PEMBAHASAN
Pengetian
Hakekat Ilmu
Definisi Kakekat
ilmu terdiri dari dua kata yang berbeda. Masing-masing memiliki makna kata yang
berbeda. Kata hakekat secara etimologis berarti
terang, yakin, dan sebenarnya. Dalam filsafat, hakikat diartikan inti dari
sesuatu, yang meskipun sifat-sifat yang melekat padanya dapat berubah-ubah,
namun inti tersebut tetap lestari. Contoh, dalam Filsafat Yunani terdapat nama
Thales, yang memiliki pokok pikiran bahwa hakikat segala sesuatu adalah air.
Air yang cair itu adalah pangkal, pokok, dan inti segalanya. Semua hal meskipun
mempunyai sifat dan bentuk yang beraneka ragam, namun intinya adalah satu yaitu
air. Hakikat dapat juga dipahami sebagai inti-sari, bisa pula berupa
sifat-sifat umum dari pada sesuatu tertentu.
Adapun kata ilmu (science) diartikan sebagai pengetahuan yang didapat secara ilmiah,
atau bisa di sebutkan bagian
dari pengetahuan. Jadi, makna kata
hakekat ilmu dapat diartikan sebagai sesuatu yang mendasari atau yang menjadi
dasar dari arti atau makna dari
ilmu tersebut. Hakekat Ilmu dapat juga diartikan inti-sari dari ilmu tersebut. Untuk
lebih jelasnya tentang pengertian ilmu, dibawah ini akan kemukakan oleh
beberapa ahli filsafat ilmu.
Menurut The
Liang Gie (1996:88), ilmu sebagai pengetahuan, aktivitas, atau metode merupakan
satu kesatuan yang saling berkaitan. Ilmu merupakan rangkaian aktivitas manusia
yang dilaksanakan dengan metode tertentu yang akhirnya metodis itu menghasilkan
pengetahuan ilmiah. Menurut W. Atmojo (1998:324) ilmu ialah pengetahuan tentang
suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang
dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (Pengetahuan)
itu.
Sedangkan
menurut Sumarna (2006: 153), ilmu dihasilkan dari pengetahuan ilmiah, yang
berangkat dari perpaduan proses berpikir deduktif
(rasional) dan induktif (empiris).
Jadi proses berpikir inilah yang membedakan antara ilmu dan pengetahuan. Menurut
J.S. Badudu (1996:528), ilmu adalah: pertama, diartikan sebagai pengetahuan
tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis; contoh: ilmu agama,
pengetahuan tentang agama, ilmu bahasa pengetahuan tentang hal ikhwal bahasa.
Kedua, ilmu diartikan sebagai “kepandaian” atau “kesaktian”.
Jadi, ilmu (science) merupakan pengetahuan dari
proses yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan keilmiahan. Ilmu dalam
pengertian di atas adalah pengertian ilmu dalam konteks ilmu pengetahuan
ilmiah. Mengenai Hakekat Ilmu Pengetahuan, untuk lebih jelasnya akan di bahas
berikut ini:
1. Ilmu
dan Falsafah
Pengertian falsafah
dalam tujuan pembahasan ini diartikan sebagai suatu cara berpikir yang
menyeluruh, untuk mengupas sesuatu dengan sedalam-dalamnya.
Ilmu merupakan
kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan ilmu
dengan pengetahuan-pengetahuan yang lainnya. Ciri-ciri keilmuan ini didasarkan
pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap ketiga pertanyaan pokok seperti yang
kita sebutkan terdahulu. Falsafah mempelajari masalah ini sedalam-dalamnya dan
hasil kajiannya merupakan dasar bagi eksistensi ilmu. Seperti kita ketahui
pertanyaan pokok itu mencakup masalah tentang apa yang ingin kita ketahui (ontologi), bagaimana cara kita
memperolehnya pengetahuan tersebut (epistemologi),
dan apa kegunaannya untuk kita (axiologi).
Setiap bentuk pemikiran manusia dapat dikembalikan pada dasar-dasar ontologi,
epistemologi, dan axiologi dari pemikiran yang bersangkutan. Analisis
kefalsafahan ditinjau dari tiga landasan ini akan membawa kita kepada hakekat
buah pemikiran tersebut. Demikian juga kita akan mempelajari ilmu ditinjau dari
titik tolak yang sama untuk mendapatkan gambaran yang sedalam-dalamnya.
2. Dasar
Ontologi Ilmu
Untuk mengetahui
dasar ontologi ilmu ini, sebagai pertanyaan awal adalah apakah yang ingin
diketahui ilmu? Atau dengan kata lain apakah yang menjadi bidang telaah ilmu?.
Dalam konteks pembahasan ini, Ilmu membatasi diri pada hal-hal yang dapat dijangkau
oleh pengalaman panca indera manusia atau dengan perkataan lain hal-hal yang
bersifat empiris.
Berlainan dengan
agama, atau bentuk-bentuk pengetahuan lainnya, maka ilmu membatasi diri hanya
kepada kejadian yang bersifat empiris dan
rasional. Objek penelaahan
ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia.
Dalam batas-batas tersebut, maka ilmu mempelajari objek-objek empiris seperti
batu-batuan, binatang, tumbuhan, hewan atau manusia itu sendiri. Inilah yang
merupakan salah satu ciri ilmu yakni orientasi terhadap dunia empiris.
3. Dasar
Epistemologi Ilmu
Teori untuk
memperoleh pengetahuan atau yang disebut dengan epistemologi membahas secara
mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh
pengetahuan dengan metode keilmuan. Metode keilmuan inilah yang membedakan
antara ilmu dengan buah pemikiran yang lainnya. Karena ilmu merupakan sebagian
dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memiliki sifat-sifat tertentu, maka
ilmu dapat juga disebut pengetahuan keilmuan. Untuk tujuan inilah, agar kita
tidak terjadi kekacauan antara pengertian “ilmu” (science) dan “pengetahuan” (knowledge),
maka mempergunakan istilah “ilmu” untuk “ilmu pengetahuan” Suriasumantri (2006:9).
Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang
apapun, selama itu terbatas pada objek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh
dengan mempergunakan metode keilmuan, adalah syah untuk disebut keilmuan. Orang
bisa membahas suatu kejadian sehari-hari secara keilmuan, asalkan dalam proses
pengkajian masalah tersebut dia memenuhi persyaratan yang telah digariskan.
Sebaliknya tidak semua yang diasosiasikan dengan eksistensi ilmu adalah keilmuan.
4. Metode
Keilmuan
Pada dasarnya,
ditinjau dari sejarah cara berpikir manusia, terdapat dua pola dalam memperoleh
pengetahuan. Pertama, adalah berpikir
secara rasional. Berdasarkan faham rasionalisme ini, idea tentang kebenaran sudah ada. Pikiran manusia dapat mengetahui idea tersebut, namun tidak
menciptakannya dan tidak pula mempelajarinya lewat pengalaman. Idea tentang kebenaran yang menajdi
dasar pengetahuannya, diperoleh lewat berpikir secara rasional, terlepas dari
pengalaman manusia. Lalu pertanyaannya bagaimana kalau seandainya kebenaran
yang disepakati berdasarkan berpikir secara rasional tersebut tidak sesuai
dengan pengalaman hidup? Maka metode berpikir seperti ini dianggap masih lemah
untuk menyimpulkan kebenaran dengan kesepakatan bersama.
Maka dari itu,
muncullah kemudian cara berpikir lain, yang disebut dengan pola berpikir
empiris. Cara berpikir ini sama sekali berlawanan dengan cara berpikir di atas
(rasional). Cara berpikir empiris menganjurkan bahwa kita harus kembali ke alam
untuk mendapatkan kebenaran. Menurut mereka
bahwa pengetahuan itu tidak ada secara apriorik di benak kita, melainkan
harus diperoleh dari pengalaman.
Berpikir secara empiris juga ternyata belum bisa membawa
ktia kepada sebuah kebenaran, sebab, gejala yang terdapat dalam pengalaman kita
harus mempunyai arti kalau kita memberikan tafsiran terhadap mereka. Disamping
itu, bila kita hanya mengumpulkan pengetahuan mengenai berbagai gejala yang
kita temui dalam pengalaman, lalu apakah gunanya semua kumpulan itu bagi kita?
Pengetahuan yang diperoleh dengan cara ini hanyalah merupakan kumpulan
pengetahuan yang beranekaragam yang tidak berarti. Ternyata bahwa pendekatan
empiris juga gagal mengantarkan kita memperoleh pengetahuan yang benar.
Menyadari Kedua
metode tersebut yaitu rasionalisme dan empirisme memiliki kelebihan dan
kekurangannnya masing-masing, akhirnya timbullah gagasan untuk menggabungkan
kedua pendekatan tersebut untuk menyusun metode yang lebih dapat diandalkan
dalam menentukan pengetahuan yang benar. Gabungan pendekatan rasional dan
empiris ini dinamakan metode keilmuan. Rasionalisme memberikan kerangka
pemikiran yang koheren dan logis. Sedangkan empirisme menjelaskan kerangka
pengujian dalam memastikan suatu kebenaran.
5. Kelebihan
dan Kekuarangan Berpikir Secara Keilmuan
Seperti yang
telah dibahas sebelumnya, bahwa kelebihan ilmu terletak pada pengetahuan yang
tersusun secara sistematis dan logis serta telah teruji kebenarannya. Faktor
pengujian ini memberikan karakteristik yang unik kepada proses kegiatan keilmuan,
karena dengan demikian khasanah teoritis ilmu harus selalu dinilai berdasarkan
pengujian empiris. Dengan sifatnya yang terbuka dan tersurat yang
dikomunikasikan kepada semua pihak menyebabkan Ilmu mengalami penilaian yang
amat dalam dan luas. Setiap orang bisa mengajukan sanggahan, atau
memperliahatkan temuan-temuan barunya yang mendukung atau menggugurka
teori-teori tertentu.
Uraian di atas dapat
memberikan kita gambaran antara lain: pertama,
betapa kerasnya proses penilaian dan kontrol yang diberikan masyarakat ilmuwan
terhadap suatu produk keilmuan. Kedua,
tingkat kontrol kualitasnya tinggi dapat memberikan kepercayaan yang tinggi
pula bagi masyarakat. Ketiga, karena
tingkat kepercayaan masyarakar yang tinggi, memungkinkan ilmu untuk memecahkan
suatu masalah dalam bentuk suatu konsesus yang disetujui bersama,
setidak-tidaknya untuk sementara, sampai ditemukannya pemecahan lain yang lebih
diandalkan.
Namun demikian,
kenyataan ini tidak boleh menutup mata kita terhadap berbagai kekurangan ilmu.
Kekurangan-kekurangan ini bersumber pada asumsi landasan epistemologi ilmu,
yang menyatakan bahwa kita mampu memperoleh pengetahuan yang bertumpu pada
persepsi, ingatan, dan penalaran.
Panca indera
kita buka saja terbatas pada kemampuannya tetapi terkadang menyesatkan menyesatkan hasilnya. contohnya Bumi dalam teori ilmiah sebenarnya mengelilingi matahari, tetapi seolah-olah
matahari yang mengelilingi bumi. Contoh seperti ini telah membawa manusia
sampai pada kesimpulan yang salah mengenai perputaran planet-planet dalam teori tata surya. Sedangkan disatu sisi manusia mengandalkan indera
tersebut untuk mendapatkan pengetahuan yang merupakan produk kegiatan
berpikirnya.
6. Beberapa
Konsep dalam Ilmu
Sebagaimana yang
telah dibahas di atas, bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang dapat
diandalkan dan berguna bagi kita dalam menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol
gejala-gejala alam. Hal ini masih mengundang tanda tanya, yaitu dalam hal yang bagaimanakah
ilmu itu disusun agar mencapai tujuan tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan itu, pertama
kali bahwa penetahuan keilmuan itu harus bersifat umum, sebab suatu pernyataan
yang bersifat umum akan mempunyai ruang lingkup yang luas, dan dengan demikian
hal itu akan memudahkan kita. Seperti contoh: semua logam kalau dipanaskan akan
memuai. Menyebabkan kita mampu menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol semua
gejala seperti ini yang terjadi pada berbagai jenis logam.
Namun demikian harus
kita sadari bahwa contoh logam di atas tidak berlaku jika dihadapkan dengan
kondisi sosial. Mengapa demikian? karena logam merupakan benda mati dan
bersifat statis, lain halnya dengan gejala-gejala sosial yang sangat banyak dan
kompleks, serta interaksi antara faktor-faktor tersebut bersifat dinamis dan
dapat berubah setiap waktu.
Sekalipun
terdapat perbedaan antara teknik-teknik pengembangan objek yang ditelaah dalam
ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, namun teknik-teknik tersebut dikembangkan
dalam rangka melaksanakan metode keilmuan yang sama. Jujun Suriasumantri
(2006:19) mengatakan bahwa bila dikembalikan pada hakekat ilmu yang sebenarnya,
maka tak terdapat alasan apapun untuk membedakan metode keilmuan ilmu-ilmu alam
dari metode untuk ilmu-ilmu sosial. Jadi masalah ini menurut Jujun
Suruasumantri adalah kekacauan dalam mempergunakan istilah metode dan teknik.
Kembali kepada
persoalan di atas adalah bagaimana cara kita mengambil kesimpulan yang bersifat
umum tersebut? Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka kita mengenal istilah induksi adalah suatu cara pengambilan
keputusan dari kasus-kasus yang bersifat individu menjadi kesimpulan yang umum.
Untuk menarik
sebuah kesimpulan yang bersifat umum dan dapat diandalkan, tentu saja tidak
cukup dengan pengamatan sepintas saja karena ada factor-faktor kebetulan juga
yang sangat penting dan yang harus diperhitungkan. Maka masuklah statistika yang dapat membantu kita
untuk menarik kesimpulan umum yang dapat diandalkan. Statistika merupakan alat
atau metode yang terlibat dalam proses induktif dari kegiatan keilmuan. Jujun
Suriasumantri (2006:20), megnatakan bahwa tanpa statistik, sukar dibayangkan,
betapa kita akan sampai pada suatu kesimpulan umum yang dapat diandalkan. Tak
ada penelitian yang benar-benar bersifat keilmuan dilakukan tanpa statistik.
Betapa statistik membantu kita secara kuantitatif dalam kegiatan penelitian
keilmuan, suatu contoh misalnya, pernyataan keimuan: bila padi diberi pupuk
maka tinggi padi mempunyai peluang untuk bertambah. Dalam hal ini maka statistik
membantu kita dalam menghitung besar peluang tersebut secara kuantitatif.
Pernyataan
keilmuan yang bersifat umum dapat membantu kita memecahkan masalah praktis
sehari-hari, atau masalah yang serupa. Namun disisi lain masalah praktif yang
kita hadapi sehari-hari bersifat individual dan spesifik. kita tidak menemui
masalah praktis yang menyeluruh seperti yang tercakup dalam hukuk-hukum ilmu. Untuk
menjawab permasalahan ini, maka sampailah kita kepada konsep kegiatan keilmuan
yang dinamakan deduktif. Metode
deduktif merupakan proses penarikan kesimpulan dari yang bersifat umum ke
kesimpulan yang bersifat pribadi. Metode ini biasa disebut dengan lawan dari
metode induktif di atas. Proses penarikan kesimpulan dedukdi inilah maka logika
memegang peranan yang sanga penting. Contoh penarikan kesimpulan deduktif: bila
semua logam dipanaskan akan memuai, dan bila X adalah logam, maka X bila
dipanaskan akan memuai. Pernyataan, “semua logam bila dipanaskan akan memuai”
disebut premis mayor, pernyataan “X adalah sebatang logam” disebut premis
minor, dan pernyataan “X bila dipanaskan akan memuai” adalah kesimpulan. Jadi
kesimpulan bahwa “X bila dipanaskan akan memuai” merupakan konsekuensi logis
dari dua buah premis di atas.
7. Kegiatan
Keilmuan Sebagai Proses
Kegiatan keilmuan
mengenal dua bentuk masalah. Pertama,
merupakan masalah yang belum pernah diselidiki sebelumnya, sehingga jawaban
atas permasalahan tersebut merupakan pengetahuan baru atau yang disebut dengan
penelitian murni. Kedua adalah
kegiatan mempelajari masalah yang berupa konsekuensi praktis dari pengetahuan
yang telah diketahui sebelumnya atau yang disebut dengan penelitian terapan.
Didalam kegaitan
keilmuan pertama yang harus dilakukan
adalah perumusan masalah. Perumusan masalah yang baik merupakan titik tolak
dari seluruh rangkaain kegiatan keilmuan yang lain. Masalah pada hakekatnya
merupakan sebuah pertanyaan yang mengundang jawaban. Oleh sebab itu, jika
pertanyaan tidak jelas maka kemungkinan besar jawaban yang didapat juga tidak
jelas. Harus kita ingat bahwa tujuan penelahaan keilmuan adalah mencari
pengetahuan yang bersifat umum, oleh karena itu jawaban yang diberikan atas
permasalahan haruslah dapat diterima oleh masyarakat yang akan mempergunakan
pengetahuan tersebut dalam kehidupan mereka. Maka dari, penafsiran yang sama
terhadap masalah yang sedang dihadapi sehingga memungkinkan suatu jawaban yang
dapat diterima oleh semua pihak.
Kegiatan
keilmuan yang kedua adalah penyusunan hipotesis. Hipotesis
merupakan dugaan mengenai hubungan antara faktor-faktor yang terlibat dalam
suatu masalah tersebut. Dugaan itu memungkinkan kita untuk menjelaskan hakekat
suatu gejala tersebut. Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa masalah
merupakan suatu pertanyaan yang harus dijawab. Untuk bisa menjawab suatu
masalah adalah kita harus mengetahui dengan jelas hubungan-hugungan logis antara
faktor yang terlibat dalam masalah tersebut. Sebagai contoh penyusunan hipotesi
dalam kegiatan keilmuan misalnya: bulan mengalami gerhana karena ditelan
matahari. Hipotesis seperti ini tidak dapat diterima oleh pemikiran keilmuan
karena salah satu ciri utama pemikiran keilmuan adalah sifatnya masuk akal. Jadi
kegiatan keilmuan pada hakekatnya adalah mempersoalkan hubungan logis dari
berbagai faktor. Misalnya, masalah
mengenai “mengapa si A yang IQ-nya rendah tidak naik kelas?” sebenarnya
mempersoalkan faktor “IQ” dan faktor “tidak naik kelas” atau faktor-faktor lain
yang berhubungan dengan gejala “tidak naik kelas”. Kalau kita mengetahui
hubungan logis berbagai faktor tersebut, maka dengan mudah kita dapat menjawab
pertanyaan yang dikemukakan itu. Masalah di atas menjadi mudah dilakukan dengan
kegiatan keilmuan, umpamanya “kalau IQ makin rendah maka makin rendah pula
prestasi belajar”. Konsistensi malasah akan menjadi jelas. Sehingga kita dapat
memasukan kegiatan keilmuan yang selanjutnya yaitu menyusun pemikiran deduktif. Sebagai contoh pernyataan di
atas dapat dibuat pemikiran deduktif sebagai berikut: makin rendah IQ maka
makin rendah pula prestasi belajarnya, maka si X yang IQ-nya rendah akan rendah
pula prestasi belajarnya, dan karena prestasi belajarnya yang rendah maka si A
tidak naik kelas. Penyusunan seperti ini bisa menjawab pertanyaan yang
diajukan. Tetapi dengan sikap keilmuan
yang skeptis tidak mau menerima begitu saja kesimpulan yang ditarik ini.
Menurut aturan keilmuan, suatu pernyataan adalah syah atau benar secara
keilmuan kalau pernyataan tersebut didukung oleh fakta.
Di dalam
persoalan di atas, pernyataan bahwa si A tidak naik kelas karena prestasi
belajarnya rendah adalah benar, kalau didukung oleh fakta. Dan fakta yang
mendukung adalah bahwa benar-benar si A tidak naik kelas karena prestasi
belajarnya rendah. Fakta terserbut dapat diturunkan secara desuktif sehingga
menghasilkan konsekuensi logis dari pernyataan yang diajukan. Misalnya kalau si
A prestasi belajarnya rendah maka dia tidak akan bisa menjawab dengan baik
pertanyaan yang seyogyanya dapat dijawab oleh teman-teman sekelasnya yang
prestasi baik. Pemikiran keilmuan yang demikian mencakup dua ruang lingkup
kegiatan, yakni penyusunan teori dan yang kedua sebagai kegiatan keilmuan
yang ke empat adalah pengujian teori.
Teori disusun sebagai kerangka pemikiran yang menjelaskan struktur hubungan
antar faktor-faktor yang terlibat dalam suatu masalah. Teori yang diajukan itu,
seperti halnya juga dengan sebuah hipotesis, kemudian harus di uji secara
empiris agar dapat disyahkan kebenarannya secara keilmuan. Pengujian ini
dilakukan dengan mendeduksikan konsekuensi dari hipotesis dan kemudian
memeriksa apakah konsekuensi ini memang terdapat atau tidak.
8. Dasar
Axiologi
Ilmu bersifat
netral, ilmu tidak mengenal baik dan buruk, dan si pemiliki pengetahuan itulah
yang harus mempunyai sikap. Jalan mana yang akan ditempuh dalam memanfaatkan kekuasaan
yang besar itu terletak pada sistem nilai pemilik pengetahuan tersebut.
Netralitas ilmu hanya terletak pada dasar epistemologisnya saja: jika hitam katakana hitam dan jika ternyata
putih maka katakana putih; tanpa berpihak kepada siapapun juga selain
kepada kebenaran yang nyata. Secara ontologis dan axiologis, ilmuwan harus
mampu menilai antara yang baik dan yang buruk, sehingga pada hakekatnya
mengharuskan dia menentukan sikap. Kekuasaan ilmu yang besar ini mengharuskan
seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat.
Kesimpulan
Dari uraian di atas,
maka dapat kami simpulkan sebagai berikut:
1.
Hakikat
Ilmu diartikan sebagai sesuatu yang mendasari atau
yang menjadi dasar dari ilmu terssebut. Hakekat Ilmu dapat juga diartikan
inti-sari dari ilmu tersebut.
2.
Pengertian
ilmu dalam konteks Ilmu pengetahuan ilmiah dapat diartikan sebagai sebuah
pengetahuan dari hasil proses yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan atau
ketentuan-ketentuan keilmiahan.
3.
Falsafah
dari ilmu pengetahuan adalah jawaban atas pertanyaan untuk apa ilmu itu
(ontologi)? bagaimana cara memperolehnya (epistemologi) dan apa manfaatnya ilmu
tersebut (aksiologi).
4.
Dasar
ontology Ilmu adalah ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian yang bersifat
empiris yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia selama itu bisa dijangkau
oleh panca indera manusia.
5.
Dasar
epistemology ilmu merupakan kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun,
selama itu terbatas pada objek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh
dengan mempergunakan metode keilmuan.
6.
Metode
keilmuan adalah berpikir secara rasional dan empiris. Gabungan kedua hal
tersebut, disebut dengan metode keilmuan.
7.
Kelebihan
berpikir keilmuan terletak pada pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan
logis serta telah teruji kebenarannya. karena tingkat kepercayaan masyarakar
yang tinggi, memungkinkan ilmu untuk memecahkan suatu masalah dalam bentuk
suatu konsesus yang disetujui bersama, setidak-tidaknya untuk sementara, sampai
ditemukannya pemecahan lain yang lebih diandalkan.
8.
konsep
dalam keilmuan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: pertama induksi
adalah suatu cara pengambilan ssuatu keputusan dari kasus-kasus yang bersifat
individu menjadi kesimpulan yang umum. Contoh, semua logam bila dipanaskan akan
memuai. Untuk mengambil sebuah kesimpulan yang bersifat umum tersebut dan bisa
dipercaya dan diandalkan maka harus menggunakan dengan istilah statistik. Konsep
keilmuan yang kedua ada yang dinamakan dengan deduktif adalah proses penarikan
kesimpulan dari yang bersifat umum ke kesimpulan yang bersifat pribadi atau
khusus. Contoh, logam jika dipanaskan akan memuai.
9.
kegiatan
keilmuan merupakan proses untuk menemukan pengetahuan-pengetahuan baik
pengetahuan yang sudah ada sebelumnya (penelitian terapan) maupun
pengetahuan-pengetahuan baru yang belum pernah ada sebelumnya (penelitian
murni).
10. secara axiology ilmu pengetahuan menyerahkan
sepenuhnya kepada si pemilik ilmu tersebut. Namun secaca ontology dan
epistemology ilmuwan harus mampu menilai antara yang baik dan yang buruk, sehingga
pada hakekatnya mengharuskan dia menentukan sikap.
DAFTAR
PUSTAKA
Susanto. A. Filsafat Ilmu Seuatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan
Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.2010
Suriasumantri, Jujun S.
Soetriono dan Hanafi R. Filsafat Ilmu dan Metodelogi
Penilitian Pendidikan. Yogyakarta: CV Andi.2007