LAPORAN BUKU :
New Strategies for Reputation Management
Gaining Control
of Issues, Crises & Corporate Social Responsibility
Karya : Andrew Griffin
Penerbit : Kogan Page Limited, London, UK.
Tahun 2008 ; Isi : i – viii
dan 176 Halaman.
ISBN 978 0 7494 5007 6
BAB I
TENTANG BUKU
Management : Gaining Control of
Issues,Crises & Corporate Social Responsibility’ karya Andrew Griffin ini banyak digunakan sebagai rujukan
oleh para pemerhati dan penggiat
komunikasi dan korporasi. Secara
skematis, isi atau kandungan buku yang berisi tujuh bab yang secara keseluruhan
merepresentasi judul dan tujuan penulisannya, adalah sebagai berikut :
Reputation management today
|
§ Reputation terminology
§ Reputation evaluation
§ Aspects of managing reputation risk
§ Reputation management: some company caricatures
|
The corporation under fire
|
§ The world is freer and smaller
§ It is a world of fear
§ It is a world of information
§ Individuals are empowered
§ NGOs are empowered
§ Governments remain powerful, whilst corporate power is waning
|
Regaining the reputation initiative
|
§ Changing the corporate mindset
§ Putting reputation at the heart of the business
§ Redrawing the corporate stakeholder map and engagement plan
|
Social responsibility – your initiatives on
your initiative
|
Turning the corner – the corporation on the
couch
|
§ Notes from the psychologist’s couch
§ Follow change or make change?
§ Leading change in reputation management
|
§ What is CSR?
§ CSR is about business, but not controlled by business
§ CSR does not shield companies from reputation risk
§ CSR reports are a waste of time and trees
§ The concept of corporate citizenship is more helpful than CSR
§ Performance matters more
|
Crisis management – leadership in a tried and tested system
|
§ Crisis management – easy in theory
§ Crisis management is about substance, not spin
§ You’re not alone
§ Prepare your people as well as your process
§ Practice makes perfect
§ Leadership is the key differentiator
§ Crisis management – an
action plan for change
|
Issues management – shaping the agenda
|
§ Issues management – difficult in theory
§ Categorizing and prioritizing issues
§ Issues management is as important as crisis management, but requires
different skills and tools
§ Local issues can now have global consequences
§ Issues management is about agenda control
§ Global issues need (uncharacteristic) long-term thinking
|
Pada bagian awal diketengahkan makna dan berbagai
aspek mendasar mengenai reputasi, perkembangan atau evolusi yang terjadi
seputar reputasi berikut penegasan bahwa kini sudah saatnya organisasi
melakukan evaluasi dirinya berdasarkan keseluruhan impresi atau pandangan dan
penilain publik. Reputasi merupakan
salah satu kekayaan penting bagi suatu organisasi karena pengaruh yang bisa
ditimbulkannya, namun sangat rentan mengingat setiap saat bisa berubah akibat
perilaku atribusi perusahaan dan keterhubungan dengan lingkungan. Untuk menjaga
agar tetap pada kondisi yang diinginkan, maka diperlukan upaya sistemik dan
sistematis, yakni manajemen reputasi.
Pada pembahasan lanjut, diketengahkan pandangan
bahwa organisasi kini tak bisa lagi menutup diri dan lebih beorientasi ke dalam
saja; informasi menjadikan berkurangnya jarak dan dunia pun kian ‘sempit’.
Semangat untuk memberdayakan diri harus dimilliki, melekat dan senantiasa bergelora pada organisasi agar
mampu bertahan atau menang dalam ketatnya kompetisi yang melibatkan berbagai
kekuatan luar. Organisasi dituntut mengubah pandangan (mindset)
dan menempatkan reputasi sebagai jantung kehidupan usahanya (the
heart of business)
Terkait
manajemen reputasi, organisasi harus selalu memiliki kesiapan untuk berhadapan
dengan terjadinya krisis, siaga dalam menangkal serta mengendalikannya melalui
cara pengelolaan (manajamen krisis) yang baik.
Demikian pula dengan isu-isu manajemen yang setiap waktu muncul dalam
kehidupan organisasi, sangat diperlukan kecakapan dalam mengagendakan tahapan,
pengenalan, pemilahan serta penanganan yang proporsional prinsip- prinsip dalam
pengelolaan krisis. Pada bagian akhir,
ditegaskan pentingnnya mengarahkan organisasi menjadi warga negara yang baik,
bertanggung jawab dan berelasi dengan publik melalui program dan kegiatan yang
bermanfaat, di antaranya adalah CSR (corporate social responsibility); serta
mengarahkan insane organisasi berkemampuan
memimpin perubahan (leading change)
dalam pengelolaan reputasi.
BAB II
POKOK-POKOK PEMIKIRAN
New Strategies for Reputation Management
Gaining Control of Issues, Crises & Corporate Social Responsibility
Dua dekade terakhir ini, menurut sebagian
ahli, kita memasuki apa yang digambarkan
sebagai ‘revolusi reputasi’ (reputation revolution).
Hampir semua organisasi, dari berbagai bentuk dan ukuran, dan di semua
sektor/bidang usaha, secara intens membicarakannya dalam ‘bahasa’ yang relatif
amat fasih. Reputasi telah menjadi
urusan penting. Banyak organisasi memposisikannya sebagai unsur penting dalam
strategi menjalankan usaha, sehingga pemosisian secara fungsional maupun
struktural pun berada di level atas.
Pada perusahaan
multinasional dan organisasi-organisasi besar di negara maju, konsep manajemen
reputasi telah merambah, ke luar dari batas-batas kelaziman yang menempatkannya di unit kerja atau departemen komunikasi. Kini dengan mudah kita dapat
menemukan istilah/terminologi seperti proteksi atau
perlindungan reputasi (reputation
protection), manajemen resiko reputasi (reputation
risk management), dan strategi reputasi (reputation strategy) di tingkat paling atas dalam rencana strategis perusahaan. Beberapa organisasi bahkan telah untuk memasukkan reputasi dalam titel posisi/jabatan seorang eksekutif senior, misalnya Dow telah memiliki Wakil Presiden Direktur di Bidang Komunikasi
dan Reputasi (VP
of Communications and Reputation) dan GSK
dengan Wakil Presiden Direktur di Bidang Citra dan Reputasi Perusahaan (VP
of Corporate Image and Reputation).
Pentingnya reputasi, antara lain ditunjukkan salah
satu hasil survey suatu lembaga riset terpercaya yang merekam 72,1% CEO
perusahaan terkemuka dunia, sangat menaruh perhatian dan khawatir akan ancaman
reputasi terhadap perusahaan, yang karena itu secara ‘concern’ menekankan
pentingnya penerapan manajemen reputasi.
1.
Manajemen Reputasi
Reputasi dapat difahami sebagai
keseluruhan kualitas dan karakter yang terlihat
atau dinilai oleh orang lain; ketenaran atau kemasyhuran; atau
sebagaimana digambarkan lebih lanjut dalam
The Penguin English Dictionary, adalah pengakuan
oleh orang lain atas beberapa karakteristik atau
kemampuan. Pengertian ini sangat jelas dan sederhana, namun tatkala diterapkan ke
dalam reputasi perusahaan, menjadi sangat rumit,
sebagaimana digambarkan banyak pakar bahwa reputasi adalah representasi persepsi dari tindakan
masa lalu perusahaan dan prospek masa depan yang menggambarkan perusahaan
secara keseluruhan menarik bagi semua konstituen utamanya bila dibandingkan
dengan saingan terkemuka lainnya.
Reputasi yang kini popular dalam pandangan para pemangku kepentingan perusahaan (stakeholderview of the firm), adalah cara pandang suatu organisasi atau perusahaan yang menekankan bahwa untuk mendapatkan lisensi jangka panjang dalam beroperasi, dan keberhasilan, bergantung pada interaksinya dengan jaringan luas para pemangku kepentingan. Dalam hal ini dapat pula dinyatakan bahwa
reputasi perusahaan pada dasarnya adalah kinerja mereka dalam kaitannya dengan
kemampuan mengakomodasi berbagai pendekatan yang
dipilih para pemangku kepentingan, interaksi untuk saling melengkapi keinginan,
dan upaya mencapai situasi yang telah digambarkan sesuai rancangan para
pemangku kepentingan.
Manajemen
reputasi (reputation management) pun didefinisikan dalam banyak versi. Salah satu di antaranya,
dikemukakan Michael Morley, sebagai inisiatif orkestrasi hubungan masyarakat (public
relations) yang memiliki ciri atau karakteristik khas dan dirancang untuk mempromosikan atau melindungi merek
yang paling penting untuk dan atau telah memiliki, yaitu reputasi perusahaan.
Terdapat tiga komponen utama dalam manajemen reputasi yang masing-masing
bisa dipilah dan dikelola secara berbeda, namun harus dipertimbangkan sebagai satu kepentingan/kebutuhan manajemen,
yaitu reputasi perusahaan. Ketiga
komponen dimaksud adalah : pengelolaan krisis (crisis management), pengelolaan
berbagai isu (issues management), dan tanggung jawab sosial (social
responsibility). Bagaimana suatu organisasi/perusahaan melakukan
mengupayakan tiga hal tersebut, itulah
yang akan menentukan tingkat keberhasilan dalam membangun atau mewujudkan reputasi
dirinya.
Terkait dengan itu, dikenali adanya beberapa karakter dan gambaran tentang
perusahaan, yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam menandai dan menilai
suatu organisasi/perusahaan, yaitu sebagai berikut :
§ Crisis
obsessed, but otherwise unprepared
Menghawatirkan krisis, namun tidak melakukan persiapan yang cukup untuk
menghadapinya. Memahami apa yang harus
dipersiapkan secara fisik dan telah berusaha mengimplementasikan, namun tidak
mengalami perkembangan karena tidak melakukan persiapan yang memadai.
§ Reputation
by systems
Membangun
reputasi dengan sistem yang dirancang sedemikian rupa, dan perusahaan pun
menginvestasikan sejumlah besar waktu dan biaya untuk itu, untuk mencegah
terjadinya kemungkinan timbulnya reputasi buruk. Berbagai proses yang amat
kompleks dibuat, dan diyakini apabila dilaksanakan dengan baik, maka reputasi
akan terjaga dari barbagai kemungikinan resiko. Sayangnya, sistem sering direkayasa terlalu berlebih untuk tak bisa ditembus. Maka jika terjadi sesuatu yang
diluar dugaan, semua orang menghabiskan begitu
banyak waktu konsultasi sistem, menata aturan tentang apa yang boleh dan tidak (dos and
don'ts), petunjuk dan tips, bimbingan, daftar
dan protokol yang, pada saat mereka telah memutuskan yang bertanggung jawab dan
tindakan apa yang harus diambil. Dalam organisasi ini, waktu lebih
banyak digunakan mengelola sistem daripada mengelola
risiko, dan sistem menjadi sangat rigid yang harus diutamakan daripada hal lain yang memungkinkan terpenuhinya penerapan manajemen risiko reputasi yang baik.
§ Great
culture, bad structure
Organisasi menjadi 'tempat yang bagus untuk bekerja', di mana sesama anggota atau pekerja merasa diberdayakan dan dihargai. Nilai reputasi benar-benar terasa
berada di jantung perusahaan, dan semua
orang merasa sakit ketika sesuatu berjalan salah. Beberapa masalah dikelola
secara sensitif dan efektif, tetapi ada hal lain yang tidak ditangani dengan cara yang komprehensif sebagaimana diperlukan. Penolakan dapat menyelinap masuk, dan beberapa mungkin menjauhkan diri dari
masalah dan menyerahlannya pada orang lain; dan, ketika sesuatu yang sangat tidak beres terjadi, hirarki dan disiplin untuk memperbaikinya
tak bekerja dengan baik.. Hal ini
biasanya ditemukan di perusahaan yang relatif muda dan masih menganggap asset berharga hanyalah orang dan merk.
§ Overconfident
Terlalu
percaya diri dengan keyakinan bahwa tidak ada masalah, dan kalau pun terjadi
kekacauan maka sudah ada orang-orang cakap yang menanganinya. Sikap ini
ditemukan di antara perusahaan yang lebih kecil, yang didirikan oleh pengusaha,
yang tampaknya tidak berlangsung lama. Tidak ada sistem, tidak ada pelatihan, dan. tidak memiliki banyak gagasan.
§ Reputation evangelists
Sering ditemukan pada industri besar dan kaya tetapi
kontroversial, di mana perusahaan menaruh segala aspek dan
perhatiannya untuk kepentingan manajemen
reputasi, kadang berlebihan sehingga
mereka kehilangan naluri yang membuat mereka begitu sukses di tempat pertama.
Perusahaan ini dibentuk dengan mengandalkan orang-orang komunikasi yang berpengalaman kerja untuk badan amal dan pelestarian lingkungan, atau kelompok pelobi hak
asasi manusia, dan mereka ingin
bekerja pada perusahaan yang berkehendak
mengurusi perang dan mengentaskan kelaparan. Manajemen lebih mengedepankan permohonan
maklum bila para pemangku kepentingan melihat kinerjanya tidak terlalu baik. Ini hanya mendorong lebih banyak orang untuk
mengkritik perusahaan, serta lebih menjadikan reputasi
yang tidak tepat bahkan merusak reputasi.
2. Organisasi dalam Tekanan
Semangat Mengelola Reputasi
Organisasi, apa pun bentuknya, dewasa ini dalam tekanan atau tuntutan untuk
membangun semangat mengelola reputasi.
Ada enam hal yang menjadi penyebab sekaligus merupakan karakter dominan,
yang seluruhnya dalam konteks eksternal, yaitu :
§ The world is
freer and smaller. Dunia kini lebih bebas atau terbuka dan kian kecil. Perkembangan teknologi informasi dan aksesibilitas, serta keterjangkauan perjalanan internasional, berkembang pesat.
§ It is a
world of fear. Kini dunia kian menakutkan. Rasa takut adalah bagian penting yang
bersifat mendasar yang
dihadapi perusahaan saat ini. Hanya sedikit yang perlu dikhawatirkan dalam kehidupan langsung, namun
banyak waktu yang harus dihabiskan untuk kekhawatiran
akan resiko
teoretis atau hal-hal yang belum menentu.
§ It is a
world of information. Kini adalah dunia informasi. Kemunculan internet dan adanya kecenderungan publik lebih bebas mendapatkan informasi dari pemerintah, merupakan suatu keadaan yang
menuntut perubahan sikap organisasi/perusahaan. Segalanya mudah diketahui, tak lagi bisa menutup diri. Media dalam katan
ini, juga berkemampuan untuk mendekontruksi informasi yang harus dikelola.
§ Individuals
are empowered. Individu kini telah diberdayakan. Faktanya, ada sebagian individu yang memiliki kepandaian yang digunakan bersama
pihak lain (terutama LSM dan media), berkiprah menentang rencana perusahaan, kebijakan dan eksistensinya.
§ NGOs are
empowered. LSM kini amat berdaya. Mereka memiliki kapabilitas untuk menjadi mitra
yang positip dan menguntung. Sebagian dari masalah
dengan LSM adalah komunikasi yang seringkali menggunakan bahasa yang salah, karenanya
gagasan bermitra dengan LSM dapat
membuat beberapa kelompok pebisnis terbelenggu rasa takut, sebagaimana gambaran dalam pikiran mereka bahwa
mengenai LSM di di sisi yang mengkhawatirkan.
§ Governments remain powerful, whilst corporate power is waning. Pemerintah tetap kuat, kekuasaan perusahaan sementara berkurang.
Kendati LSM
bertumbuh dalam jumlah dan
kekuatannya, tetap saja pemerintah adalah pusat
kekuatan nyata. Anggapan konvensional yang mengira bahwa kekuasaan pemerintah menyusut di era globalisasi, terlalu
berlebihan. Kalangan bisnis, LSM dan individu dapat melobi dengan cara efektif melalui media,, namun pemerintah masih tetap yang
memiliki kewenangan memutuskan.
Dunia di kemudian hari nanti (tomorrow’s world), bagi perusahaan
adalah suatu
keadaan di mana akan terjadi benturan reputasional. Risiko lama masih ada , tetapi harus ditambah pula risiko baru . Maka, tak
ada jalan lain bagi perusahaan kini, selain
mempersiapkan diri dari resiko yang dapat mempengaruhi reputasi, sebagai
berikut :
§ Krisis
mempengaruhi perusahaan.
§ Krisis yang
berdampak terhadap satu sector atau
kelompok yang lebih luas
§ Isu atau permasalahan sosial yang bersifat global.
§ Perusahaan
atau kinerja yang terkait masalah - kualitas produk , pasokanl
rantai dan isu-isu tata kelola perusahaan , misalnya.
§ Isu lokal dengan kemungkinan
konsekuensi yang lebih luas –
§ Serangan terhadap perusahaan dan keberadaannya.
Demikian itu
adalah konteks eksternal yang mendasari tekanan/tuntutan suatu organisasi
mencanangkan semangat dalam mengelola reputasi dirinya. Mengubah realitas eksternal berarti bahwa organiasasi/perusagaan
tidak lagi harus berada di
tengah-tengah krisis atau bahkan mengelola masalah yang berkembang untuk menghadapi ancaman reputasi.
Keseimbangan kekuasaan antara pemain yang bersaing yang berbeda kini telah berubah, dengan lebih memperhatikan
permintaan atau tuntutan pelanggan
dan individu atau kelompok yang telah diberdayakan. Jadi, tidak mengherankan jika perusahaan begitu sering tak menampakan diri atau
berada di belakang, mereka kadang-kadang
merasa tidak dicintai, dan tidak mengherankan pula
jika mereka kemudian menentukan pencanangan manajemen reputasi secara serius.
3. Insiatif Menguatkan Kembali
Reputasi
Ada tiga hal yang dapat dikatakan sebagai pilar dalam menguatkan kembali (regaining) reputasi, yaitu : (a)
mengubah pola pikir perusahaan (changing
the corporate mindset); (b) menempatkan reputasi di jantung bisnis perusahaan (putting reputation at the heart of the
business); dan (c) menggambarkan ulang
peta keterlibatan para pemangkku kepentingan perusahaan (redrawing the corporate stakeholder
engagement map).
a.
Changing the
corporate mindset
Dunia usaha
seringkali digambarkan sebagai kapitalis yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang
diinginkannya. Hal inilah yang sangat
dikhawatirkan para pemangku kepentingan.
Ada sebuah kenyataan yang memang seringkali mengesankan bahwa kita
menikmati kekayaan atau kesejahteraan
sementara terjadi kemiskinan dan ketidaksetaraan. Oleh karena itu kita perlu mengubah cara , menunjukkan adanya kamauan untuk belajar dan terlibat dalam mengatasi kekhawatiran tersebut. Namun demikian, dengan kerendahhatian dalam
mengahadapi isu-isu yang berkembang
serta selalu siap menghadapi
krisis besar dalam organisasi kita, tujuan utama kita adalah melindungi diri dari ancaman terburuk terhadap reputasi perusahaan.
Perubahan pola pikir yang disarankan kepada para manajer
eksekutif perusahaan, secara ringkas tertuang dalam 10 tips sebagai
berikut :
§ Jika yakin, katakanlah itu sejujurnya (if you believe it, say it ).
§ Temukan kembali keberanian perusahaan (rediscover
corporate courage). Jangan
menghindar dari pertentangan isu-isu
penting , terutama ketika agenda satu pemain utama terpisah jauh . Jika tidak dapat bergabung dengan mereka, kalahkan
mereka.
§ Kedepankan
sikap positif (Accentuate the positives). Rasakan dan ekspresikan keberanian (tidak malu) menyampaikan
keberhasilan dan prestasi
perusahaan. Perlu diingat , dengan laba membayar dana pensiun , dengan pajak
membayar untuk layana, dan dengan keberhasilan
perusahaan menciptakan pekerjaan dan kekayaan .
§ Jangan menerima disalahkan atas isu-isu sosial global (don’t
accept the blame for global societal issues). Kemiskinan bukan kesalahan usaha; segala
penyakit, dan terrorisme
bukanlah kesalahan bisnis.
§ Bersikaplah positif tentang masa depan (be
positive about the future). Dunia
memiliki masalah dan akan selalu begitu,
namun bisnis telah berlangsung
dalam kondisi demikian, dan akan tetap melaju terus
§ Pandanglah reputasi sebagai peristiwa atau game jangka panjang
(see reputation as a long-term game). Berpikir jangka pendek sebagaimana dilakukan semua pemain industri global,
harus dipatahkan. Jika dapat mengorbankan keuntungan
jangka pendek untuk membuat perbedaan reputasi jangka panjang, seyogyanya beranilah untuk segera dilakukan.
§ Jadilah seorang ‘realis reputasi[ (be a ‘reputation realist’). Terimalah bahwa sebagian berlawanan dengan
kita, namun ini bukan hal yang buruk . Jika kita berharap selalu dapat
menerima dan diterima semua orang
, ada kemungkinan kita tidak tulus kepada sebagian
dari mereka.
§ Dapatkan kembali isu-isu
kunci ke wilayah kita Anda (get key issues back on to
your territory). Jika orang
lain mengontrol agenda, kita akan selalu berada dalam posisi
'merespon dan membela' (‘respond and defend’ mode).
§ Jangan bicara reputasi, namun 'lakukan' reputasi (don’t talk reputation, ‘do’
reputation). Reputasi menjadi
sesuatu yang tak bermakna, kecuali dilakukan dan menjadi kepentingan perusahaan
secara menyeluruh.
§ Selalu
bersiap, dan tidak sombong (Be
prepared, not arrogant). Percaya diri dan ketegasan diperlukan dalam perdebatan publik terkait
manangani krisis, namun perlu diingat kesombongan akan melahirkan reputasi yang
buruk.
b.
Putting
reputation at the heart of the business
Reputasi dalam sepak terjang bisnis seringkali
dipandang sebagai sesuatu yang tidak jelas, orang lebih merespon hal-hal yang
terlihat (tangible) dan emosi positif
daripada melakukan sesuatu yang digerakkan dugaan negatif. Oleh kerana itu banyak dipertanyakan
bagaimana mungkin diletakkan di jantung bisnis suatu perusahaan. Dalam hal ini, reputasi harus dilihat sebagai sesuatu yang layak untuk
dimiliki dan dibangun, bukan sekedar permainan kalah menang dalam persaingan.
c.
Redrawing
the corporate stakeholder engagement map
Perubahan pola pikir
perusahaan yang krusial dalam kaitannya dengan
upaya memperkuat/mendapatkan kembali reputasi adalah menggambarkan ulang peta keterlibatan
pera pemangku kepentingan. Jika
keterlibatan dimaksud adalah mendorong perusahaan untuk 'berbicara dan mendengarkan
orang-orang yang peduli kepada kami dan bisnis kami', maka sangat masuk akal untuk mengkategorikan dalam peta.
Terdapat pemahaman untuk saling terkait dan memahami kepentingan yang berimbang
antara perusahaan dengan para pemangku kepentingan. Namun demikian, pada kenyataannya seringkali hal ini memunculkan model yang kurang
sempurna atau memiliki cacat untuk benar-benar memahami dan berurusan dengan
khalayak organiasi.
Mapan dalam menangani isu atau
masalah besar, maju dalam bisnis, dan
mampu menggalakan inisiatif untuk mendapatkan atau mengutakan reputasi
perusahaan, bukanlah sesuatu yang bisa
dilakukan secara terpisah dari aktivitas sehari-hari dalam pengeloaan isu dan krisis. Mengubah pola pikir perusahaan, menempatkan reputasi ke jantung organisasi dan menggambar ulang keterlibatan
para pemangku kepentingan, merupakan tiga utama dalam merebut/memperkuat kembali reputasi perusahaan.
4. Manajemen Krisis (Crisis Management)
Lingkungan eksternal yang
selalu berubah dan bergerak dinamis berpotensi menjadi krisis, dan sangat
mempengaruhi pengelolaan krisis dalam perusahaan. Kepemimpinan dan kompetensi sangat dibutuhkan
untuk melengkapi atau menyempurnakan penanganan, bukan sekedar mengganti prosedur dan sistem yang lazimnya terjadi
tatkala menghadapi perubahan dramatis.
Krisis berbeda dengan isu, dan dapat diartikan sebagai resiko akut terhadap
reputasi. Krisis terjadi secara tiba-tiba,
menyebabkan pengawasan intens dan menempatkan organisasi dalam sorotan untuk segala hal
yang salah.
Menghadapi keadaan demikian,
beberapa hal penting yang perlu diperhatikan antara lain : manajemen krisis adalah tentang substansi, bukan
tindakan sekelebat; kita tidak sendirian; selalu
menyiapkan tim yang sesuai untuk menjalankan proses; bertindak penuh
perhitungan; dan, kepemimpinan merupakan pembeda utama. Selanjutnya, berikut ini 10 rekomendasi untuk
praktek terbaik dalam pengelolaan krisis :
§ Mempersiapkan para pemimpin (prepare your leaders), untuk menghadapi berbagai gejolak yang
terjadi.
§ Menyederhanakan manual krisis (simplify
the crisis manua )
§ Memahami kekuatan dan keterbatasan (understand
powers and limitations)
§ Fokus pada kompetensi (focus on
competence)
§ Perhatikan tim dinamis (watch the team dynamic), untuk memastikan segala proses dalam
menyikapi berbagai gejolak yang terjadi
berjalan baik.
§ Komunikasikan segera dan sesering mungkin (communicate early and often)
§ Jangan lupa orang-orang kita sendiri (don’t forget your
own people)
§ Miliki krisis oleh semua (own the
crisis all), tidak hanya sebagain
orang atau pihak yang harus berperan dan bertindak.
§ Bertindak (practise, practise), kesiagaan harus dibuktikan dengan langkah.
§ Tunjukkan, jangan hanya bicara (show, don’t tell). Tidak hanya menjelaskan apa yang menjadi
perhatian kita, namun perlihatkan dengan jelas.
5. Manajemen Isu (Issues Management)
Pengelolaan berbagai isu (issues management) merupakan bidang yang
berhubungan erat dengan manajemen krisis (crisis
management), sebagian ahli bahkan sudah sejak lama mengibaratkan
‘kakak-beradik’. Organisasi pada semua bentuk dan ukuran
berusaha untuk bisa menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah atau isu
aktual dan potensial, dari pemanassan
global hingga ke restrukturisasi
lokal, dari etika rantai pasokan hingga
kualitas produk. Setiap organisasi mengelola resiko yang dihadapi
saat ini dan mendatang untuk dan sebagai
bagian dari perjuangan untuk mendapatkan reputasi.
Dalam isu terdapat pengategorian (categorization)
yang digunakan sebagai dasar pemrioritasan (prioritization).
Isu dapat dibedakan dalam 3 kategori, yaitu :
§ Isu-isu
perusahaan (corporate issues), yaitu isu yang timbul dan terkait dengan proses yang
dilakukan perusahaan dalam pengolahan produk dan
jasa, mencakup:
isu tata kelola perusahaan, masalah
kualitas produk , nilai , kinerja dan sebagainya.
§ Isu global (global
issues), yakni permasalahan besar yang terjadi saat ini dalam cakupan luas, tidak hanya meyangkut hal-hal spesifik dalam lingkung indovidu dan petusahaan, misalnya
saja : etika dalam sourcing , isu-isu lingkungan, kesehatan dan obesitas, dan sebagainya.
§ Isu-isu
lokal (local issues), yaitu permasalahan di tingkat mereka yang secara
langusng gerkena dampak dari keberadaan organisasi/perusahaan, misalnya
redudansi lokasl, kontaminasi situ, perencanaan perluasan pabrik.
Prioritas penanganan isu
didasakan pada tingkat resiko yang ditimbulkan dari masing-masing kategori
tersebut. Selanjutya perlu ditekankan bahwa manajeman isu sama penting dan
jenisnya dengan manajemen krisis, hanya berbeda dalam persyaratan keahlian dan
perangkat yang digunakan; manajemen isu adalah kendali agenda permasalahan; isu
lokal kini bisa berkonsekuensi global; dan isu global yang secara umum tak
sepenuhnya berkarakter perlu pemikiran panjang dalam identifikasi dan
penanganannya.
6. Tanggung Jawab Sosial (Social responsibility)
Perwujudan tanggung jawab
sosial dari satu organisasi/perusahaan kepada masyarakat di lingkungan sekitar
atau di mana mereka beroperasi, dikenali dalam terminologi yang kini popular,
yaitu CSR (corporate social responsibility).
CSR adalah konsep di mana perusahaan
mengintegrasikan kepedulian sosial
dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka, serta interaksi dengan para pemangku kepentingan, yang dilakukan secara secara sukarela. Penekanan CSR dalam banyak pemahaman adalah sifat sukarela dan terintegrasinya masalah sosial dan lingkungan dengan operasi
bisnis dalam keadan normal. CSR pun umumnya dikaitkan dengan konsep
keberlanjutan yang menekankan bahwa bisnis yang bertahan dan berkembang atau
berkelanjutan adalah mereka yang selain mempertimbangkan kebutuhan sosial
dan lingkungan, selain mempertimbangkan aspek finansial.
Selanjutnya ditegaskan bahwa
meskipun CSR selalu terkait dengan bisnis, namun tidak serta-merta
dikendalikan/dikontrol oleh bisnis.
Selain itu, juga perlu sepenuhnya disadari bahwa CSR tidak melindungi
perusahaan dari resiko reputas, dan hanya sebagai perangkat yang berdaya bantu
terhadap upaya membangun citra, dan yang
terpenting tetap saja kinerja perusahaan.
Terkait dengan CSR, yang
justru sangat dan lebih penting dikedepankan untuk diterapkan oleh perusahaan
adalah konsep ‘corporate citizenship’. Beberapa
rekomendasi untuk itu, di antaranya : Hindarkan bahasa
CSR yang berkonotasi negatif, yaitu menawarkan pemberian; Jalankan bisnis
dengan baik dan bersih; Mengubah perdebatan soal tanggung jawab dari enak
dilakukan menjadi baik dilakukan; Berfokus pada kinerja, karena inilah yang
diharapkan masyarakat pelangggan; Meyakinkan perusahaan sebagai warga Negara
yang baik dan bertanggung jawab melalui tindakan nyata yang sesuai kebutuhan
semua pelanggan dan para pemangku kepentingan.
7. Memimpin
Perubahan dalam Manajemen Reputasi
Semua organisasi/ perusahaan memiliki kepribadian tertentu
yang berbeda satu dengan lainnya. Dalam
kaitannya dengan manajemen reputasi yang mensyaratkan keharusan memimpin
perubahan, maka perusahaan pun dituntut lebih berani, tegas dan lebih percaya
diri. Lebih lanjut mengenai memimpin
perubahan tersebut, perusahaan harus :
§ Benar-benar memahami makna dan nilai reputasi, serta memastikan pula cara positif
untuk mencapainya dapat diresapi/diterapkan
dalam aktvitas perusahaan (bukan sekedar
formal di ruang rapat) oleh seluruh jajaran.
§ Memahami mengapa sikap memusuhi perusahaan kian tinggi, dan menilai risiko baru yang timbul, dan tidak
membiarkan hal-hal negatif berkembang.
§ Mengubah pola pikir perusahaan, untuk lebih berani dalam
menyatakan, sebagai yang terbaik, sepanjang sesuai; merayakan keberhasilan dan
capaian prestasi, merupakan kekuatan perusahaan.
§ Mengubah cara pandang, pemrioritasan dan perlakuan para para pemangku kepentingan; serta selalu bersiap untuk mempertahankan reputasi dari risiko akut (krisis),
tetapi memastikan bahwa kriss terjadi sekarang bukan yang lalu; mengadopsi pendekatan proaktif dalam mengelola risiko dan krisis, serta
mengendalikan agenda dan menjadi tegas jika diperlukan.
§ Memikirkan kembali konsep dan praktik tanggung jawab
sosial perusahaan, bergerak menjauh dari premis negatif, dan menekankan pada yang lebih positif untuk menjadi
bisnis yang baik dan warga korporasi yang baik.
Perusahaan telah lama menjadi kekuatan pendorong bagi kemajuan dan pembangunan di berbagai negara di dunia. Namun seiring berbagai perubahan dan situasi dinamis di hamir semua bidang
kehidupan, ditimpali pula iklim
kompetisi yang amat ketat belakangan ini, mereka
kehilangan peran kepemimpinan, bahkan seringkali dipandang dengan kecurigaan serta ketidakpercayaan. Perusahaan dharuskan mengambil langkah positif untuk dalam
mengelola perubahan tersebut melalui kepemimpinan yang memadai untuk menggalang
citra dan reputasi yang baik dan selarasa tuntutan jaman.
BAB III
RELEVANSINYA
DENGAN DUNIA PENDIDIKAN
Reputasi dewasa ini telah menjadi bagian penting
bagi kehidupan organisasi, baik yang berorientasi laba maupun nirlaba, untuk
melanggengkan keberadaannya atau untuk dapat maju berkembang selaras jaman.
Demikian pula dalam dunia pendidikan. Lembaga penyelenggaranya, terlebih yang
swakelola, dituntut untuk membangun dan memeliharanya dengan baik mengingat
reputasi menjadi salah satu aspek yang dipertimbangkan para pengguna atau
pemangku kepentingan secara umum.
Lembaga pendidikan yang dituntut menjalankan
manajemen reputasi, segera dan dapat dikatakan bersifat mutlak adalah perguruan
tinggi swasta. mau tak mau harus
dicanangkan penerpapannya di lembaga pendidikan. Perguruan tinggi swasta (PTS) dihadapkan pada tantangan untuk selalu
mampu memenuhi setidaknya dua kebutuhan esensial dalam pengelolaan
kelembagaannya. Pertama, sebagai lembaga yang keberadaannya merupakan elemen
penting dari sistem pendidikan nasional, dituntut mampu menjalankan fungsi dan
pencapaian tujuan sebagaimana diamanatkan undang-undang, peraturan pemerintah,
dan berbagai regulasi lain yang berkekuatan hukum. Kedua, sebagai lembaga
penyelenggara pendidikan swakelola masyarakat,
PTS adalah bagian dari dunia usaha yang harus mampu menjalankan fungsi bisnis
secara professional, berdaya saing, sehat dan bertanggung jawab, dengan tetap mengedepankan fungsi dan
tujuan tersebut.
Dalam Undang-Undang RI
No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pada Pasal 4 dinyatakan secara
tegas bahwa fungsi pendidikan tinggi adalah untuk : (a) mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; (b) mengembangkan sivitas akademika
yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma;
dan (c) mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan
menerapkan nilai Humaniora. Pada pasal 5 dinyatakan tujuan pendidikan tinggi
antara lain untuk terwujudnya pengabdian kepada masyarakat berbasis penalaran
dan karya penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Keberhasilan menjalankan
fungsi dan pencapaian tujuan tersebut, dalam skala atau tingkat perolehan yang
proporsional dengan kapasitas kemampuannya, menunjukkan besarnya kontribusi PTS
terhadap sistem pendidikan nasional.
Besarnya kontribusi ini merupakan salah satu penopang utama PTS dalam
menjalankan segala upayanya sebagai institusi bisnis di tengah masyarakat yang
adalah pasar baginya. Semakin besar nilai kontribusi yang diberikan, dan
mendapat pengakuan publik secara umum, maka kian besar peluang untuk sukses
meraih pasar, dalam pengertian besarnya keterlibatan anggota masyarakat menjadi
peserta program pendidikan dan pemangku kepentingan.
Pada sisi PTS sebagai
institusi bisnis, tak pelak lagi adanya keharusan untuk mampu secara efektif
dan efisien mengelola semua sumber daya yang ada. Pengelolaan ini sepenuhnya
berorientasi pada tumbuhnya kepercayaan masyarakat yang dibuktikan setidaknya
dengan dua bentuk pengakuan, yakni : merasakan kehadiran lembaga sebagai
sesuatu yang berarti dan penting bagi mereka; banyak dan selalu meningkatnya
peserta dari program pendidikan yang diselenggarakan. Pada dasarnya PTS hanya bisa hidup dan
berkembang dengan baik dalam keadaan yang ditentukan oleh keberhasilannya di
sektor ini.
Maju-mundur dan hidup-matinya
PTS sangat ditentukan oleh reputasi yang yang dibangun di atas kemampuannya
menjalankan fungsi dan pencapaian tujuan di atas, serta banyaknya anggota
masyarakat yang menjadi pemangku kepentingan atau setidaknya menjadi peserta
program pendidikan.
BAB IV
SIMPULAN & SARAN
a. Simpulan
Reputasi pada dasarnya adalah
nama baik yang diberikan pihak eksternal maupun internal organisasi berdasarkan
penilaian tertentu. Dalam pemahaman
lebih lanjut reputasi dapat dimaknai sebagai keseluruhan kualitas dan karakter yang terlihat atau dinilai oleh orang lain; ketenaran atau
kemasyhuran; atau pengakuan oleh orang lain atas beberapa karakteristik atau kemampuan. Sedangkan
manajemen reputasi dalam penggambaran sederhana adalah inisiatif orkestrasi hubungan masyarakat (public
relations) yang memiliki ciri atau karakteristik khas dan dirancang untuk mempromosikan atau melindungi merek
yang paling penting untuk atau telah dimiliki, yaitu reputasi perusahaan.
Terdapat tiga komponen utama dalam manajemen reputasi yang masing-masing
bisa dipilah dan dikelola secara berbeda, namun harus dipertimbangkan sebagai satu kepentingan/kebutuhan manajemen,
yaitu : pengelolaan krisis (crisis management), pengelolaan
berbagai isu (issues management), dan tanggung jawab sosial (social
responsibility). Bagaimana suatu organisasi melakukan mengupayakan tiga
hal tersebut, itulah yang akan
menentukan tingkat keberhasilan dalam membangun atau mewujudkan reputasi
dirinya.
Ada tiga hal yang dapat dikatakan sebagai pilar dalam menguatkan kembali (regaining) reputasi, yaitu : (a)
mengubah pola pikir perusahaan (changing
the corporate mindset); (b) menempatkan reputasi di jantung bisnis perusahaan (putting reputation at the heart of the
business); dan (c) menggambarkan ulang
peta keterlibatan para pemangkku kepentingan perusahaan (redrawing the corporate stakeholder
engagement map).
Reputasi dewasa ini telah menjadi bagian penting
bagi kehidupan organisasi, baik yang berorientasi laba maupun nirlaba, untuk
melanggengkan keberadaannya atau untuk dapat maju berkembang selaras jaman.
Demikian pula dalam dunia pendidikan. Lembaga pendidikan yang dituntut
menjalankan manajemen reputasi, segera dan dapat dikatakan bersifat mutlak
adalah perguruan tinggi swasta.
Perguruan tinggi
swasta (PTS) dihadapkan pada tantangan untuk selalu mampu memenuhi setidaknya
dua kebutuhan esensial dalam pengelolaan kelembagaannya. Pertama, sebagai
lembaga yang keberadaannya merupakan elemen penting dari sistem pendidikan
nasional, dituntut mampu menjalankan fungsi dan pencapaian tujuan sebagaimana
diamanatkan undang-undang, peraturan pemerintah, dan berbagai regulasi lain
yang berkekuatan hukum. Kedua, sebagai lembaga penyelenggara pendidikan
swakelola masyarakat, PTS adalah bagian
dari dunia usaha yang harus mampu menjalankan fungsi bisnis secara
professional, berdaya saing, sehat dan bertanggung jawab, dengan tetap mengedepankan fungsi dan
tujuan tersebut. Dalam kaitan
ini, manajemen reputasi menjadi sangat relevan untuk diterapkan.
b. Saran
Berdasarkan hasil survey “Corporate Reputation
Watch 2012”, pengalaman 100 perusahaan terkemuka di dunia, ditemukan adanya
lima faktor yang mempengaruhi reputasi, yaitu
: keberadaan (being), tindakan (doing), komunikasi (communicating), mendengarkan
(listening), dan melihat (seeing). Berpijak pada temuan ini, maka laik untuk
disaran kepada lembaga pendidikan tinggi, bahwa dalam pengelolaan reputasi
seyogyanya mengedepankan lima hal
tersebut secara proporsional, yang diwujudkan dalam proses belajar-mengjarar
atau aplikasi kurikulum secara keseluruhan, serta komunikasi organisasional
yang terpimpin dengan baik.
REFERENSI
Griffin, Andrew,. 2008. New Strategies for Reputation
Management Gaining Control of Issues, Crises & Corporate Social Responsibility.
London, UK :
Kogan Page
Limited