Hakekat Ilmu dalam Filsafat Ilmu

Unknown | Sabtu, 18 Oktober 2014,06.25 |
PEMBAHASAN
Pengetian Hakekat Ilmu
Definisi Kakekat ilmu terdiri dari dua kata yang berbeda. Masing-masing memiliki makna kata yang berbeda. Kata hakekat secara etimologis berarti terang, yakin, dan sebenarnya. Dalam filsafat, hakikat diartikan inti dari sesuatu, yang meskipun sifat-sifat yang melekat padanya dapat berubah-ubah, namun inti tersebut tetap lestari. Contoh, dalam Filsafat Yunani terdapat nama Thales, yang memiliki pokok pikiran bahwa hakikat segala sesuatu adalah air. Air yang cair itu adalah pangkal, pokok, dan inti segalanya. Semua hal meskipun mempunyai sifat dan bentuk yang beraneka ragam, namun intinya adalah satu yaitu air. Hakikat dapat juga dipahami sebagai inti-sari, bisa pula berupa sifat-sifat umum dari pada sesuatu tertentu.
Adapun kata ilmu (science) diartikan sebagai pengetahuan yang didapat secara ilmiah, atau bisa di sebutkan bagian dari pengetahuan.  Jadi, makna kata hakekat ilmu dapat diartikan sebagai sesuatu yang mendasari atau yang menjadi dasar dari arti atau makna dari ilmu tersebut. Hakekat Ilmu dapat juga diartikan inti-sari dari ilmu tersebut. Untuk lebih jelasnya tentang pengertian ilmu, dibawah ini akan kemukakan oleh beberapa ahli filsafat ilmu.
Menurut The Liang Gie (1996:88), ilmu sebagai pengetahuan, aktivitas, atau metode merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan. Ilmu merupakan rangkaian aktivitas manusia yang dilaksanakan dengan metode tertentu yang akhirnya metodis itu menghasilkan pengetahuan ilmiah. Menurut W. Atmojo (1998:324) ilmu ialah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (Pengetahuan) itu.
Sedangkan menurut Sumarna (2006: 153), ilmu dihasilkan dari pengetahuan ilmiah, yang berangkat dari perpaduan proses berpikir deduktif (rasional) dan induktif (empiris). Jadi proses berpikir inilah yang membedakan antara ilmu dan pengetahuan. Menurut J.S. Badudu (1996:528), ilmu adalah: pertama, diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis; contoh: ilmu agama, pengetahuan tentang agama, ilmu bahasa pengetahuan tentang hal ikhwal bahasa. Kedua, ilmu diartikan sebagai kepandaian atau kesaktian.
Jadi, ilmu (science) merupakan pengetahuan dari proses yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan keilmiahan. Ilmu dalam pengertian di atas adalah pengertian ilmu dalam konteks ilmu pengetahuan ilmiah. Mengenai Hakekat Ilmu Pengetahuan, untuk lebih jelasnya akan di bahas berikut ini:
1.    Ilmu dan Falsafah
Pengertian falsafah dalam tujuan pembahasan ini diartikan sebagai suatu cara berpikir yang menyeluruh, untuk mengupas sesuatu dengan sedalam-dalamnya.
Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan ilmu dengan pengetahuan-pengetahuan yang lainnya. Ciri-ciri keilmuan ini didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap ketiga pertanyaan pokok seperti yang kita sebutkan terdahulu. Falsafah mempelajari masalah ini sedalam-dalamnya dan hasil kajiannya merupakan dasar bagi eksistensi ilmu. Seperti kita ketahui pertanyaan pokok itu mencakup masalah tentang apa yang ingin kita ketahui (ontologi), bagaimana cara kita memperolehnya pengetahuan tersebut (epistemologi), dan apa kegunaannya untuk kita (axiologi). Setiap bentuk pemikiran manusia dapat dikembalikan pada dasar-dasar ontologi, epistemologi, dan axiologi dari pemikiran yang bersangkutan. Analisis kefalsafahan ditinjau dari tiga landasan ini akan membawa kita kepada hakekat buah pemikiran tersebut. Demikian juga kita akan mempelajari ilmu ditinjau dari titik tolak yang sama untuk mendapatkan gambaran yang sedalam-dalamnya.
2.    Dasar Ontologi Ilmu
Untuk mengetahui dasar ontologi ilmu ini, sebagai pertanyaan awal adalah apakah yang ingin diketahui ilmu? Atau dengan kata lain apakah yang menjadi bidang telaah ilmu?. Dalam konteks pembahasan ini, Ilmu membatasi diri pada hal-hal yang dapat dijangkau oleh pengalaman panca indera manusia atau dengan perkataan lain hal-hal yang bersifat empiris.
Berlainan dengan agama, atau bentuk-bentuk pengetahuan lainnya, maka ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian yang bersifat empiris dan rasional. Objek penelaahan ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Dalam batas-batas tersebut, maka ilmu mempelajari objek-objek empiris seperti batu-batuan, binatang, tumbuhan, hewan atau manusia itu sendiri. Inilah yang merupakan salah satu ciri ilmu yakni orientasi terhadap dunia empiris.
3.    Dasar Epistemologi Ilmu
Teori untuk memperoleh pengetahuan atau yang disebut dengan epistemologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan dengan metode keilmuan. Metode keilmuan inilah yang membedakan antara ilmu dengan buah pemikiran yang lainnya. Karena ilmu merupakan sebagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut pengetahuan keilmuan. Untuk tujuan inilah, agar kita tidak terjadi kekacauan antara pengertian “ilmu” (science) dan “pengetahuan” (knowledge), maka mempergunakan istilah “ilmu” untuk “ilmu pengetahuan” Suriasumantri (2006:9).
      Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun, selama itu terbatas pada objek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan mempergunakan metode keilmuan, adalah syah untuk disebut keilmuan. Orang bisa membahas suatu kejadian sehari-hari secara keilmuan, asalkan dalam proses pengkajian masalah tersebut dia memenuhi persyaratan yang telah digariskan. Sebaliknya tidak semua yang diasosiasikan dengan eksistensi ilmu adalah keilmuan.
4.    Metode Keilmuan
Pada dasarnya, ditinjau dari sejarah cara berpikir manusia, terdapat dua pola dalam memperoleh pengetahuan. Pertama, adalah berpikir secara rasional. Berdasarkan faham rasionalisme ini, idea tentang kebenaran sudah ada. Pikiran manusia dapat mengetahui idea tersebut, namun tidak menciptakannya dan tidak pula mempelajarinya lewat pengalaman. Idea tentang kebenaran yang menajdi dasar pengetahuannya, diperoleh lewat berpikir secara rasional, terlepas dari pengalaman manusia. Lalu pertanyaannya bagaimana kalau seandainya kebenaran yang disepakati berdasarkan berpikir secara rasional tersebut tidak sesuai dengan pengalaman hidup? Maka metode berpikir seperti ini dianggap masih lemah untuk menyimpulkan kebenaran dengan kesepakatan bersama.
Maka dari itu, muncullah kemudian cara berpikir lain, yang disebut dengan pola berpikir empiris. Cara berpikir ini sama sekali berlawanan dengan cara berpikir di atas (rasional). Cara berpikir empiris menganjurkan bahwa kita harus kembali ke alam untuk mendapatkan kebenaran. Menurut mereka  bahwa pengetahuan itu tidak ada secara apriorik di benak kita, melainkan harus diperoleh dari pengalaman.
Berpikir secara empiris juga ternyata belum bisa membawa ktia kepada sebuah kebenaran, sebab, gejala yang terdapat dalam pengalaman kita harus mempunyai arti kalau kita memberikan tafsiran terhadap mereka. Disamping itu, bila kita hanya mengumpulkan pengetahuan mengenai berbagai gejala yang kita temui dalam pengalaman, lalu apakah gunanya semua kumpulan itu bagi kita? Pengetahuan yang diperoleh dengan cara ini hanyalah merupakan kumpulan pengetahuan yang beranekaragam yang tidak berarti. Ternyata bahwa pendekatan empiris juga gagal mengantarkan kita memperoleh pengetahuan yang benar.
Menyadari Kedua metode tersebut yaitu rasionalisme dan empirisme memiliki kelebihan dan kekurangannnya masing-masing, akhirnya timbullah gagasan untuk menggabungkan kedua pendekatan tersebut untuk menyusun metode yang lebih dapat diandalkan dalam menentukan pengetahuan yang benar. Gabungan pendekatan rasional dan empiris ini dinamakan metode keilmuan. Rasionalisme memberikan kerangka pemikiran yang koheren dan logis. Sedangkan empirisme menjelaskan kerangka pengujian dalam memastikan suatu kebenaran.
5.    Kelebihan dan Kekuarangan Berpikir Secara Keilmuan
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa kelebihan ilmu terletak pada pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan logis serta telah teruji kebenarannya. Faktor pengujian ini memberikan karakteristik yang unik kepada proses kegiatan keilmuan, karena dengan demikian khasanah teoritis ilmu harus selalu dinilai berdasarkan pengujian empiris. Dengan sifatnya yang terbuka dan tersurat yang dikomunikasikan kepada semua pihak menyebabkan Ilmu mengalami penilaian yang amat dalam dan luas. Setiap orang bisa mengajukan sanggahan, atau memperliahatkan temuan-temuan barunya yang mendukung atau menggugurka teori-teori tertentu.
Uraian di atas dapat memberikan kita gambaran antara lain: pertama, betapa kerasnya proses penilaian dan kontrol yang diberikan masyarakat ilmuwan terhadap suatu produk keilmuan. Kedua, tingkat kontrol kualitasnya tinggi dapat memberikan kepercayaan yang tinggi pula bagi masyarakat. Ketiga, karena tingkat kepercayaan masyarakar yang tinggi, memungkinkan ilmu untuk memecahkan suatu masalah dalam bentuk suatu konsesus yang disetujui bersama, setidak-tidaknya untuk sementara, sampai ditemukannya pemecahan lain yang lebih diandalkan.
Namun demikian, kenyataan ini tidak boleh menutup mata kita terhadap berbagai kekurangan ilmu. Kekurangan-kekurangan ini bersumber pada asumsi landasan epistemologi ilmu, yang menyatakan bahwa kita mampu memperoleh pengetahuan yang bertumpu pada persepsi, ingatan, dan penalaran.
Panca indera kita buka saja terbatas pada kemampuannya tetapi terkadang menyesatkan menyesatkan hasilnya. contohnya Bumi dalam teori ilmiah sebenarnya mengelilingi matahari, tetapi seolah-olah matahari yang mengelilingi bumi. Contoh seperti ini telah membawa manusia sampai pada kesimpulan yang salah mengenai perputaran planet-planet dalam teori tata surya. Sedangkan disatu sisi manusia mengandalkan indera tersebut untuk mendapatkan pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikirnya.
6.    Beberapa Konsep dalam Ilmu
Sebagaimana yang telah dibahas di atas, bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang dapat diandalkan dan berguna bagi kita dalam menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol gejala-gejala alam. Hal ini masih mengundang tanda tanya, yaitu dalam hal yang bagaimanakah ilmu itu disusun agar mencapai tujuan tersebut?  Untuk menjawab pertanyaan itu, pertama kali bahwa penetahuan keilmuan itu harus bersifat umum, sebab suatu pernyataan yang bersifat umum akan mempunyai ruang lingkup yang luas, dan dengan demikian hal itu akan memudahkan kita. Seperti contoh: semua logam kalau dipanaskan akan memuai. Menyebabkan kita mampu menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol semua gejala seperti ini yang terjadi pada berbagai jenis logam.
Namun demikian harus kita sadari bahwa contoh logam di atas tidak berlaku jika dihadapkan dengan kondisi sosial. Mengapa demikian? karena logam merupakan benda mati dan bersifat statis, lain halnya dengan gejala-gejala sosial yang sangat banyak dan kompleks, serta interaksi antara faktor-faktor tersebut bersifat dinamis dan dapat berubah setiap waktu.
Sekalipun terdapat perbedaan antara teknik-teknik pengembangan objek yang ditelaah dalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, namun teknik-teknik tersebut dikembangkan dalam rangka melaksanakan metode keilmuan yang sama. Jujun Suriasumantri (2006:19) mengatakan bahwa bila dikembalikan pada hakekat ilmu yang sebenarnya, maka tak terdapat alasan apapun untuk membedakan metode keilmuan ilmu-ilmu alam dari metode untuk ilmu-ilmu sosial. Jadi masalah ini menurut Jujun Suruasumantri adalah kekacauan dalam mempergunakan istilah metode dan teknik.
Kembali kepada persoalan di atas adalah bagaimana cara kita mengambil kesimpulan yang bersifat umum tersebut? Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka kita mengenal istilah induksi adalah suatu cara pengambilan keputusan dari kasus-kasus yang bersifat individu menjadi kesimpulan yang umum.
Untuk menarik sebuah kesimpulan yang bersifat umum dan dapat diandalkan, tentu saja tidak cukup dengan pengamatan sepintas saja karena ada factor-faktor kebetulan juga yang sangat penting dan yang harus diperhitungkan. Maka masuklah statistika yang dapat membantu kita untuk menarik kesimpulan umum yang dapat diandalkan. Statistika merupakan alat atau metode yang terlibat dalam proses induktif dari kegiatan keilmuan. Jujun Suriasumantri (2006:20), megnatakan bahwa tanpa statistik, sukar dibayangkan, betapa kita akan sampai pada suatu kesimpulan umum yang dapat diandalkan. Tak ada penelitian yang benar-benar bersifat keilmuan dilakukan tanpa statistik. Betapa statistik membantu kita secara kuantitatif dalam kegiatan penelitian keilmuan, suatu contoh misalnya, pernyataan keimuan: bila padi diberi pupuk maka tinggi padi mempunyai peluang untuk bertambah. Dalam hal ini maka statistik membantu kita dalam menghitung besar peluang tersebut secara kuantitatif.
Pernyataan keilmuan yang bersifat umum dapat membantu kita memecahkan masalah praktis sehari-hari, atau masalah yang serupa. Namun disisi lain masalah praktif yang kita hadapi sehari-hari bersifat individual dan spesifik. kita tidak menemui masalah praktis yang menyeluruh seperti yang tercakup dalam hukuk-hukum ilmu. Untuk menjawab permasalahan ini, maka sampailah kita kepada konsep kegiatan keilmuan yang dinamakan deduktif. Metode deduktif merupakan proses penarikan kesimpulan dari yang bersifat umum ke kesimpulan yang bersifat pribadi. Metode ini biasa disebut dengan lawan dari metode induktif di atas. Proses penarikan kesimpulan dedukdi inilah maka logika memegang peranan yang sanga penting. Contoh penarikan kesimpulan deduktif: bila semua logam dipanaskan akan memuai, dan bila X adalah logam, maka X bila dipanaskan akan memuai. Pernyataan, “semua logam bila dipanaskan akan memuai” disebut premis mayor, pernyataan “X adalah sebatang logam” disebut premis minor, dan pernyataan “X bila dipanaskan akan memuai” adalah kesimpulan. Jadi kesimpulan bahwa “X bila dipanaskan akan memuai” merupakan konsekuensi logis dari dua buah premis di atas.
7.    Kegiatan Keilmuan Sebagai Proses
Kegiatan keilmuan mengenal dua bentuk masalah. Pertama, merupakan masalah yang belum pernah diselidiki sebelumnya, sehingga jawaban atas permasalahan tersebut merupakan pengetahuan baru atau yang disebut dengan penelitian murni. Kedua adalah kegiatan mempelajari masalah yang berupa konsekuensi praktis dari pengetahuan yang telah diketahui sebelumnya atau yang disebut dengan penelitian terapan.
Didalam kegaitan keilmuan pertama yang harus dilakukan adalah perumusan masalah. Perumusan masalah yang baik merupakan titik tolak dari seluruh rangkaain kegiatan keilmuan yang lain. Masalah pada hakekatnya merupakan sebuah pertanyaan yang mengundang jawaban. Oleh sebab itu, jika pertanyaan tidak jelas maka kemungkinan besar jawaban yang didapat juga tidak jelas. Harus kita ingat bahwa tujuan penelahaan keilmuan adalah mencari pengetahuan yang bersifat umum, oleh karena itu jawaban yang diberikan atas permasalahan haruslah dapat diterima oleh masyarakat yang akan mempergunakan pengetahuan tersebut dalam kehidupan mereka. Maka dari, penafsiran yang sama terhadap masalah yang sedang dihadapi sehingga memungkinkan suatu jawaban yang dapat diterima oleh semua pihak.
Kegiatan keilmuan yang kedua  adalah penyusunan hipotesis. Hipotesis merupakan dugaan mengenai hubungan antara faktor-faktor yang terlibat dalam suatu masalah tersebut. Dugaan itu memungkinkan kita untuk menjelaskan hakekat suatu gejala tersebut. Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa masalah merupakan suatu pertanyaan yang harus dijawab. Untuk bisa menjawab suatu masalah adalah kita harus mengetahui dengan jelas hubungan-hugungan logis antara faktor yang terlibat dalam masalah tersebut. Sebagai contoh penyusunan hipotesi dalam kegiatan keilmuan misalnya: bulan mengalami gerhana karena ditelan matahari. Hipotesis seperti ini tidak dapat diterima oleh pemikiran keilmuan karena salah satu ciri utama pemikiran keilmuan adalah sifatnya masuk akal. Jadi kegiatan keilmuan pada hakekatnya adalah mempersoalkan hubungan logis dari berbagai faktor.  Misalnya, masalah mengenai “mengapa si A yang IQ-nya rendah tidak naik kelas?” sebenarnya mempersoalkan faktor “IQ” dan faktor “tidak naik kelas” atau faktor-faktor lain yang berhubungan dengan gejala “tidak naik kelas”. Kalau kita mengetahui hubungan logis berbagai faktor tersebut, maka dengan mudah kita dapat menjawab pertanyaan yang dikemukakan itu. Masalah di atas menjadi mudah dilakukan dengan kegiatan keilmuan, umpamanya “kalau IQ makin rendah maka makin rendah pula prestasi belajar”. Konsistensi malasah akan menjadi jelas. Sehingga kita dapat memasukan kegiatan keilmuan yang selanjutnya yaitu menyusun pemikiran deduktif. Sebagai contoh pernyataan di atas dapat dibuat pemikiran deduktif sebagai berikut: makin rendah IQ maka makin rendah pula prestasi belajarnya, maka si X yang IQ-nya rendah akan rendah pula prestasi belajarnya, dan karena prestasi belajarnya yang rendah maka si A tidak naik kelas. Penyusunan seperti ini bisa menjawab pertanyaan yang diajukan.  Tetapi dengan sikap keilmuan yang skeptis tidak mau menerima begitu saja kesimpulan yang ditarik ini. Menurut aturan keilmuan, suatu pernyataan adalah syah atau benar secara keilmuan kalau pernyataan tersebut didukung oleh fakta.
Di dalam persoalan di atas, pernyataan bahwa si A tidak naik kelas karena prestasi belajarnya rendah adalah benar, kalau didukung oleh fakta. Dan fakta yang mendukung adalah bahwa benar-benar si A tidak naik kelas karena prestasi belajarnya rendah. Fakta terserbut dapat diturunkan secara desuktif sehingga menghasilkan konsekuensi logis dari pernyataan yang diajukan. Misalnya kalau si A prestasi belajarnya rendah maka dia tidak akan bisa menjawab dengan baik pertanyaan yang seyogyanya dapat dijawab oleh teman-teman sekelasnya yang prestasi baik. Pemikiran keilmuan yang demikian mencakup dua ruang lingkup kegiatan, yakni penyusunan teori dan yang kedua sebagai kegiatan keilmuan yang ke empat adalah pengujian teori. Teori disusun sebagai kerangka pemikiran yang menjelaskan struktur hubungan antar faktor-faktor yang terlibat dalam suatu masalah. Teori yang diajukan itu, seperti halnya juga dengan sebuah hipotesis, kemudian harus di uji secara empiris agar dapat disyahkan kebenarannya secara keilmuan. Pengujian ini dilakukan dengan mendeduksikan konsekuensi dari hipotesis dan kemudian memeriksa apakah konsekuensi ini memang terdapat atau tidak.  
8.    Dasar Axiologi
Ilmu bersifat netral, ilmu tidak mengenal baik dan buruk, dan si pemiliki pengetahuan itulah yang harus mempunyai sikap. Jalan mana yang akan ditempuh dalam memanfaatkan kekuasaan yang besar itu terletak pada sistem nilai pemilik pengetahuan tersebut. Netralitas ilmu hanya terletak pada dasar epistemologisnya saja: jika hitam katakana hitam dan jika ternyata putih maka katakana putih; tanpa berpihak kepada siapapun juga selain kepada kebenaran yang nyata. Secara ontologis dan axiologis, ilmuwan harus mampu menilai antara yang baik dan yang buruk, sehingga pada hakekatnya mengharuskan dia menentukan sikap. Kekuasaan ilmu yang besar ini mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat kami simpulkan sebagai berikut:
1.         Hakikat Ilmu diartikan sebagai sesuatu yang mendasari atau yang menjadi dasar dari ilmu terssebut. Hakekat Ilmu dapat juga diartikan inti-sari dari ilmu tersebut.
2.         Pengertian ilmu dalam konteks Ilmu pengetahuan ilmiah dapat diartikan sebagai sebuah pengetahuan dari hasil proses yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan atau ketentuan-ketentuan keilmiahan.
3.         Falsafah dari ilmu pengetahuan adalah jawaban atas pertanyaan untuk apa ilmu itu (ontologi)? bagaimana cara memperolehnya (epistemologi) dan apa manfaatnya ilmu tersebut (aksiologi).
4.         Dasar ontology Ilmu adalah ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian yang bersifat empiris yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia selama itu bisa dijangkau oleh panca indera manusia.
5.         Dasar epistemology ilmu merupakan kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun, selama itu terbatas pada objek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan mempergunakan metode keilmuan.
6.         Metode keilmuan adalah berpikir secara rasional dan empiris. Gabungan kedua hal tersebut, disebut dengan metode keilmuan.
7.         Kelebihan berpikir keilmuan terletak pada pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan logis serta telah teruji kebenarannya. karena tingkat kepercayaan masyarakar yang tinggi, memungkinkan ilmu untuk memecahkan suatu masalah dalam bentuk suatu konsesus yang disetujui bersama, setidak-tidaknya untuk sementara, sampai ditemukannya pemecahan lain yang lebih diandalkan.
8.         konsep dalam keilmuan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:  pertama induksi adalah suatu cara pengambilan ssuatu keputusan dari kasus-kasus yang bersifat individu menjadi kesimpulan yang umum. Contoh, semua logam bila dipanaskan akan memuai. Untuk mengambil sebuah kesimpulan yang bersifat umum tersebut dan bisa dipercaya dan diandalkan maka harus menggunakan dengan istilah statistik. Konsep keilmuan yang kedua ada yang dinamakan dengan deduktif adalah proses penarikan kesimpulan dari yang bersifat umum ke kesimpulan yang bersifat pribadi atau khusus. Contoh, logam jika dipanaskan akan memuai.
9.         kegiatan keilmuan merupakan proses untuk menemukan pengetahuan-pengetahuan baik pengetahuan yang sudah ada sebelumnya (penelitian terapan) maupun pengetahuan-pengetahuan baru yang belum pernah ada sebelumnya (penelitian murni). 
10.   secara axiology ilmu pengetahuan menyerahkan sepenuhnya kepada si pemilik ilmu tersebut. Namun secaca ontology dan epistemology ilmuwan harus mampu menilai antara yang baik dan yang buruk, sehingga pada hakekatnya mengharuskan dia menentukan sikap.

DAFTAR PUSTAKA
Susanto. A. Filsafat Ilmu Seuatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.2010
 Suriasumantri, Jujun S.
Soetriono dan Hanafi R. Filsafat Ilmu dan Metodelogi Penilitian Pendidikan. Yogyakarta: CV Andi.2007

TEORI PEMBELAJARAN SOSIAL KOGNITIF DAN KONSTRUKTIVISME

Unknown | ,06.06 |

PEMBAHASAN
A.    Teori Kognitif Sosial
Social Cognitive Theory (teori kognitif sosial) adalah teori yang menambahkan faktor-faktor kognitif, seperti keyakinan, persepsi diri, dan ekspektasi pada teori pembelajaran sosial. Sedangkan determinisme resiprokal adalah penjelasan tentang prilaku yang menekankan efek-efek mualistis antara individu dan lingkungan.
Dalam teori kognitif sosial, faktor-faktor internal maupun eksternal dianggap penting. Peristiwa di lingkungan, faktor-faktor personal, dan prilaku dilihat saling berinteraksi dalam proses belajar. Faktor-faktor personal (keyakinan, ekspektasi, sikap, dan pengetahuan), lingkungan fisik dan sosial (sumber daya, konsekuensi tindakan orang lain dan setting fisik) semuanya saling memengaruhi dan dipengaruhi. Banduran menyebutkan interaksi kekuatan-kekuatan ini Reciprocal determinism (determinisme resiprokal). Faktor-faktor sosial seperti model/panutan, strategi instruksional, atau umpan balik (elemen-elemen lingkungan untuk siswa) dapat mempengaruhi faktor-faktor personal siswa, seperti tujuan, sense of efficacy untuk suatu tugas, atribusi (keyakinan tentang penyebab kesuksean dan kegagalan dan proses-proses regulasi diri, seperti merencanakan, memonitor/memantau dan mengontrol distraksi. Sebagai contoh umpan balik guru dapat membuat siswa menetapkan tujuan yang lebih tinggi. Pengaruh sosial dilingkungan dan faktor-faktor personal mendorong prilaku yang menghasilkan pencapaian seperti persistensi dan usaha motivasi dan pembelajaran. Akan tetapi, prilaku-prilaku ini juga berdampak secara resiprokal pada faktor-faktor personal. Sebagai contoh, bila siswa mencapai sesuatu, keyakinan diri dan minatnya meningkat, prilaku juga mempengaruhi lingkungan sosial. Sebagai contoh: bila siswa tidak bertahan dan bila mereka tampak keliru memahami, guru dapat mengubah strategi instruksional atau umpan balik. Efiksasi diri dan self regulated learning adalah dua elemen kunci teori kognitif sosial yang sangat penting dalam pembelajaran dan pengajaran. Efiksasi yang lebih besar akan menimbulkan usaha yang lebih besar dan persistensi ketika dihadapkan pada setbacks (kemunduran)
1.      Pengaruh Resiprokal
Ketiga kekuatan personal, sosial/lingkungan, dan prilaku berinteraksi secara konstan saling mempengaruhi dan dipengaruhi.













Rounded Rectangle: Pengaruh-pengaruh sosial (Variabel-Variabel Lingkungan)

Model Instruksi
Umpan Balik
Rounded Rectangle: Hasil-Hasil Pencapaian
(Prilaku)

Kemajuan Tujuan
Motivasi Belajar










Rounded Rectangle: Pengaruh-pengaruh Self
(variabel-variabel Peronal)

Tujuan efikasi diri, Ekspektasi Hasil Atribusi, evaluasi diri atas kemajuan
Self Regulatory Progress
 
Bila faktor-faktor personal, prilaku dan lingkungan saling berinteraksi secara konstan, maka berbagai siklus kejadian bersifat progresif dan self perpetuating (mengekalkan diri). Seperti contoh: seorang siswa baru disekolah terlambat masuk kelas karena tersesat dalam gedung yang masih asing baginya. Siswa itu memiliki tato dan tindikan di beberapa bagian tubuhnya. Siswa itu sebenarnya cemas menghadapi hari pertamanya dan berharap bisa lebih berhasil disekolah barunya, tetapi reaksi pertama guru pada keterlambatan dan penampilan dramatisnya sedikit bermusuhan. Siswa itu merasa terhina dan memberikan respons senada, sehingga guru mulai membentuk ekspektasi tentang siswa itu dan bertindak lebih waspada dan kurang mempercayainya. Siswa merasakan ketidakpercayaan itu. Dan memutuskan bahwa sekolah ini sama tidak bergunanya dengan sekolah sebelumnya dan berpikir mengapa harus menunjukan prilaku yang lebih baik. Rangkaian tindakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan pencapaian tertentu.
Efiikasi diri adalah keyakinan kita tentang kompetensi atau efektivitas pribadi kita dibidang tertentu. Bandura menjelaskan efikasi diri sebagai keyakinan seseorang akan kapabilitasnya untuk mengorganisasikan dan melaksanakan rangkaian tindakan yang dibutuhkan untuk menghasilakan pencapaian tertentu. Efikasi diri juga perasaan seseorang bahwa dirinya mampu menangani tugas tertentu dengan efektif. Kebanyakan orang berpendapat berasumsi bahwa efikasi diri sama dengan konsep diri atau self esteem tetapi ternyata tidak, berikut perbedaan antara keduanya:
Tabel 1
Perbedaan Efikasi Diri dengan Konsep Diri
Efikasi Diri
Konsep Diri
Berorientasi masa depan
Kontrak yang lebih global
Spesifik konteks tentang kompetensi untuk mengerjakan tugas tertentu
Berisi banyak persepsi tentang self
Difokuskan dengan kemampuan diri sendiri(anda) untuk menyelesaikan tugas tertentu dengan sukses tanpa perlu membandingkan
Berkembang sebagai hasil perbandingan eksternal dan internal dengan menggunakan orang lain
            Dibanding self esteem, efikasi diri berkaitan dengan penilaian tentang kapabilitas pribadi, self esteem berkaitan dengan penilaian tentang harga diri.tidak ada hubungan langsung antara self esteem dan efikasi diri. Ada kemungkinan untuk merasa sangat mampu dibidang tertentu dan masih tetap tidak memiliki tingkat self esteem yang tinggi atau sebaliknya. Contohnya: saya memiliki efikasi diri yang sangat rendah untuk menyanyi tetapi self esteem saya tetap tak terpengaruh, mungkin karena kehidupan saya tidak menuntut kemampuan menyanyi, akan tetapi efikasi diri untuk mengajarkan pembelajaran tertentu mulai turun setelah mengalami beberapa pengalaman buruk, maka saya akan tahu bahwa self esteem saya pasti akan berpengaruh.
 Sumber-sumber Efikasi Diri
1.      Mastery experince adalah pengalaman langsung kita, sumber efikasi yang paling kuat. Kesuksesan menaikkan keyakinan efikasi diri sementara kegagalan menurunkan efikasi.
2.      Tingkat Arousal mempengaruhi sfikasi diri tergantung arousal itu diinterpretasikan. Pada saat anda menghadapi tugas tertentu apakah anda cemas atau kawatir (menurunkan efikasi) atau bergairah dan “psyched” menaikkan efikasi
3.      Vicarious Experience (pengalaman orang lain), seseorang memberikan contoh penyelesaian
4.      Persuasi sosial: umpan balik atas spesifik atas kerja. Persuasi sosial sendiri dapat membuat siswa mengerahkan usaha, mengupayakan strataegi-strategi baru, atau berusaha cukup keras untuk mencapai kesuksesan.
Bagaimana efikasi mempengaruhi motivasi?
Efikasi yang lebih besar menimbulkan usaha yang lebih besar, persistensi ketika menghadapi kemunduran, tujuan yang lebih tinggi dan menemukan strategi baru ketika yang lama gagal. Akan tetapi, bila sense of efficacy rendah, orang mungkin sama sekali menghindari tugas atau mudah menyerah ketika timbul masalah.
Teacher’s Sense of Efficacy
Salah satu diantara beberapa karakteristik guru yang berhubungan dengan prestasi siswa adalah keyakinan efikasi guru bahwa dirinya dapat menjangkau bahwa siswa yang paling sulit sekalipun untuk membantu mereka belajar. Guru dengan sense of efficacy tinggi bekerja lebih keras, bertahan lebih lama, dan tidak begitu banyak mengalami burn out. Sense of efficacy guru lebih tinggi disekolah-sekolah yang guru-guru lainnya dan para administrator memiliki ekspektasi tinggi atas siswa dan gurunya menerima bantuan dari sekolahnya dalam mengatasi berbagai masalah instruksional maupun manajemen. Efikasi tumbuh dari kesuksesan ril dengan siswaa, sehingga pengalaman atau pelatihan apapun yang membantu anda sukses dalam tugas pengajaran sehari-hari akan memberi anda fondasi untuk mengembangkan sense of efficacy dalam karier anda.
Faktro yang terlibat dalam self regulated Learning
Salah satu tujuan penting pengajaran adalah untuk mempersiapkan siswa untuk belajar seumur hidup. Untuk mencapai tujuan ini, siswa harus menjadi self regulated learners, artinya mereka harus memiliki kombinasi antara pengetahuan, motivasi untuk belajar dan volition (kemauan0 yang menyediakan keterampila dan kemauan untk belajar secara mandiri dan efektif. Pengetahuan mencangkup pengetahuan tentang self, subjek, tugas, strategi pembelajaran, dan konteks-konteks untuk aplikasi. Motivasi untuk belajar memberikan komitmen dan kemauan adalah penyelesaian yang menangkal distraksi dan memproteksi persistensi.
Self Regulatif Learning Cycle
Ada beberapa model self regulated learning. Winne dan hadwin mendeskripsikan sebuah model 4 fase: menganalisis tugas, menetapkan tujuan dan menyusun rencana, menerapkan taktik untuk menyelesaikan tugas dan meregulasi pembelajaran. Zimmerman menyebutkan tiga fase serupa: forethought (yang mencakup menetapkan tujuan, membuat rencana, efikasi diri, dan motivasi, performance (yang melibatkan pengendalian diri dan pemantauan diri), dan reflection (yang mencangkup evaluasi diri dan adatasi yang membawa ke fase foretought/perencanaan lagi).
Bagaimana guru dapat mendukung, seharusnya melibatkan siswa dalam tugas-tugas yang bermakna dan kompleks yang membutuhkan waktu lama memberi mereka kontrol atas protes dan produk belajarnya, mereka perlu membuat pilihan-pilihan. Melibatkan siswa dalam menetapkan kriteria untuk mengevaluasi proses dan produk pembelajarannya, lalu memberi mereka kesempatan untuk menilai kemajuan dengan menggunakan standar tersebut. Terakhir, beri dorongan kepada siswa untuk bekerja secara kolaburatif dengan dan mencari umpan balik dari sesama teman.
B.  Teori Belajar Konstrutivisme          
1.      Pengertian dan teori belajar konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan sebuah istilah yang diterjemahkan secara luas oleh para filsuf, psikolog pendidikan, dan guru(Palinscar,1998; Phillips, 2000). Para filsuf berargumen mengenai validitas pemahaman mereka mengenai konstruktivisme, dan ada tidaknya kesalahan penafsiran mengenai hal itu.
     Psikolog pendidikan mempelajari konstrukstivisme sebagai teori pembelajaran dan mempertimbangkan implikasinya terhadap proses belajar mengajar. Untuk para pengajar, teori ini mengedepankan isu mengenai kepantasan dalam berbagai objektif pembelajaran, pendekatan terhadap instruksi, dan peran penugasan dalam pembelajaran.
     Konstruktivisme dapat dideskripsikan sebagai sebagai sebuah visi pembelajaran yang menyarankan agar seorang siswa dapat membuat  kesimpulan terhadap materi yang mereka pelajari, daripada menerima langsung dari sumber lain (misalnya., orang lain atau media bacaan) (Bradsford et al., 2004). Definisi ini bisa kita artikan bahwa seorang siswa dapat mengkonstruksi pengertiannya sendiri terhadap sesuatu hal, dikarenakan penalaran itu masuk akal bagi mereka, karena lebih berfokus kepada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
2.      Konstruktivisme kognitif
Konstruktivisme kognitif didasarkan pada teori Piaget yang berfokus pada konstruksi pengetahuan internal seseorang (Greeno et al., 1996; Meter & Stevens, 2000; Nuthal, 1999a). teori ini menekankan pada pencarian tiap individu untuk mendapatkan makna saat mereka berinteraksi, menguji, dan memodifikasi suatu pola menarik yang terjadi di lingkungannya( Parker & Goichea, 2000). Interaksi social mempengaruhi prosesnya, tetapi kebanyakan sebagai pemicu dalam permasalahan kognitif seseorang (Palincsar, 1998).
            Konstruktivisme kognitif menginterpretasikan bahwa seorang anak  dapat memecahkan suatu  permasalahan dengan merekonstruksi pemikirannya  untuk mengakomodasi informasi baru. Bagi pengajar, interpretasi kebahasaan dari hal ini menegaskan acktivitas pembelajaran berdasarkan pengalaman dan  orientasi temuan baru. Sebagai contoh, seorang siswa paling effektif mempelajari matematika apabila dia mengetahui rumusannya pada saat dia menyusun sendiri baloknya sendiri, dibandingkan pada saat dia melaihatnya disusun oleh guru.
Interpretasi ini menjadi dilemma bagi pendidik karena hal ini “tidak mempercayai usaha  pembelajaran secara langsung” (Resnick & Klopfer, 1989, p.3). interpretasi tersebut menyarankan agar interaksi guru – siswa itu sangat penting, tapi guru harus membatasi diri agar tidak memaparkan pemikiran mereka kepada perkembangan pembelajaran siswa (DeVries, 1997).
3.      Konstruktivisme social.
Konstruktivisme social menurut Vygotsky, 1978, merupakan bentuk konstruktivisme yang menyarankan agar seorang siswa membentuk pemahamannya dalam konsep social dan kemudian memahami dan mendalaminya (Brunning et al., 2004; Horn, 2003). Menurut konstruktivisme social, proses membagi pemahaman individual siswa membentuk pemahaman bersama yang tidak mungkin didapatkan sendiri (Gauvain, 2001; Greeno et al., 1996)
Interpretasi konstruktivisme social membantu memecahkan dilemma mengenai peran seorang guru. Tidak menyarankan guru untuk  terlalu ikut campur agar siswa dapat melakukan pekerjaannya secara alami,, seperti teori Piagetian (Resnick & Klopver, 1989, p.4). Konstruktivisme social menegaskan peran guru dan menyarankan agar guru mempertimbangkan pertanyaan mendasar dalam mengajar: bagaimana caranya mengatur dan mengimplementasikan aktivitas belajar, memotivasi siswa, dan menugaskan pembelajaran. Jawabanya berfokus pada memfasilitasikonstruksi pemahaman siswa melaluiinteraksi social (Flemming & Alexander, 2001; Snuell, 1996). Melalui sudut pandang konstruktivisme social, menciptakan situasi dimana siswa dapat bertukar ide dan berkolaborasi  dalam memecahkan masalah merupakan peran penting guru (R. Anderson et al., 2001; Meter & Stevens, 2000).
a.       Teori pembelajaran sosiokultural
Teori pembelajaran sosiokultural merupakan bentuk tteori yang menegaskan dimensi social dari pembelajaran, menempatkan penekanan pada konteks budaya dimana proses pembelajaran terjadi(Kozulin, 1998; Palinscar, 1998). Teori pembelajaran sosiokultural  mengingatkan kita bahwa rumah dan komunitas siswa sangat mempengaruhi pembelajaran (Rogoff, 2003; Roggof, Turkanis, Bartlett, 2001). Di beberapa rumah, seorang anak tidak dipandang sebagai partner bicara yang setara, dimana di rumah lainnya anak sering berbicara secara terbuka dengan orang dewasa mengenai beragam bahasan (Au, 1992; Tharp & Gallimore,1991).
b.      Kelas sebagai komunitas pelajar
Kelas sebagai komunitas pelajarmerupakan lingkungan pembelajaran dimana siswa dan guru bekerja sama untuk membantu pencapaian tujuan (A. Brown & Campione, 1994; Palincsar, 1998).
Berikut adalah karakteristik kelas sebagai komunitas pelajar:
(1)   Seluruh siswa aktif berpartisipasi dalam pembelajaran
(2)   Siswa dan guru bekerja sama untuk membantu proses belajar
(3)   Interaksi terjadi antaraa guru-siswa dan siswa-siswa
(4)   Guru dan siswa menghargai perbedaan pendapat
(5)   Pemikiran termasuk proses pembelajaran
c.       Kognitif  apprenticeship
Kognitif  apprenticeship merupakan proses dimana siswa berkemampuan rendah berdampingan dengan yang lebih ahli  dalam mengembangkan kemampuan kognitif, seperti membaca, menulis, atau memecahkan masalah (Englert, Berry, & Dunsmoore, 2001; Palincsar, 1998).
           Terdapat lima komponen Kognitif  apprenticeship:
(1)   Model - Guru mencontohkan terlebih dahulu
(2)   Scaffolding – guru menanyakan hal berkaitan topic bahasan sebagai petunjuk(clues)
(3)   Verbalisasi – siswa menjelaskanpengertian mereka melaui kata-kata
(4)   Meningkatkan kompleksitas – guru memberikan topic yang lebih rumit dari yang sudah dikuasai siswa
(5)   Eksplorasi  - siswa menanyakan pemahaman siswa mengenai materi.
d.      Situasi kognitif
Suatu pemikiran yang menyarankan bahwa pembelajaran insting alami secara social,  dimana kita tergantung pada hal itu, dan tidak dapat dipisahkan dari konteks dimana kejadian itu berlangsung (Gauvain, 2001; King, @000; Rogoff, 1990).
4.      Karakteristik  Pembelajaran Secara Konstruktivisme
Walaupun terdapat beragam interpretasi, banyak konstruktivis menyetujui empat karakteristik yang mempengaruhi pembelajaran (Bruning et al., 2004; R. Mayer, 1996).
Karakteristik  Konstruktivisme
a)      Siswa mengkonstruksi pengetahuan yang masuk akal bagi mereka.
b)      Pembelajaran baru tergantung pada pemahaman yang didapat saat ini.
c)      Interaksi social mendukung proses pembelajaran.
d)     Pembelajaran yang sangat bermakna hadir di dalam praktek kehidupan nyata.
Penugasan di dunia nyata (otentik) merupakan aktivitas untuk mengembangkan pemahaman yang dapat digunakan diluar kelas. Selain itu yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa . siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi , tetapi harus diupayakan agar siswa itu sendiri yang memanjatnya.
C.     Hasil dari dari konstruksi pengetahuan
Kita telah mendeskripsikan pemikiran bahwa manusia secara insting mengorganisir pengalamannya dalam usahanya untuk memahami dunia (Marinoff, 2003), dan mereka mulai melakukannya pada saat balita(Quinn, 2002). Salah satu hasil-apa yang sebenarnya dibentuk oleh seorang siswa-adalah konsep.
1.      Konsep
Konsep merupakan konstruksi mental atau representasi sebuah kategori yang memungkinkan seseorang untuk mengidentifikasi  apakah sesuatu hal merupakan contoh atau bukan terhadap suatu kategori(Schunk, 2004, p. 196)konsep dikonstruksi berdasarkan pengalaman kita dan merupakan dasar pemikiran seseorang(Ferrari & Elik, 2003).
a.       Teori pembelajaran pemahaman
Terdapat tiga focus teori pembelajaran pemahaman, yaitu: karakteristik, prototype atau purwarupa,  dan contoh penting.
Beberapa konsep seperti kotak, garis bujur atau kata kerja, memiliki karakteristik yang jelas (kadang disebut attribute atau fitur), yang merupakan konsep dalam mendefinisikan elemen(Medin, Proffit, & Schwartz, 2000). Teori yang berlandaskan konsep pembelajaran  ini telah diselidiki oleh peneliti sebelumnya(e.g., Bruner, Goodenow, & Austin, 1956) yang menemukan bahwa orang memilah konsep berdasarkan aturan dasar, atau mendefinisikan karakter masing masing(Bourne, 1982).
Teori kedua mengenai teori pembelajaran pemahaman menyarankan bahwa untuk konsep seperti democrat, republic, atau bahkan sebuah mobil, manusia membentuk suatu purwarupa, representasi terbaik dari suatu kategori(Hampton, 1995; Medin et al., 2000). Purwarupa tidak harus berbentuk fisik.  Purwarupa bisa juga berbentuk abstrak, dan dibentuk berdasarkan contoh pengalaman seseorang(Reisberg, 2006; B. Ross & Spalding, 1994).
Teori ketiga teori pembelajaran pemahaman tidak harus berbentuk purwarupa dari apa yang mereka hadapi, melainkan contoh yang paling banyak ditemukan dari suatu konsep (Medin et al., 2000).
b.      Contoh: Kunci Dalam Konsep Pembelajaran Dan Pengajaran
Saat sebuah konsep memiliki karakteristik konkrit, pembelajaran disederhanakan (Tennyson &Cocchiarella, 1986). Mengesampingkan kerumitan konsep, kunci dari kosep pengajaran adalah memberikan pengalman kepada para siswa dengan seperangkat contoh yang dikombinasikan dengan definisi yang menggaris bawahi karakteristik inti (Schunk, 2004; Tennysonn & Cocciarella, 1986). Dalam suatu konsep pembelajaran, guru dapat mempresentasikan definisi dan mengilustrasikannya dengan contoh, atau mendampingi siswa untuk mengkonstruksi suatu konsep.
c.       Pemetaan Konsep : Strategi Pembelajaran
Konsep tidak berada didalam isolasi. Mereka berkaitan dalam skema yang rumit. Pemetaan konsep adalah strategi pembelajaran dimana siswa membentuk hubungan visual diantara konsep (Liu, 2004; R. Mayer, 2002). Pemetaan konsep menggarisbawahi effek dari organisasi, imajinasi, dan kemampuan untuk memproses memori untuk menjembatani konsep yang berarti (D. Robinson, Katayama, Dubois, & Devaney, 1998).
2.      Skema
Skema adalah  hasil lainnya dari konstruksi pembelajaran. Skema merupakan struktur kognitif yang mengorganisir informasi menjadi system yang bermakna. Konsep dan attributnya dapat dipandang sebagai skema pendahuluan (Schunk, 2004)
3.      Kesalahan Pemahaman Dan Perubahan Pemahaman
Dengan semua konstruksi penegetahuan, pemikiran siswa dipengaruhi oleh pengetahuan dasar, ekspektasi, kepercayaan, dan emosinya, yang terkadang mengarah pada penyimpulan yang salah (Dole & Sinatra, 1998; Willard-Holt, 2003).
D.    Implikasi Teori Konstruktivistik pada Pembelajaran Pendidikan 
Bagi kaum konstruktivis, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan suatu penciptaan suasana yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi aktif guru bersama-sama siswa dalam membangun pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah belajar itu sendiri. Menurut prinsip konstruktivisme, guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan sebagaimana mestinya. Sebagai fasilitator dan mediator tugas guru dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.      Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam merencanakan aktivitas belajar, proses belajar serta hasil belajar yang diperolehnya. Dengan demikian menjadi jelas bahwa memberi kuliah atau ceramah bukanlah tugas utama guru.
2.      Memberikan sejumlah kegiatan yang dapat merangsang keingintahuan siswa dan mendorong mereka untuk meng-ekspresikan gagasan-gagasannya serta mengkomukasikan-nya secara ilmiah;
3.      Menyediakan sarana belajar yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Guru hendaknya menciptakan rangsangan belajar melalui penyediaan situasi problematik yang memungkinkan siswa belajar memecahkan masalah;
4.      Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan tingkat perkembangan berpikir siswa. Guru dapat menunjukkan dan mempertanyakan sejauh mana pengetahuan siswa untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan dengan pengetahuan yang dimilikinya. (Ditulis Oleh Drs.Agustinus Maniyeni, M.Pd - Dalam buku “Wawasan Pembelajaran” halaman 1-15)
Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme, berikut ini dipaparkan tentang penerapan di kelas:
  1. Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar
    Dengan menghargai gagasa-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir mandiri, berarti guru membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka. Para siswa yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar mereka sendiri serta menjadi pemecah masalah (problem solver)
  2. Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon. Berfikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa merespon atau menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan penyelidikan.
  3. Mendorong siswa berpikir tingkat tinggi
    Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa untuk mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual yang sederhana. Guru mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui analisis, prediksi, justifikasi, dan mempertahankan gagasan-gagasan atau pemikirannya
  4.  Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau diskusi dengan guru dan siswa lainnya
    Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuannya sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa aman dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat bermakna akan terjadi di kelas
  5. Siswa terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi
    Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai macam prediksi, seringkali siswa menghasilkan berbagai hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme dalam belajar memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji hpotesis yang mereka buat, terutama melalu diskusi kelompok dan pengalaman nyata
  6. Guru memberikan data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif
    Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Kemudian guru membantu para siswa untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena alam tersebut secara bersama-sama.
Teori kontruktivis didasari ole ide bahwa pembelajar mengembangkan pengetahuannya secara aktif, dan bukan menerimanya secara pasif dalam bentuk paket, dari guru atau sumber-sumber dari luar. Teori –teori pembelajaran kontruktivis difokuskan pada bagaimana orang membuat arti, baik mereka buat sendiri. Konstruktivisme adalah pandangan yang menekankan pada peran aktif pembelajar pemahaman dan memahami informasi. Kontruktivisme adalah istilah luas yang digunakan ole para filsuf, perancang kurikulum, psikolog, pendidik, dan lain-lain.  Perspektif kontruktivis berpijak pada, antara lain, penelitian piaget, Vygotsky, para psikollogi Gestalt, Barlett, dan Brunner, maupun falsafah John Dewey. Tidak ada teori kontruktivis tunggal, tetapi sebagaian besar kontruktivis memiliki dua ide utama yang sama: pembelajar aktif dalam mengonstruksikan pengetahuannya sendiri dan bahwa interaksi sosial penting bagi pengontruksian pengetahuan (Brunning, Schraw, Norby, & Ronning, 2004) kontruktivisme memandang belajar lebih dari sekedar menerima dan memproses informasi yang disampaikan oleh guru atau teks. Pembelajaran adalah kontruksi pengetahuan yang bersifat aktif dan personal. Jadi banyak teori dibidang ilmu kognitif yang memasukkan jenis kontruktivisme tertentu karena teori-teori tersebut berasumsi bahwa individu-individu mengkonstruksikan struktur kognitifnya sendiri saat mereka menginterpretasikan pengalamannya dalam situasi tertentu.
            Salah satu cara untuk mengorganisasikan pandangan-pandangan kontruktivis adalah berbicara tentang dua bentuk kontruktivisme: kontruksi psikologi dan kontruksi sosial. Konstruksi psikologis memfokuskan pada bagaimana individu-individu menggunakan informasi, sumberdaya, dan bantuan dari orang lain untuk membangun dan meningkatkan model mental dan strategi problem solvingnya. Sebaliknya konstruksi sosial: melihat belajar sebagai meningkatkan kemampuan kita untuk berpartisipasi bersama orang-orang lain dalam kegiatan-kegiatan yang bermakna dalam budaya.
1.      Konstruktivisme Psikologis/ Individual
Konstruktivisme Psikologis tertarik dengan bagaimana individu-individu membangun elemen-elemen tertentu dari aparatus kognitif atau emosionalnya (Phillips: 1997). Para konstruktivis ini tertarik dengan pengetahuan, keyakinan, konsep diri, atau identitas individual, sehingga mereka kadang-kadang disebut konstruktivis individual atau konstruktivis kognitif, mereka semua memfokuskan pada kehidupan psikologis salam diri orang. Pendekatan pemprosesan informasi tentang pembelajaran menganggap pikiran manusia sebagai sebuah simtem pemroses simbol. Sistem ini mengonversi input sensorik menjadi struktur simbol (proposisi, gambaran, atau skema) dan kemudian memproses (merehearse atau mengelaborasikan)struktur simbol itu sehingga pengetahuan dapat disimpan dalam ingatan dan di-retrieve. Dunia luar dianggap sumber input, tetapi begitu sensasi dipersepsi dan memasuki working memory, tugas pentingnya diasumsikan terjadi “dalam kepala” individu. Sebaliknya perspektif konstruktivis psikologi (kognitif) Piaget kurang memperhatikan representasi-representasi yang benar dan lebih tertarik dengan makna sebagaimana yang dikontruksikan oleh individu. Perhatian khusus Piaget adalah pada logic dan pengontruksian pengetahuan universal yang tidak dapat dipelajari secara langsung dari lingkungan pengetahuan seperti konservasi atau reversibilitas. Pengetahuan semacam itu berasal dari merefleksikan dan mengkoordinasikan kognisi atau pikiran kita sendiri, bukan dari memetakan realitas eksternal. Piaget melihat lingkungan sosial sebagai salah satu faktor perkembangan yang penting, tetapi tidak percaya bahwa interaksi sosial merupakan mekanisme utama untuk mengubah pemikiran, sebagai psikolog menyebut jenis konstruktivisme Piaget adalah Kontruktivisime “Gelombang pertama”. Konstruktivisme gelombang pertama  fokus pada sumber-sumber pengetahuan individual dan psikologis. Sedangkan konstruktivisme radikal adalah pengetahuan diasumsikan merupakan konstruksi individual, pengetahuan tidak dapat dinilai benar atau salah.
2.      Konstruktivisme Sosial Vygotsky
Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial, perangkat kultural, dan aktivitas menentukan perkembangan dan pembelajaran individual. Meletakkan belajar dalam konteks sosial dan kultural disebut konstruktivisme “gelombang kedua”. Oleh karena teori ini, banyak menyadarkan diri pada interaksi sosial dan konteks kultural untuk menjelaskan pembelajaran, kebanyakan psikolog mengklasifikasikan Vygotsky sebagai seorang konstruktivis sosial (Palincsar:1998). Akan tetapi sebagaian teoretisi mengkategorikannya sebagai konstruktivis psikologis karena ia terutama tertarik dengan perkembangan dalam diri individu. Dalam pengertian tertentu Vygotsky adalah keduanya. Dalah satu keunggulan dari teori pembelajarannya adalah karena ia memberikan cara untuk mempertimbangkan yang bersifat psikologis maupun sosial: ia  menjembati keduanya.
Cara Pengetahuan Dikonstruksikan:
Tipe
Asumsi tentang Pembelajaran dan Pengetahuan
Contoh Teori
External Direction
Pengetahuan didapat dengan mengkonstruksikan representasi dunia luar. Pengajaran langsung, umpan balik dan penjelasan memengaruhi pembelajaran. Pengetahuan akurat sejauh ia merefleksikan “bagaimana suatu hal sesungguhnya” didunia luar
Informatin processing (pemerosesan informasi)
Internal Direction
Pengetahuan dikonstruksikan dengan mentransformasi, mengorganisasikan, dan mereorganisasikan pengetahuan sebelumnya, pengetahuan bukan cermin dunia luar, meskipun pengalaman memengaruhi pemikiran dan pemikiran memengaruhi pengetahuan. Ekspolarasi dan penemuan lebih penting dibanding pengajaran
Piaget
Both External dan Internal Direction
Pengetahuan dikonstruksikan berdasarkan interaksi sosial dan pengalaman. Pengetahuan merefleksikan dunia luar yang disaring melalui dan dipengaruhi oleh budaya, bahasa, keyakinan, interaksi dengan orang lain, pengajaran langsung, dan modeling. Guided discovery, pengajaran, model, dan coaching maupun pengetahuan sebelumnya, keyakinan dan pemikiran individu mempengaruhi pembelajaran.
Vygotsky
GLOSSARY
Mastery Experience: Pengalaman langsung kita sendiri, sumber informasi efiksasi yang paling kuat
Arousal: reaksi fisik dan psikologis yang menyebabkan seseorang merasa alert (siaga), bergairah atau tegang
Vicarious experiences: pencapaian yang dimodelkan oleh orang lain
Modeling: perubahan dalam prilaku
Social persuasion: umpan balik atas kinerja salah satu sumber efiksasi diri
Setbacks: kemunduran
The importans of culture: pemahaman dan penerimaan guru terhadap perbedaan kultural dapat mencegah konflik antara siswa, guru dan orang tua.
Teacher’s sense of efficacy: keyakinan guru bahwa dirinya mampu menjangkau bahwa siswa yang paling sulit dan membantu mereka belajar
Regulasi diri: proses mengaktifkan dan mempertahankan pikiran, prilaku, dan emosi untuk mencapai tujuan
Volition: kekuatan kemauman, disiplin diri, gaya bekerja yang memproteksi kesempatan untuk mencapai tujuan dengan menerapkan self regulated learning
Learning: Anita mendiskusikan perbedaan antara teori behavioral, kognitif dan konstruktivis, bersama dampaknya pada pengajaran.
Self regulated learning: pandangan tentang belajar sebagai keterampilan dan akan diterapkan untuk menganalisis tugas-tugas belajar, menetapkan tujuan dan merencanakan cara melaksanakan tugas, enerapkan keterampilan, dan khususnya melakukan penyesuaian pada bagaimana pembelajaran dilaksanakan
Agency: kapasita untuk mengoordinasikan berbagai keterampilan belajar, motivasi dan emosi untuk mencapai tujuan anda.