 dengan pengucapan B1 atau sebuah kata B3
dengan pengucapan B3 ketika berbicara dalam B2
12. Meminta
tolong: meminta bantuan dari lawan bicara baik langsung (misalnya, kau sebut
apa…?) atau tak langsung (misalnya, menaikkan intonasi, kontak mata, ekspresi
bingung)
13. Strategi
mengulur atau memperoleh waktu: menggunakan filler
atau peranti keraguan untuk mengisi jeda dan beroleh waktu untuk berpikir
(misalnya, hmm…begini, sekarang mari kita
lihat, eee…, sebenarnya)
Sumber:
diadaptasi dari Dὃrnyei, 1995, h. 58
Strategi Kompensatoris
Satu lagi rangkaian peranti komunikasi yang melibatkan
kompensasi untuk absennya pengetahuan. Para pembelajar tingkat awal, misalnya,
biasanya mengiungat beberapa frase atau kalimat tertentu tanpa menanamkan
pengetahuan dari komponen-komponen frase itu. Potongan-potongan bahasa yang
diingat ini, dikenal sebagai pola
tingkat pakai, sering ditemui di buku saku frase bilingual, yang mendaftar
ratusan kalimat untuk berbagai keadaan: “berapa harganya?” dimana toiletnya?”
“”saya tak berbicara bahasa Inggris”. Frasa semacam itu diingat melalui hafalan
untuk dipakai sesuai dengan konteks mereka.
Alih
Kode adalah penggunaan bahasa pertama atau ketiga di dalam aliran wicara
bahasa kedua. Seringkali alih-kode secara bawah sadar berlangsung antara dua
pembelajar mahir dnegan bahasa pertama yang sama, tetapi, dalam kasus semacam
ini, ia biasanya bukan sebagai strategi kompensatoris. Pembelajar di tahap awal
pemerolehan mungkin melakukan ahli-kode-menggunakan bahasa asli mereka untuk
mengisi absennya pengetahuan-terlepas apakah si pendengar paham bahasa asli itu
atau tidak. Kadang si pembelajar
menyelipkan satu dua kata, dmnegan harapan si pendengar akan menangkap inti
dari apa yang sedang dikomunukasikan. Mengejutkan bahwa konteks komunikasi
disertai dengan beberapa ekspresi nonverbal universal kadang memungkinkan
pembelajar mengkomunikasikan sebuah ide dalam bahasa mereka sendiri kepada
seseorang yang tak akrab dengan bahasa itu. Keajaiban komunikasi semacam itu
adalah bukti hebat keuniversalan pengalaman manusia dan pengobat bagi mereka
yang merasa putus asa luar biasa saat berkomunikasi dalam bahasa asing.
Strategi kompensatoris yang lain
adalah permintaan tolong langsung, sering diistilahkan mengandalkan otoritas (appeal
to authority). Pembelajar bisa, jika macet pada kata atau frase tertentu,
langsung minta tolong kepada pembicara mahir atau guru untuk mengungkapkan yang
dimaksud (“how do you say ……?”) atau
mereka mungkin melontarkan sebuah penebakan dan kemudian meminta verifikasi
dari pembicara mahir akan ketepatan upaya tersebut. Yang juga berada di dalam
kategori ini adalah contoh-contoh di mana pembelajar melongok kamus bilingual
untuk pertolongan.
Daftar strategi komunikasi yang
berguna tak terbatas pada 13 yang tercantum di tabel 1.1. cohen dan Aphek
(1981) mendapati bahwa pembelajar yang berhasil dalam studi mereka memakai
asosiasi kata dan membuat aturan mereka sendiri. Chesterfield (1985) melaporkan
contoh-contoh bicara sendiri ketika pembelajar berlatih bahasa kedia mereka.
Rost dan Ross (1991) menemukan bahwa pembelajar memetik manfaat dari meminta
pengulangan dan mencari berbagai bentuk klarifikasi.
INSTRUKSI BERBASIS STRATEGI
Sebagian besar kerja peneliti dan
guru atas penerapan strategi pembelajaran maupun komunikasi di ruang kelas
telah dikenal secara umum sebagai instruksi
berbasis strategi atau strategies-based
instruction (SBI) (McDonough, 1999; Cohen, 1988), atau sebagai pelatiahan
strategi pembelajar. Cohen suka menyebut SBBI styles and strategies-based instruction- untuk menekankan kaitan
produktif antara gaya dan strategi. Pada saat kita berupaya menjadikan kelas
bahasa sebuah milieu efektif untuk pembelajaran, makin tampak jelas bahwa
“mengajari pembelajar bagaimana caranya belajar” merupakan urusan yang sangat
krusial. Chamot (2005, h. 123) selanjutnya menyimpulkan bahwa “instruksi
eksplisit jauh lebih efektif ketimbang sekedar meminta murid menggunakan satu
atau lebih strategi, cara ini juga memupuk metakognisi-kemampuan murid untuk
memahami pemikiran dna proses pembelajaran mereka sendiri.
Guru bisa memetik manfaat dengan
memahami apa yang membuat pembelajar berhasil dan sebalikanya, dan membangun di
kelas sebuah milieu untuk merealisasi strategi-strategi yang sukses. Guru tidak
selalu bisa mengharapkan keberhasilan seketika dalam upaya untuk mengingat
murid sering memiliki gagasan tertentu yang telah terbentuk mengenai apa yang
“semestinya” berlangsung di ruang kelas (Bialystok, 1985). Namun, terbukti
bahwa murid akan memetik manfaat dari SBI jika mereka:
1. Memahami
strategi itu sendiri
2. Menganggapnya
efektif, dan
3. Tak
menganggap pelaksanaannya terlalu sulit. (MacIntyre & Noel, 1996).
Maka
dalam upaya kita untuk mengajarkan kepada murid sejumlah know-how teknis tentang bagaimana mengatasi sebuah bahasa sangat
dianjurkan.
a. Strategi
langsung, terdiri dari:
(1) Strategi memori
(a) Menciptakan hubungan mental:
(i)
Mengelompokkan
(ii)
Mengasosiasikan/mengelaborasi
(iii)
Menempatkan kata-kata baru dalam sebuah
konteks
(b) Menggunakan gambar dan suara
(i) Menggunakan imajinasi
(ii) Menggunakan peta semantic
(iii) Menggunakan kata kunci
(iv) Merepresentasikan bunyi di
dalam memori
(c) Mengulang dengan baik
(i)
Mengulang secara
terstruktur
(d) Menggunakan tindakan
(i)
Menggunakan
respon fisik atau sensasi
(ii)
Menggunakan
teknik mekhanikal
(2) Strategi kognitif
(a) Berlatih
(i)
Mengulang
(ii)
Berlatih dengan
sistem bunyi dan tulisan
(iii)
Mengenali dan menggunakan
formula dan pola
(iv)
Mengkombinasikan
ulang
(v)
Berlatih secara
alamiah
(b) Menerina dan mengirimkan pesan
(i)
Mencari ide
secara cepat
(ii)
Menggunakan
sumber daya untuk menerima dan mengirimkan pesan
(c) Menganalisa dan berfikir
(i)
Berpikir
deduktif
(ii)
Menganalisa
pernyataan-pernyataan
(iii)
Menganalisa
secara kontradiktif (lintas bahasa)
(iv)
Menerjemahkan
(v)
Mentranfer
(d) Menciptakan struktur input dan output
(i)
Membuat catatan
(ii)
Membuat
ringkasan
(iii)
Member tanda
(3) Strategi kompensasi
(a) Menebak secara cermat
(i)
Menggunakan
petunjuk linguistik
(ii)
Menggunakan
petunjuk lain
(b) Mengatasi kelemahan dalam berbicara dan menulis
(i)
Pindah ke bahasa
ibu
(ii)
Meminta bantuan
(iii)
Menggunakan
mimic dan isyarat
(iv)
Menghindari
komunikasi secara total atau parsial
(v)
Memilih topik
(vi)
menyelaraskan
dan memperkirakan pesan
(vii)
menciptakan kata-kata
baru
(viii)
menggunakan
deskripsi atau sinonim
b.
Strategi tidak langsung, terdiri dari:
(1) Strategi metakognitif
(a) Merangkum dan mengaitkan materi yang sudah diketahui
(i)
Menjajaki dan
menghibungkan dengan materi yang sudah diketahui
(ii)
Memberikan
perhatian
(iii)
Menunda bicara untuk fokus pada kegiatan
mendengarkan
(b) Menyusun dan merencanakan kegiatan belajar
(i)
Mencari tahu
tentang pembelajaran bahasa
(ii)
Mengorganisir
(iii)
Menetapkan
sasaran dan tujuan
(iv) Mengidentifikasi tujuan suatu tugas berbahasa (tujuan mendengan,
membaca, berbicara, atau menulis)
(v)
Merencanakan
tugas berbahasa
(vi)
Mencari
kesempatan untuk berlatih
(c) Mengevaluasi kegiatan belajar
(i)
Memonitor diri
sendiri
(ii)
Mengevaluasi
diri sendiri
(2) Startegi afektif
(a) Mengatasi rasa cemas
(i)
Menggunakan
relaksasi progresif, menarik nafas dalam-dalam, atau meditasi
(ii)
Menggunakan
music
(iii)
Menggunakan bahasa
(b) Memberanikan diri
(i)
Membuat
pernyataan positif
(ii)
Mengambil resiko
secara bijaksana
(iii)
Member penghargaan pada diri sendiri
(c) Menggunakan temperature emosional
(i)
Mendengankan
tubuh sendiri
(ii)
Menggunakan checklist
(iii)
Menulis diari
tentang belajar bahasa
(iv)
Mendiskusikan
perasaan dengan orang lain
(3) Strategi sosial
(a) Mengajukan pertanyaan
(i)
Bertanya untuk
klarifikasi atau verifikasi
(ii)
Meminta koreksi
(b) Bekerjasama dengan orang lain
(i)
Bekerjasama
dengan teman sejawat
(ii)
Bekerjasama
dengan pengguna bahasa yang sudah mahir
(c) Berempati terhadap orang lain
(i)
Mengembangkan
pemahaman budaya
(ii)
Memahami
pemikiran dan perasaan orang lain
Bagan 1.1 Strategi komunikasi
Pelaksaan efektif SBI di kelas bahasa melibatan beberapa
langkah dan pertimbangan
1. Mengenali
gaya dan strategi potensial pembelajar
2. Menyertakan
SBI ke dalam kursus dan kelas bahasa komunikatif
3. Menyediakan
asisten ekstra kelas untuk para pembelajar
Mengenali Gaya dan Strategi
Pembelajar
Beberapa pilihan tersedia untuk membantu
pembelajar mengenali gaya, kecondongan, kekuatan, dan kelemahan mereka sendiri.
Metode yang paling lazim adalah kuesioner pengecekan diri sendiri di mana
pembelajar merespons berbagai pertanyaan, biasanya dalam skala setuju dan tidak
setuju.
Alat yang banyak dipakai oelh
pembelajar untuk mengenali strategi adalah Daftar Strategi untuk Pembelajaran
Bahasa atau Strategy Inventory for Language Learning (SILL)
dari Oxford (1990a), sebuah kuesioner yang sudah diujikan di banyak Negara dan
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Ada 50 item SILL, dibagi dalam enam
kategori, yang masing-masing menghadirkan sebuah kemungkinan strategi.
Mengenali strategi-strategi yang disukai pembelajar, dalam satu hal, merupakan
langkah logis untuk membuat daftar strategi. Begitu kecondongan gaya dikenali,
seorang pembelajar bisa melanjutkan langkahnya dengan strategi. Namun, pertanyaannya,
betulkah pembelajar akan mengetahui bagaimana menggunakan strategi dengan hanya
mengisi kuesioner seperti SILL? SILL berfungsi sebagai instrument untuk membuka
berbagai kemungkinan bagi pembelajar, tetapi guru harus memikul tanggung jawab
pengawasan sehingga para pembelajar terbantu dalam mengamalkan strategi
tertentu dalam praktek.
Bentuk-bentuk lain pengenalan gaya
dan strategi, dan cara membawa mereka ke kesadaran pembelajar, di antaranya
adalah pengungkapan diri melalui wawancara (Macaro, 2001), catatan buku harian
dan jurnal (Carson & Longhini, 2002; Halbach, 2000), danlatihan
pengungkapan diri (Maraco, 2000; O’Malley & Chamot, 1990).
Beri tanda sialng di kotak untuk
setiap item yang paling cocok bagi Anda. Kotak A dan E menandakan bahwa kalimat
itu sangat sesuai untuk Anda. Kotak B dan D menandakan bahwa kalimat agak
menggambarkan Anda. Kotak C menandakan bahwa Anda tak punya kecondongan ke
salah satu arah.
A B C D E
1. Saya
tak keberatan
saya malu ketika orang
orang
menertawakan
menertawai ketika saya
ketika
saya bicara
bicara
2. Saya
suka berlatih saya hanya suka
kata dan struktur menggunakan bahasa
baru yang belum yang saya yakin tepat
sepenuhnya
saya yakini
3. Saya
merasa sangat
saya merasa tak begitu
yakin dengan
kemampuan yakin
dengan
saya untuk sukses kemampuan saya untuk dalam mempelajari bahasa
ini sukses dalam
mempelajari bahasa ini
4. Saya
ingin belajar
Saya ingin belajar
bahasa
ini karena manfaatnya
ini karena orang lain
secara
pribadi bagi saya
mengharuskannya
5. Saya
sungguh saya
lebih senang bekerja
menikmati bekerja sendiri
ketimbang dengan
dengan orang lain orang
lain
dalam
kelompok
6. Saya
senang saya
suka menganalisis
“menyerap” bahasa banyak
rincian bahasa
dan menangkap dan mengerti secara apa
“gagasan” umum yang
terucap dan tertulis
dari yang terucap dan
tertulis
7. Jika
ada banyak saya
sangat terganggu
sekali bahan bahasa dengan
banyaknya materi
yang mesti dikuasai, bahasa
yang dihadirkan
saya mencobanya
selangkah sekaligus
demi
selangkah
8. Saya
tak terlampau saya “memantau” diri
memikirkan saat
bicara sendiri
dengan seksama
dan
memikirkan betul
ketika
bicara
9. Ketika
membuat
ketika membuat
kesalahan
kesalahan, saya saya
terganggu karena
mencoba menggunakan menggambarkan
betapa
kesalahan itu untuk buruknya
performa saya
belajar sesuatu
tentang bahasa
10. Saya
menemukan saya
mengandalkan guru
cara-cara untuk dan
aktivitas kelas untuk
terus belajar bahasa semua
yang saya
di luar kelas butuhkan
agar berhasil
Bagan 1.2 daftar periksa gaya
pembelajaran
Memasukkan SBI ke Kelas
Bahasa
Beberapa menifestasi SBI yang
berbeda-beda bisa dijumpai di kelas-kelas bahasa di seluruh dunia. Melalui
daftar periksa (checklist), dan
metode-metode lain yang didiskusikan di atas, guru bisa menjadi awas akan
kecondongan murid dan kemudian menawarkan nasihat ringan dan spontan mengenai
strategi yang bermanfaat di dalam dan di luar kelas.
Guru juga bisa membantu murid untuk
menggunakan hasil dari kuesioner gaya seperti dalam bagan 1.2 dalam pembelajaran. Begitu
murid mengisi daftar periksa, Anda bisa melibatkan mereka dalam salah satu atau
semua kegiatan berikut.
1. Mendiskusikan
mengapa mereka merespon seperti itu
2. Curhar
kelompok kecil tentang perasaan yang mendasari respon mereka
3. Tabulasi
informal tentang bagaimana orang merespon setiap item
4. Pemberian
saran, dari pengalaman Anda sendiri, tentang mengapa praktek tertentu bisa
berhasil atau sebaliknya
5. Mencapai
kesepakatan umum bahwa respons-respons di kategori A dan B biasanya menandakan
pendekatan yang berhasil untuk pembaca bahasa.
Kuesioner kecondongan gaya dalam Bagan 1.2 sebenarnya dirancang
sedemikian rupa sehingga setiap item mengetengahkan sebuah “maksim” untuk
pembelajaran bahasa yang baik. Item per item, dari nomor 1-10, kuesioner
tersebut berfungsi untuk mengetengahkan 10 saran berikut:
1. Kurangi
rasa sungkan
2. Dorong
pengambilan resiko
3. Bangun
kepercayaan diri
4. Kembangkan
motivasi intrinsic
5. Terlibatlah
dalam pembelajaran kooperatif
6. Gunakan
proses otak kanan
7. Tingkatkan
toleransi ambiguitas
8. Latih
intuisi
9. Manfaatkan
umpan balik kesalahan
10. Tetapkan
cita-cita pribadi
Opsi lain yang digunakan oleh para guru bahasa adalah
menyatukan kepahaman strategi dan latihan ke dalam pedadogi mereka dalam
cara-cara yang lebih formal. Guru dapat menggunakan teknik-teknik seperti
permainan komunikatif, membaca cepat, latihan kelancaran, dan analisis
kesalahan, mereka bisa membantu murid, disadari atau tidak, untuk mempratekkan
strategi yang berhasil. Maka, ketika murid bermain tebak-tebakan, menampilkan
sketsa, atau bahakan menyanyikan lagu, guru bisa mengingatkan bahwa mereka
sedang berlatih strategi mengurangi rasa sungkan. Tabel 1.2 menyediakan daftar
cara-cara untuk ”membangun teknik-teknik strategis” di kelas bahasa.
Tabel 1.2. membangun teknik-teknik strategis
1. Mengurangi rasa sungkan: adakan permainan tebak-tebakan
dan permainan komunikasi; buat cerita sandiwara dan drama pendek, dll.
2. Mendorong pengambilan resiko: puji murid karena berupaya
sungguh-sungguh berlatih bahasa; gunakan latihan kefasihan di mana kesalahan
tak dikoreksi pada saat itu juga.
3. Membangun kepercayaan diri murid: beri tahu murid secara
eksplisit (secara verbal dan non verbal) bahwa Anda benar-benar mempercayai
mereka; perintahkan mereka membuat daftar, dari apa yang mereka tahu atau raih
sejauh ini dalam kursus.
4. Membantu murid mengembangkan motivasi intrinsik: ingatkan
mereka secara eksplisit tentang berkah mempelajari bahasa Inggris; paparkan
(atau perintahkan murid mencari) pekerjaan-pekerjaan yang mensyaratkan bahasa
inggris.
5. Mempromosikan pembelajaran kooperatif: arahkan murid
berbagai pengetahuan mereka; kurangi kompetensi di antara murid; buat kelas
Anda berpikir bahwa mereka satu regu.
6. Mendorong murid menggunakan pemrosesan otak kanan: gunakan
film cerita dan tape di kelas; perintahkan murid membaca kalimat dengan cepat;
adakan latihan membaca sepintas lalu.
7. Meningkatkan toleransi ambiguitas: dorong murid untuk
bertanya kepada Anda, dan kepada sesama murid, ketika mereka tak paham sesuatu;
sesekali lihatlah terjemahan dalam bahasa asli untuk memperjelas sebuah kata
atau arti.
8. Membantu murid menggunakan intuisi mereka: puji murid
untuk tebakan yang tepat; jangan selalu memberikan penjelasan atas
kesalahan-kesalahan saja sudah cukup.
9. Mendorong murid mejadikan kesalahanmereka bermanfaat
UNTUK mereka: rekam produksi lisan murid dan perintahkan mereka mengenali
kesalahan; biarkan murid saling koreksi-jangan selalu memberikan mereka bentuk
yang tepat.
10. Mendorong murid menetapkan cita-cita pribadi: secara
eksplisit dorong atau arahkan murid untuk melampaui sasaran pencapaian di
kelas; perintahkan mereka mendaftarkan apa yang akan mereka raih sendiri dalam
pekan tertentu.
Menstimulasi Tindakan Strategi di luar Kelas
Akhirnya, penting mencatat bahwa kepahaman gaya dan tindakan strategi tidak
dibatasi oleh ruang kelas. Banyak pembelajar yang berhasil mewujudkan cita-cita
kemahiran mereka dengan memotivasi diri sendiri untuk memperluas pembelajaran
melampaui batasa ruang kelas. Guru bisa membantu pembelajar meraih otonomi dengan mendorong mereka
memandang melampaui ruang kelas dan kursus bahasa yang mereka ikuti. Tujuan
akhir melibatkan murid dalam SBI tak hanya merampung kursus bahasa. Guru bisa
membantu pembelajar memahami bahwa meningkatnya kesadaran mereka terhadap gaya
dan strategi akan membantu mereka dalam menggunakan bahasa “di luar sana”.
Ruang kelas adalah sebuah kesempatan bagi pembelajar untuk memulai perjalanan menuju sukses, dan menyadari bahwa di luar
jam-jam kelas ada belasan jam setiap minggunya yang bisa dipakai untuk berlatih
penggunaan bermakna bahasa baru tersebut.
Kita mesti banyak belajar dalam
penciptaan teknik-teknik praktik mengajar pembelajar begaimana mengenali gaya
mereka dan menggunakan strategi secrara efektif dan ini masih merupakan area yang sangat mengasyikkan dan menjanjikan
dari penelitian pedadogis sekarang ini.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam pemerolehan bahasa kedua, terdapat istilah-istilah
yang dipakai seperti proses, gaya, dan strategi. Proses merupakan istilah yang
paling umum dari ketiga konsep ini yaitu karakteristik semua manusia. Gaya
adalah karakteristik umum kerja intelektual yang berkenaan dengan seseorang
sebagai individu dan yang membedakan dari yang lain. Strategi adalah metode
khusus untuk mendekati masalah atau tugas untuk meraih tujuan tertentu. Oxford
& Ehrman (1998, h.8) mendefinisikan strategi pembelajaran bahasa kedua
sebagai tindakan, perilaku, langkah atau tehnik spesifik yang dipakai oleh
murid untuk meningkatkan pembelajaran mereka.
Gaya pembelajaran terbagi menjadi beberapa bagian yaitu
independensi bidang, dominasi otak kiri-kanan, toleransi ambiguitas,reflektivitas
dan impulsivitas, serta gaya visual, auditoris, dan kinestetis. Sedangkan
strategi terbagi menjadi dua yaitu strategi pembelajaran dan strategi
komunikasi. Strategi pembelajaran terbagi menjadi tiga kategori utama yaitu
strategi metakognitif, kognitif, dan sosiokognitif dan strategi komunikasi
mencakup strategi penghindaran dan instruksi berbasis strategi. Gaya dan
strategi pembelajaran bahasa kedua merupakan faktor yang sangat berpengaruh
dalam pemerolehan bahasa kedua.