Unknown | Senin, 23 Maret 2015,12.42 |
 BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan alat komunikas yang sangat penting dalam kehidupan manusia untuk berkomunikasi, pada hakikatnya setiap manusia tidak dapat hidup sendiri, bersosialisasi dengan manusia yang lain adalah sebuah keharusan dan sudah menjadi fitrah bagi setiap manusia. Hadirnya fenomena ini maka akan muncul sebuah pertanyaan, bagaimana seorang manusia hidup bersosialisasi dengan manusia yang lain? Jawabnya adalah dengan melakukan tindak ujar. Ketika seseorang melakukan tindak ujar yang baik dan benar, yakni tindak ujar yang tidak melukai lawan bicara. Maka dari itu, dalam melakukan tindak ujar dengan lawan bicara, penting sekali untuk memahami dan mempelajari bagaimana tindak ujar yang santun untuk melakukan komunikasi dalam rangka bersosialisasi, semua ini akan dibahas dalam ilmu pragmatik tentang kesantunan berbahasa.


Pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu tata bahasa yang berkaitan erat dengan tindak ujar. Konteks dalam suatu tindak ujar ini memiliki peran yang sangat penting. Konteks dalam suatu situasi yang berbeda akan memengaruhi makna sebuah tindak ujar yang sama. Jadi, penggunaan sebuah bahasa dapat mempengaruhi maksud dan tujuan dari tindak ujar yang disampaikan oleh pelaku tindak ujar.
Di dalam ilmu pragmatik, bahasa diteliti tidak lepas dan harus sesuai dengan konteks bahasa yang dimaksud. Bahasa dan konteks dalam pragmatik menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebuah karya sastra apabila telah sampai kepada pembacanya maka sang penulis atau pengarang tidak memiliki hak atas karyanya sendiri. Hak yang dimaksud dalam hal ini adalah, hak membela atau menyatakan baik atau menutupi buruknya karya yang ia buat dari komentar pembaca, baik itu komentar yang positif atau yang negatif. Hal ini pun terjadi pada Ayu Utami dalam novelnya yang berjudul Saman telah mencuri perhatian para kritikus dan dianggap memberikan warna baru dalam sastra Indonesia. Selain mendapatkan komentar yang baik dari para pembacanya, novel ini juga mendapatkan respon negatif dari sebagian pembacanya maupun dari beberapa sastrawan yang lainnya.
Komentar yang baik dan buruk yang mengiringi novel saman telah menarik perhatian penulis untuk menjadikan novel ini sebagai subjek dalam penelitian kecil yang penulis lakukan, yang berkaitan dengan ilmu pragmatik mengenai kesantunan berbahasa. Dalam penelitian ini penulis tertarik menganalisis unsur Pragmatik Kesantunan Berbahasa dalam Novel Saman Karya Ayu Utami.
B.   Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah dan menjelaskan permasalahan yang akan dibahas, maka dalam penelitian ini penulis memfokuskan permasalahan pada penelitian pragmatik terkait kesantunan berbahasa dalam tindak tutur percakapan antar tokoh di dalam novel Saman karya Ayu Utami. Penelitian ini menggunakan “prinsip kesantunan yang sampai saat ini dianggap paling lengkap, paling mapan, dan relatif paling komprehensip yang dirumuskan oleh Leech. Rumusan itu selengkapnya tertuang dalam enam maksim interpersonal”.[1]
C.   Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang telah dibahas sebelumnya pada pembatasan masalah, serta permasalahan pada latar belakang yang telah dibahas pula sebelumnya, maka pertanyaan mendasar dalam penelitian ini adalah bagaimana penerapan kesantunan berbahasa menurut teori Leech dalam tindak tutur percakapan antar tokoh di dalam novel Saman karya Ayu Utami?
D.   Tujuan Penelitian
Dalam Penelitian ini ada dua tujian yang ingin di capai diantaranya yaitu:
1.    Menjelaskan kesopanan berbahasa dalam novel Saman yang masuk dalam salah satu kategori kesopanan berbahasa teori Lecch.
2.    Menjelaskan bahasa dalam novel Saman yang tidak masuk dalam kategori maksim kesantunan berbahasa teori Lecch.
BAB II
KAJIAN TEORETIK
A.   Pengertian Kesantunan Berbahasa dalam Pragmatik
Kata kesantunan yang memiliki kata dasar santun, dalam kamus besar bahasa indonesia yang artinya adalah (1) halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar dan tenang; sopan; (2) penuh rasa belas kasihan; suka menolong.[2] Jadi, hakikat kesantunan berbahasa adalah hal yang paling mendasar yang dapat menjadi sebuah prinsip dan strategi dalam hal kehalusan dalam berbahasa yang baik dan benar. Prinsip kesopanan dan strategi dalam kesopanan berbahasa adalah meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan orang lain. Yang dimaksud dengan sopan-santun adalah memberi penghargaan atau menghormati orang yang diajak bicara. Khususnya pendengar atau pembaca.[3]
Setiap orang harus memiliki tatacara berbahasa sesuai dengan normanorma budaya, jika tidak maka ia mendapat nilai negatif seperti: disebut sebagai orang yang sombong, egois, angkuh bahkan tidak berbudaya. Oleh karena itu, terdapat hal-hal yang harus diperhatikan terkalit kesantunan berbahasa. Hal-hal tersebut adalah:
a.    Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu.
b.    Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalm situasi tertentu
c.    Kapan dan bagaimana giliran berbicara atau menyela pembicaraan diterapkan
d.    Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara
e.    Bagaimana sikap dan gerak-gerik ketika berbicara
f.     Kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan.[4]
Dengan demikian, setiap orang harus memiliki kemampuan akan membaca situasi dan kondisi. Dengan ini, setiap orang akan lebih mudah menyesuaikan apa yang akan dia katakana dengan tempat dimana ia berada.
Menurut Danardana kesantunan berbahasa seseorang juga dapat dilihat pada sikapnya dalam menghargai orang lain.[5] Dengan demikian menghargai orang lain menjadi hal yang sangat penting dalam bersosialisasi antar manusia, karena tidak seorang pun manusia yang hidup dimuka bumi ini dapat menjalani kehidupannya secara individu tanpa bantuan dari orang lain.
B.   Maksim Kesantunan Berbahasa dalam Pragmatik
Maksim kesantunan berbahasa menurut teori Lecch tertuang dalam enam maksim, diantaranya sebagai berikut:
1.    Maksim Kebijaksanaan
Kurangi kerugian orang lain, Tambahi keuntungan orang lain
2.    Maksim Kedermawanan
Kurangi keuntungan diri sendiri, Tambahi Pengorbanan diri sendiri
3.    Maksim Penghargaan
Kurangi cacian pada orang lain, Tambahi pujian pada orang lain
4.    Maksim Kesederhanaan
Kurangi pujian pada diri sendiri, Tambahi cacian pada diri sendiri
5.    Maksim kemufakatan
Kurangi antara ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain, Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain
6.    Maksim Simpati
Kurangi antipasti antara diri sendiri dengan orang lain, Perbesar antipasti antara diri sendiri dengan orang lain.[6]
Dasar pemikiran dalam maksim kebijaksanaan adalah seseorang harus memiliki prinsip mengurangi kerugian orang lain dan memberi keuntungan pada orang lain. Contohnya adalah: jika seseorang telah membeli makanan dengan membawa uang yang pas-pasan dengan harga makanan yang dibelinya namun di tengah jalan ia melihat seorang anak jalanan tengah nangis karena kelaparan, lalu ia memberikan makanan satu-satunya yang ia miliki untuk anak jalanan tersebut seraya berkata ”makanlah makanan ini, di rumah, saya masih memiliki makanan yang lain” yang pada kenyataannya ia tidak memiliki makan yang dikatakan pada anak jalanan di rumahnya itu.
Pada maksim kedermawanan para peserta tutur diharapkan dapat menghormati orang lain, hal ini akan terjadi apabila seseorang telah dapat mengurangi keuntungan dirinya demi memaksimalkan keuntungan orang lain. Contohnya adalah disebuah kosan A menawarkan jasa penitipan pada teman kosan yang lainnya: “siapa yang mau nitip makanan? Saya mau ke luar cari makanan?” dari contoh tersebut si A telah memaksimalkan keuntungan pada teman-temannya untuk membelikan pesanan makanan untuk teman-temannya.
Dalam maksim penghargaan para peserta tutur diharapkan untuk tidak mengejek satu sama lain namun saling memberikan penghargaan satu sama lain. Contohnya adalah: ketika seseorang mengucapkan trima kasih kepada lawan tuturnya tidak hanya sekedar mengucapkan kata terima kasih, mamun menyebut namanya setelah mengucapkan kata terima kasih tersebut sebagai penghargaan lebih untuk lawan tuturnya seperti:
Maya: “trima kasih, Shina”
Shina: “sama-sama, Maya”
Untuk maksim kesederhanaan, memiliki konsep kerendahan hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Dituturkan seorang ketua terhadap wakilnya yang masih junior pada saat mereka bersama-sama bekerja di kantor mereka.
Ketua: “sebelum rapat dimulai, nanti kamu pimpin do‟a terlebih dahulu ya.”
Wakil: “siap kakak, Tapi saya tidak sebagus kakak, lho.”
Maksim kemufakatan memiliki pokok pikiran, para peserta tutur dapat saling menyelaraskan kecocokan diantara satu dengan lainnya. Misalnya dengan cara mencari tahu hobi dari lawan tuturnya untuk selanjutnya dijadikan topik obrolan diantara keduanya agar terjalin kecocokan diantara keduanya dengan menunjukkan keingintahuan atau memberi tau informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kesukaan lawan bicaranya dari lawan bicaranya.
Maksim kesimpatian memiliki tujuan agar peserta tuturnya dapat menjujung tinggi sikap simpati diantara keduanya yaitu penutur dan lawan tuturnya. Misalnya seseorang akan turut berduka apabila lawan tuturnya tengah dalam musibah dan seseorang akan turut bahagia apabila lawan tuturnya sedang dalam keadaan senang dan gembira.
C.   Pengertian Novel
Kata novel dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: karangan prosa yang panjang mengangung rangkaian cerita kehidupan sesorang dengan orang lain di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.[7]
Novel pada umumnya terdiri dari beberapa bab, disetiap babnya memiliki alur cerita yang berbeda-beda sehingga hubungan antar bab memiliki hubungan yang erat. Apabila membaca sebuah novel hanya satu bab saja, maka tidak akan menghasilkan keutuhan cerita dari novel tersebut, karena keutuhan sebuah cerita dalam sebuah novel meliputi keseluruhan bab. ”suatu cerita yang bermain dalam dunia manusia dan benda yang ada disekitar kita, tidak mendalam, tidak banyak melukiskan satu saat dari kehidupan seseorang, dan lebih mengenai sesuatu episode”.[8]
Novel dalam sejarah kemunculannya di Indonesia, telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak dahulu sebagai karangan fiksi yang mengandung daya imajinatif yang sangat kreatif dari pengarangnya, baik dari unsur intrinsik maupun  ekstrinsiknya. Novel dalam bentuk penyajiannya mengungkapkan segala sesuatunya secara bebas dan sangat rinci dan lebih banyak menghadirkan berbagai masalah yang lebih banyak dan lebih kompleks, hal ini masuk dalam membangun unsur cerita yang terdapat dalam novel tersebut.
Jadi, novel dalam keberadaannya sangatlah dekat dengan masyarakat, dan bukan hal yang baru bagi masyarakat Indonesia saat ini. Kekreatifan seorang pengarang akan lebih terlihat dari cara ia menjelaskan segala sesuatunya secara rinci disetiap cerita yang ia sampaikan dalam karyanya.
Dalam novel terkandung beberapa unsur yang membangunnya, yaitu unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah bagian pondasi penting dalam sebuah karya sastra, yang dimana sekema cerita sebuah karya sastra dapat dilihat dari unsur intrinsik tersebut. Burhan Nurgiantoro berpendapat bahwa “unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra.”[9] Adapun yang termasuk ke dalam unsur-unsur intrinsik yaitu: tema, penokohan, llur, latar, dan sudut pandang. Sedangkan unsur ekstrinsik merupakan latar belakang dan sumber informasi bagi karya sastra dan tidak dapat diabaikan karena mempunyai nilai dan pengaruh. Mnurut Haryono, unsur ekstrinsik sastra adalah unsur yang membangun karya sastra yang berasal dari luar karya sastra itu, meliputi keadaan lingkungan, sosial, atau budaya saat karya tersebut dibuat, serta latar belakang pengarang.[10]
Dengan demikian struktur ekstrinsik ini, merupakan unsur atau bagian yang secara fungsional berhubungan dengan sebuah karya sastra satu sama lainnya. Bila stuktur ekstrinsik dengan sebuah karya sastra itu tidak saling berhubungan maka tidak dapat dikatakan struktur. Struktur itu sendiri harus dilihat dari satu titik pandang tertentu. Struktur ekstrinsik dianggap sebagai bagian dari struktur yang membangun cerita novel bila ia dianggap memberi pengaruh terhadap keseluruhan struktur novel itu, terutama bila novel itu dianggap sebagai pencerminan kehidupan atau interperensi tentang kehidupan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.   Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.[11] Penelitian kualitatif juga dapat dikatakan penelitian langsung, karena para peneliti langsung melakukan penelitiannya terhadap objek yang menjadi sumber penelitiannya tanpa melalui proses statistik atau bentuk hitungan lainnya. Sejalan dengan definisi tersebut, objek penelitian penulis yaitu meneliti bahasa tulisan yang terdapat dalam novel Saman karya Ayu Utami dari bidang pragmatik kesantunan berbahasanya.
B.   Teknik Pengumpualan Data
Dalam pengumpulan data, peneliti menganalisis/mencari percakapan dalam novel Saman Karya Ayu Utami yang mengandung salah satu dari enam maksim yang digunakan, akan dideskripsikan yang kemudian dianalisiskan sesuai dengan konteks latar belakang penuturannya dan diinterpretasikan berdasarkan maksim-maksim kesantunan berbahasa menurut Leech.
BAB IV
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A.   Analisis Deskripsi Temuan Kesantunan Berbahasa Novel Saman Karya Ayu Utami
Di perjalanan pulang dia bilang, sebaiknya kita tak usah berkencan lagi (saya tidak menyangka). “saya sudah punya istri.”
Saya menjawab, saya tak punya pacar, tetapi punya orang tua. “kamu tidak sendiri, saya juga berdosa.”
Ia membalas, bukan itu persoalannya. “orang yang sudah kawin, tidak bisa tidak begitu.”
Saya mengerti. Meskipun masih perawan.(h.4)
Konteks tuturan: tokoh Dia yang seorang suami dari seorang istri, sepulang dari kencan dengan seorang wanita perawan dalam cerita ini adalah si Saya, berniat untuk tidak lagi berkencan lagi karena si Dia tidak dapat memungkiri hasratnya seorang laki-laki yang sudah beristri namun ia ingin menjga keperawanan teman kencannya yang tidak lain dalam cerita ini adalah si Saya.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas menganut maksim kebijaksanaan karena tokoh Dia tidak ingin memberikan kerugian pada tokoh si Saya dengan mendapatkan keperawanan dari nya, bahkan tokoh Dia ingin menjaga si Saya dari kerugian yang akan diterimanya.
Kenapa kamu tidak pernah menelpon lagi, katanya. Saya mencoba tetapi kehilangan jejak, saya jawab. Saya maih disini, terdengar suaranya. Dan saya berdebar, entah kenapa, barangkali karena ia sedang di Jakarta.
“Bisakah kita ketemu?” saya berharap. “Makan siang?”
“Terus, setelah makan siang?”
“Setelah itu…barangkali hari sudah sedikit sore.”
“Bagaimana kalau makan malam?”
“Istri ke luar kota?”
“Dari mana kau tahu? Kau telepon ke rumah, ya?”
“Sihar, k mu tidak pernah mengajak makan malam sebelum ini…”
Ia terdiam. Saya juga terdiam.
Lalu ia bertanya, apakah kita juga bisa sarapan bersama esok harinya jika kita makan berdua malam harinya. Saya menyaut, saya masih tinggal bersama orang tua. Mereka akan bertanya-tanya jika saya tidak pulang. “meskipun kamu sudah dewasa dan sering bepergian?” ujarnya. Saya mengiya. Di pesawat telepon terdengar ia mengeluh. “Lagi pula, kamu masih perawan.” (h.5)
Konteks tuturan: tokoh si Dia yang memiliki nama Sihar. Sihar sedang melakukan percakan dengan si Saya yang mana adalah seorang wanita yang masih perawan melalui pesawat telepon untuk mengajak kencan.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas melanggar maksim permufakatan. Karena tokoh Sihar berusaha melakukan ketidaksesuaian pada dirinya sendiri terhadap orang lain yang tidak lain adalah tokoh si Saya.
Malam itu kami tidak jadi berkencan. Begitu terjadi berulangkali, lebih dari enam belas. Sampai suatu kali dia bilang, jangan menelepon lagi. Lebih baik jangan. Kenapa, kubertanya. Saya punya istri, jawabnya. Kubertanya, kenapa.
“Istriku sering menerima telepon yang dimatikan begitu dia angkat.”
“Bukan aku,” saya berbohong. Tidak sesering itu. Barangkali orang lain? “Tapi dia bilang itu firasat.”
“Nah, kini kamu merasa berdosa. Padahal kita belum
berbuat apa-apa.” (h.5-6)
Konteks tuturan: masih sama seperti konteks sebelumnya yaitu, tokoh si Dia yang memiliki nama Sihar. Sihar sedang melakukan percakan dengan si Saya yang mana adalah seorang wanita yang masih perawan melalui pesawat telepon. Namun kali ini ia tidak mengajak untuk berkencan namun membuat larangan kepada tokoh si Saya untu tidak lagi menelpon tokoh Sihar.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas menganut maksim permufakatan, karena tokoh Sihar berusaha mengurangi hubungannya yang tidak sesuai dengan orang lain yaitu pada tokoh si Saya, dan ia neningkatkan kesuaian dirinya pada istrinya.
“Bagaimana, Sihar? Lambat sekali pekerjaan ini,” tegur Rosano seolah tidak peduli kehadiran tamu-tamunya di antara mereka.
“Alat ini masih harus di cek, sebentar. Sepertinya kita juga belum bisa kerja, Pak. Analisa mud logger, tekanan gas di bawah naik. Kita memank harus menunggu dulu….Pak”, bukan dengan hormat, melainkan seperti mempermainkan kesombongan Rosano yang agaknya senang jika orang-orang di sana memanggilnya begitu.
“Bukan tugas kamu untuk memutuskan menunggu atau tidak. Saya akan cek dengan dia. Tim kamu harus siap dalam dalam satu jam ini.” (h. 10)
Konteks tuturan: percakan antara atasan dengan bawahan, dimana sang atasan merasa paling pintar dan berkuasa tanpa mau mendengarkan bawahannya.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas melanggar maksim penghargaan karena kedua belah pihak antara atasan dan bawahan tidak saling menghargai dan menghormati. Rosano sebagai atasan merasa paling berkuasa dan merasa paling pintar sehingga menimbulkan ketidaksenangan dalam diri seorang bawahannya.
“Saya ikut sedih biarpun tidak sempat kenal dia.” Kasihan keluarganya. Apakah dia suami yang setia?
Dia bukan orang yang secara seksual setia pada istri, seperti enam puluh persen lelaki di sini. Tetapi ia tidak pernah menyianyiakan keluarga. Istri dan anak-anaknya, ayah-ibu dan mertua. “saya tidak tahu siapa yang menghidupi mereka setelah ini.”
“Tapi ada asuransi, kan?” Meskipun uang tak pernah bisa menggantikan manusia. (h. 20)
Konteks tuturan: para penghuni kapal dikagetkan dengan apa suara dentuman besar akibat ledakan yang bersumber dari bawah sumur akibat keegoisan antara atasan dan bawahan sehingga menjatuhkan korban pada salah satu pekerja yang tidak lain adalah sahabat dekat Sihar.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas menganut maksim simpati karena dalam hal ini sihar sebagai sahabatnya sangat memikirkan keluarga korban. Terlebih lagi dengan Laila, ia sama sekali tidak mengenal korban yang telah meninggal itu namun ia sangat menyesal dengan kejadian ini yang mengakibatkan jatuh satu korban yang disebabkan oleh keegoisan keduanya, yaitu antara atasan bersama Rosano dan bawahan bernama Sihar.
Saya bertanya-tanya pada Sihar dan Saman, apa yang sebetulnya terjadi. Betulkah rosano sekejih itu, memperkosa dan membunuh? Dia memang menyebalkan, tapi sungguhkah dia sekejam itu? Tapi, mereka Cuma menjawab, “kami juga tidak menyangka. Tapi, kalau tidak begitu, dia tidak akan masuk penjara.”
Namun, sejak mereka berbicara empat mata dulu dan meninggalkan saya direstoran, saya merasa mereka bersekongkol. Kali ini saya juga merasa ada sesuatu yang mereka tutupi. (h. 36)
Konteks tuturan: Sihar, Saman dan Laila berkumpul membicarakan masalah yang dihadapi keluarga korban atas kejadian di laut pada saat itu, dan menyusun sebuah rencana agar keluarga korban mendapat keadilan dengan mengangkat kasus tersebut ke meja hijau.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas melanggar maksim kedermawanan yang dilanggar karena, Sihar dan Saman menambah atau melebih-lebihkan kesalahan Rosanao agar ia dapat dijebloskan kedalam penjara.
Di boks telepon itu, saya putar sambungan internasionl ke Jakarta, ke kantornya. Delapan belas dering. Sembilan belas dering….
“Bisa bicara dengan Sihar?”
“Dari mana Bu?”
“Dari Amerika.”
“ Maaf, sekarang jam empat pagi. Besok saja telepon lagi. Terima Kasih.” Dan telepon ditutup. (h. 40)
Konteks tuturan: Laila yang sedang berada di Amerika sedang menelpon Sihar ke kantornya dengan tujuan ingin memastikan apakah Sihar jadi berangkat ke Amerika atau tidak.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas melanggar maksim kebijaksanaan yang seorang petugas penerima telepon tidak segera mengangkat telepon yang sudah bordering sampai sembilan belas kali bordering.
“Saya memang punya ikatan dengan tempat itu, Romo tahu,” akhirnya ia mengaku.
Lalu diam sesaat.
Romo Daru: “Kamu hendak mencari yang dulu hilang?” “Saya juga membawa kabar bahwa ibu telah meninggal.” “Kalau Cuma untuk itu, kamu bisa pergi berlibur ke sana.”
Pria itu menatap ke pucuk lengkung jendela.
Wisanggeni tercenung, “Romo, kalu saya punya kepentingan pribadi, bukan berarti saya tidak layak bekerja di sana, bukan”
“Jik Uskup memutuskan lain, mintalah ijin cuti ke Prabumulih satu atau dua bulan.” (h. 44)
Konteks tuturan: Wisanggeni yang baru saja diangkat menjadi seorang Pater dalam sebuah acara Misa di Gereja. Ia berusaha maminta pada seorang Romo yang Ia kenal untuk ditugaskan di sebebuah daerah dimana ia dulu tinggal semasa kecilnya. Daerah itu bernama Prabumulih.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas menganut maksim Simpati karena sang Romo sangat simpati terhadap masa lalu wisanggeni dimasa kecilnya. Dia tidak memiliki wewenag akan penempatan kerja seseorang yang telah menjadi Pater, namun ia berusaha memberi solusi pada Wisanggeni.
9) “Kami sedang menunggu anak pertama,” terdengar
suara ichwan, riang, optimis. Wis terkesip:
“jangan dilahirkan di sini!”
“Tentu saja.”
“Lho, kenapa?” (ia merasa tolol dengan pertanyaannya sendiri.)
“Kantor mau membiayai. Kenapa tidak di Pondok Indah?” Ichwan masih riang. “Biar Yayang dekat dengan orang tuanya.”
Wis lega. (h. 62)
Konteks tuturan: Wisanggeni sedang bertamu di sebuah rumah yang dulu penah ia tinggali semasa kecilnya. Rumah itu kini di tinggali oleh keluarga Ichwan.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas menganut maksim penghargaan karena Wis tidak ini member kecemasan pada keluarga Ichwan dengan menceritakan kejadian yang pernah ia alami dulu bersama keluarganya mengenai adiknya yang sedang didalam kandungan ibunya tibatiba menghilang tanta jejak.
“Siapa dia?”
“Anak transmigrasi Sei Kumbang. Dulu biasa main kesini. Anak begini….” Rogam menyilangkan telunjuk di dahinya.
Wis menatap gadis itu dengan gelisah. Rogam melanjutkan ceritanya. Tidak ada yang tau namanya. Orang-orangmenyapa dia sesuka hati: Eti, Ance, Yanti, Meri, Susi, apapun. Dia kan menoleh seperti seekor anjing yang kesepian yang dipanggil dengan sembarang nama berakhiran “I”: Pleki, Boni, Dogi. Gadis itu dikenal di kota ini karena satu hal. Dia biasa berkeliaran di jalan-jalan dan menggosok-gosokan selangkangannya pada benda-benda — tonggak, pagar, sudut tembok—seperti binatang yang merancap. (h. 69-70)
Konteks tuturan: Wis baru melihat seorang gadis di Prabumulih yang menarik perhatiannya karena memprihatinkan pada seorang warga yang bernama Rogam.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas melanggar maksim penghargaan karena Rogam telah menceritakan seorang gadis dengan sebutan yang menghina.
“Stop! Stop! Apa yang kalian lakukan!” wis berlari menghampiri dua pemuda yang baru menarik anak kunci dari gemboknya.
“Kami terpaksa, Bang. Adik kami ini gila. Dia Kesetanan.”
“Kalian tidak bisa memasungnya begitu…..”
“Lepaskan! Dia Cuma anak perempuan!” Wis mengguncang bahu salah satu lelaki itu.
Tapi ibunya menghampiri Wis. “Pak” panggilnya dengan hormat, seperti orang desa yang merendahkan diri terhadap pendatang yang dari kota. “Kami bukan tidak sayang padanya. Kami ini tidak tahu cara lain.”Suara itu lemah dan Wis melongo. Tak terlihat kebengisan di wajah wanita empat puluh itu. Ia memandang putrinya yang dikerangkeng dengan tatapan kosong. (h. 72)
Konteks tuturan: Wis mencoba mencegah perlakuan seorang manusia melakukan hal yang menyiksa, terhadap manusia yang lain, terlebih orang itu adalah keluarganya.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas menganut dua maksim, yitu maksim simpati dan tuturan ini juga melanggar maksim permufakan karena, Wis sangat simpati melihat gadis tersebut, tak perduli dengan rasa antipasti dirinya terhadap orang lain yang ia baru kenal. Namun tidak pada kedua kaka si gadis beserta keluarganya yang tidak memperlakukan adiknya selayaknya manusia.
Tapi sanggupkah aku melindungi mereka dalam situasi begini? Apa artinya seorang lelaki?
“Semua sudah di sini Ibu-Ibu?” Ia mencoba mengendalikan diri.
Mereka mengiya. Lalu Wis meminta wanita-wanita itu bersalawat. “Berdoalah yang lantang, selantang mungkin. Insyaallah, doa kita meredkan kemarahan orang-orang.” Semoga Tuhan melembutkan hati orang-orang yang mungkin akan mengepung. (h. 102)
Konteks tuturan: Suasana malam dalam keadaan genting. Semua warga khususnya perempuan dan anak-anak berkumpul dalam satu tempat di sebuah surau kampung mereka. Hanya ada Wis yang menjaga dari pihak laki-laki.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas menganut maksim permufakatan karena Wis berusaha menyesuaikan dirinya dalam situasi setempat. Sebagai lakilaki yang dapat melindungi seorang wanita. Dan berusaha menenangkan suasana dengan mengajak berdoa dan bersalawat sesuai dengan agama yang dianut oleh banyak warga setempat, meskipun ia adalah seorang pater beragama Katolik.
“Jangan sampai tertangkap, Anson. Aku akan mencarimu begitu aku keluar.” Meskipun ia tidak tahu apa yang akan dia lakukan kelak; apa yang akan terjadi pada Anson-juga orang-orang yang ditahan, ibu-ibu— selama ia hanya berbaring di rumah sakit.
“Abang pasti cepat sembuh. Tuhan menyelamatkan Abang berkali-kali,” pemuda itu memegang lengannya sebelum pergi. (h. 114)
Konteks tuturan: Anson yang sedang menjenguk Wis yang sedang dirawat di rumah sakit.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas menganut maksim penghargaan karena Wis berusaha mengurangi kegelisahan pada diri Anson. Begitupun Anson yang menghibur Wis agar cepat sembuh dengan memberi kepercayaan pada diri Wis karena Tuhan lagi-lagi menolongnya.
“Apa komentar mu Wis?”
“Kenapa baru sekarang surat itu datang? Setelah kebakaran? Kenapa tidak sejak serangan pertama saya dituduh?” ujarnya lirih. (h. 115)
Konteks tuturan: Wis yang sedang dirumah sakit, sedang dijenguk oleh teman sesame pater dari gereja. Pater tersebut menceritakan berita yang kini tersebar mengenai kejadian pembakaran pabrik juga kampung di Prabumulih.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas menganut maksim kedermawanan karena Wis menambah beban dirinya demi warga Prabumulih.
Ia berpikir-pikir sejenak, lalu bertanya: “apa jawaban Pater waktu itu?”
“Saya tidak tau kamu dimana. Sebab saya tidak tahu.”
“Apakah sekarang mereka sudah diberitahu?” Pater Westanberg menggeleng. “Saya kira apa yang terjadi pada kamu sungguh tidak wajar. Lagi pula, kamu masih sakit. Saya belum memberitahu siapapun. Suster-suster juga tutup mulut.”
“Menurut Pater, kelihatannya mereka sudah tahu saya selamat, atau justru hendak konfirmasi secara tidak langsung bahwa saya hilang, mati terbakar di bunker pabrik? Sebab malam itu saya tak melihat orang tahu saya kabur.” Bahkan aku sendiri tak mengerti bagaimana aku bisa keluar.
Pater Westenberg masih menggeleng. “Tapi, mereka sopan dan tidak memaksa memeriksa kamarmu.”
“Apa bapa Uskup sudah dengar?”
“Ya, Bapa Uskup sudah dengar. Beliau membuat tim khusus untuk meneliti perkara ini.”
“Apa kira-kira kemungkinanya Pater?”
Pater Westenberg menghela nafas, seperti berat ia menjawab: “Jika tim yakin kamu memang tidak bersalah, kamu harus memenuhi panggilan polisi. Jika kamu merasa bersalah, saya kira kamu harus mengundurkan diri dari tugas Pastoral. Selanjutnya menjadi tanggung jawabmu sendiri untuk menyerahkan diri atau tidak.”
“ Itu tidak adil, Pater. Kedua-duanya adalah hukuman buat saya-“ Tapi lehernya mengejang sebelum ia selesai bicara dalam suaranya yang tegang. Kini, sedikit emosi saja membuat tubuhnya mengejut.
Rekan seniornya segera mengelus kepalanya, tertegun melihat keadaan pemuda itu. “Jangan terlalu tegang, Nak. Akan saya pikirkan sesuatu untukmu. Tapi kamu, atau kita, tak bisa terlalu berharap pada hirarki. Gereja sendiri dalam posisi terjepit. Tuduhn kita disusupi komunis menimbulkan ketakutan umat. Tuduhan melakukan kristenisasi membuat kita dibenci.” Dan pada dirimu ada semua sangkaan itu. (h. 115-116)
Konteks tuturan: sama seperti konteks yang sebelumnya, dimana Wis yang sedang terbaring dirumah sakit. Ia sedang dijenguk oleh rekan sesame Pater dari gereja.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas manganut maksim simpati karena Pater Westenberg begitu simpati melihat keadaan yang sedang menimpa rekannya. Ia pun bersedia untuk membantu mencari solusi yang terbaik untuk Wis dan Gereja.
“Dia Mati. Dia Mati.”
“Jadi Sihar tidak datang?”
“Dia dibunuh. Aku takut dia Dibunuh.”
“Apa?”
“Kamu sudah pastikan beritnya?”
Ia menggeleng. “orang dikantornya tidak mau cerita. Mungkin mereka khawatir untuk menyampaikan kabar begitu. Lagi pula, masih terlalu pagi di sana….”
“Tala,” ia memanggil aku lagi, “Tolong aku dong! Tolong teleponkan rumahnya, ke Jakarta, ada kabar apa…” (h. 119-120)
Konteks tuturan: Laila yang sedang khawatir mencari kabar dari Sihar. Lailapun meminta tolong pada Tala untuk mencri tahu kabar Sihar.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas manganut maksim kedermawanan karena Laila sangat menghawatirkan keberadaan Sihar, jadi bagaimanapun caranya ia kan berkorban untuk mendapatkannya.
“Sihar tidak mati,” kataku agak kecewa. Ya, aku kecewa. Laila menatapku, lega dan berharap.
Aku melanjutkan: “Dia ada di hotel Days Inn. 57th Street, West.” “Sama Istrinya.” (h. 121)
Konteks tuturan: Tala yang diminta tolong oleh Laila untuk menelepon ke rumah Sihar, telah dilaksanakan. Tala pun mendapatkan informasi yang jelas mengenai Sihar.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas menganut maksim kedermawanan karena Tala yang sebenarnya sangat membenci Sihar, Laki-laki yang menurutnya hanya mempermainkan perasaan sahabatnya yaitu, Laila. Tetap saja Ia membantu Laila untuk mencari informasi mengenai Sihar. Dia meredam kebenciannya dan berkorban demi sahabatnya Laila.
“ Kenapa sih Istrinya harus ikut-ikutan terus, “ ia seperti menahan guruh dalam dadanya.
“Aku menghiburnya: “wajar saja. Ini kesempatan berlibur berdua ke Amerika dengan beli satu tiket.”
Ia menghela nafas: “Betul juga, sih.”
“Seharusnya ia member kabar. Kamu kan sudah kasihkan alamatku. Apa susahnya menelepon?”
“Mm. iya sih…Tapi bagaimana mau telepon kalau istrinya di samping terus?”
“istrinya juga kalau berak juga minta ditunggui, ya?” “Mungkin beraknya cepat.”
“Untung sekali dia, ya. Aku harus nongkrong sepuluh menit sampai taiku keluar. Padahal aku sudah makan sayur dan buahbuahan. Tapi, seharusnya Sihar bisa pura-pura menelepon ke sini.”
Tapi nomor kamu akan tercatat direkening hotel. Dari angkanya saja istrinya bakal tahu kalau itu telepon local, bukan ke Odessa. Kalau dia cek ke sini gimana?”
“Telepon dari luar, dong! Orang biasa begitu, karena telephon umum selalu lebih murah daripada telepon hotel. Masa begitu saja tidak punya akal? Dia itu bodoh apa tidak serius!” (h. 124-125)
Konteks tuturan: perdebatan antara Laila dan Tala mengenai keberadaan Sihar dengan Istrinya yang juga berada di Amerika. Tala yang yang selalu tidak ingin menambah alasan untuk Laila memaafkan Sihar terlalu cepat. Namun Laila     selalu saja berpihak pada Sihar.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas melanggar maksim permufakatan karena Laila tidak dapat menempatkan dirinya sebagai orang yang datang belakangan dalam hidup Sihar.
19) “Kamu yakin yang menerima teleponmu tadi bukan istrinya?”
“Laki-laki, kok!” Aku pasti, tapi kemudian tak pasti. Kecuali kalau istrinya juga bisa mengubahubah suara kayak aku.” “Tapi, kenapa dia harus berbohong?”
“Siapa tahu istrinya tahu rencana kami.”
“Terus?”
“Terus… dia mencoba mengagalkan. Atau, cuma mau menjebak.”
“Untuk apa? Lagi pula, kalau begitu, kalau istrinya tidak di sini, malah tidak ada alasan Sihar untuk tidak menelepon kamu.”
Laila termanyun. “Betul juga y… Kenapa sih dia takut sekali? Aku tidak akan mengganggu istrinya. Aku cuma ingin bertemu dia. Aku tidak akan menganggu keluarganya…”
Aku pun termangu.
“Atau,” kataku menghiburnya, “mungkin dia justru tak mau merugikan kamu.”
Kamu masih perwan. (h. 126)
Konteks tuturan: Tala dan Laila yang masih membicarakan Sihar dengan istrinya. Laila berusaha meminta kepastian pada Tala bahwa yang mengangkat teleponnya benar seorang pria, ketika Tala berusaha menolong Laila mencari tahu keberadaan sihar.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas menganut maksim permufakatan karena Laila dalam perbincangannya kali ini bersama Tala berusaha mengurangi dan menyadari ketidaksesuaiannya dalam kehidupan Sihar dan keluarganya.
“Kaya apa sih rasanya waktu pertama kali?”
“Engga ada rasanya.”
“Engga sakit?”
“Aku enggak.”
“kok bisa engga sakit?”
“Enggak tahu. Mungkin karena aku tak pernah punya trauma.”
“Trauma apa?”
“Vaginismus.” Aku pernah dengar seorang perempuan yang tidak bisa berhubungan seks. Vaginanya selalu menutup setiap kali ada penis di ambangnya baru permisi. Dia trauma pada seksualitasnya hingga ke bawah sadar. Dia di satu ekstrim, aku di ekstrim lain.”
Laila tertawa keras-keras. “Wah, bagaimana kalau ternyata aku juga trauma, ya?”
Aku tertawa juga. “Bayangkn kalau dia sudah susah payah curi-curi kesempatan lepas dari istrinya untuk kencan dengan kamu. Terus, kamu juga sudah kepingin. Tapi ternyata tidak bisa tembus.” (h. 128)
Konteks tuturan: Laila yang sedang menanyakan pengalaman yang pernah dirasakan Tala, namun belum pernah dirasakan Laila. Ia bertanya karena tersimpan kehawatiran dalam dirinya mengenai berhubungan seksual.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas menganut maksim penghargaan karena Tala berusaha berbagi pengalaman dengan Laila dan berusaha menghilangkan kehawatiran yang sedang dihadapi Laila.
Tapi temanku malah berhenti tertawa.
“Kamu yakin dia di sini dengan istrinya?”
Aku berhenti tertawa tertawa juga.
“Kamu yakin akan begituan kalau betulbetul ketemu Sihar?”
Ia menggeleng. “Enggak tahu, deh. Menurutmu bagaimana?”
“Menurutku jangan.”
“Kenapa?”
“Lebih baik jangan.” (h. 130)
Konteks tuturan: Laila dengan Tala yang masih membicarakan mengenai Laila, Sihar dan istri Sihar. Membicarakan bagaimana jika Laila benar dapat bertemu dengan Sihar yang sudah beristri itu.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas menganut maksim kebijaksanaan karena Tala berusaha menghilangkan kerugian yang pasti dirasakan Laila apabola dia benar-benar melakukan hal yang tidak seharusnya Laila lakuakan bersama suami orang, Karen dia masih perawan.
“Tala?” suaranya masih lirih.
“Laila! Hai… Sudah?”
“Sudah apa?”
“Begitu…”
“Enggak. Engga sampai beneran.”
“Tapi sampai?”
“Dia sampai.”
“Kamu?”
“Enggak tahu… Kasih kabar yang lain aku baik-baik.” Klik. (h. 132)
Konteks tuturan: Laila yang sedang kencan dengan Sihar menelepon Tala untuk memberi kabar kepada teman-temannya.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas menganut maksim prnghargaan karena Laila berusaha menghilangkan kehawatiran temannya, karena ia sedang kencan dengan Sihar melalui telepon.
“Dia membelikan tiga buku yang kuminta di Singapura.”
“Dan kamu telah memberinya lima kaset CD, buku melatih intelegensia anak, buku ginekologi umum, dan tiga kali mengirimi makan siang ke kantornya: Pizza Hut, Hoka-Hoka Bento, Bakmi GM.”
“Gila! Kamu pelit banget. Semuanya dihitung.”
“Kamu terlalu baik. Aku takut kamu terlalu baik untuk orang macam dia.”
Tapi begitulah Laila, pada siapapun dia memberi. Dia sahabat terbaik yang pernah kudapat. Karena itu aku takut dia disakiti. Barangkali aku terlalu protektif? (h.134)
Konteks tuturan: Laila dan Tala sedang membcarakan apa asaja yang sudah Lalila berikan untuk Sihar, begitu sebaliknya selama mereka berkencan.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas menganut maksim kebijaksanaan karena Laila berusaha mengurangi kerugian pada Sihar yang telah memberinya tiga buku yang diinginkan Laila di Singapura. Begitu pun dengan Tala ia berusaha memuji sahabatnya karena sifat baiknya pada siapapun.
“Nama saya Shakuntala orang jawa tak punya nama keluarga.”
“Anda memiliki ayah, bukan?”
“Alangkah indahnya kalau tak punya.”
“Gunakan nama ayahmu,” kata wanita di loket itu.
“Dan mengapa aya harus memakainya?”
“Formulir ini harus diisi.”
Aku pun marah. “Nyonya, Anda beragama Kristen bukan? Saya tidak, tapi saya belajar dari sekolah Katolik: Yesus tidak mempunyai ayah. Kenapa orang harus memakai nama ayah?” (h. 140)
Konteks tuturanya: di sebuah loket pembuatan visa. Tala yang harus mengisi formulir pembuatan visa memilih tak jadi membuat visa karena harus menggunakan nama ayah dibelakang namannya.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas melanggar maksim simpati karena thala menunjukkan sikap antipatinya terhadap ayahnya sendiri dengan tidak menginginkan menyebutkan nama ayahnya dibelakang namanya. Tala pun tidak memberikan simpati yang baik pada petugas loket, dimana ia akan membuat visa.
“Laila, taman itu luas sekali. Di mana persisnya?”
“Katanya di dekat monument Colombus.”
“Dimana dia akan tinggal?”
“Belum tau nanti dia yang menghubungi.”
Aku menghela nafas. Kamu masih penasaran sama dia? Tanyaku separuh heran separuh kesal. “Ternyata iya,”  jawabnya dlam telepon. Setelah sekian lama sikapnya enggak jelas terhadap kamu? “Dia kan harus menjaga perasaan istrinya. Dia laki-laki sopan.”
“Jadi, apa sebetulnya kamu cari? Perkawinan bukan, seks bukan.”
“Aku Cuma pingin sama-sama dia.”
“Laila kamu kencan dengan dia di sini, kamu pasti akan begituan, lho! Kamu sudah siap?”
“Enggak, enggak tahu…”
“Dia pasti minta. Kamu mau gimana?”
“Aku cuma pingin sama-sama dia. Aku capek menahan diri.”
Aku menghela nafas lagi. “ Ya, sudah. Aku senang sekali kamu kesini.” (h. 148)
Konteks tuturan: perbincangan Laila dengan tala di telepon sebelum Laila berkunjung k Amerika dimana tala tinggal saat ini. Tala senang sekali karena sahabatnya akan datang k Amerika dimana ia tinggal. Namun disisi lain ia hawatir dengan Laila karena ia pergi ke Amerika bukan hanya ingin mengunjunginya saja, melainkan ingin berkencan dengan Sihar yang akan ditugaskan di Amerika oleh perusahaannya.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas menganut maksim kebijaksanaan karena Tala berusaha memastikan Laila tentang kedatangannya ke Amerika dan dimana ia akan bertemu dengan Sihar dengan tujuan memperkecil kerugian yang mungkin akan diterima oleh Laila.
“Laila saja ke sini untuk selingkuh. Masa kamu enggak?” Kataku.
“Enggak!” katanya ketus. Itu saja. (h. 150)
Konteks tuturan: Laila berbicara dengan sahabatnya yang bernama Yasmin. Ia menanyakan tujuan Yasmin ke Amerika selain menemuinya juga kedua sahabatnya yang lain yaitu, Cok dan Laila yang sedang mengunjunginya juga di Amerika.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas melanggar maksim penghargaan karena pertanyaan Tala pada Yasmin membuat Yasmin tidak nyaman yang ditunjukkan dengan ketusnya Yasmin ketika menjawab pertanyaan Tala.
“Kenapa kalian bengong begitu?” dengan jengkel aku bertanya. Ku tau keduanya terkejut karena Cok sudah bukan perawan.
Akhirnya Laila berkata ”Apa kubilang dulu. Musuh kita adalah laki-laki. Laki-laki merusak dia.”
Aku agak lega karena ia bukan mempermasahkan Cok. Namun aku tetep ngotot: “kenapa laki-laki? Pacarnya tidak meninggalkan dia, kok! Dia yang meninggalkan pacarnya, karena dipingit Papa dan Mama-nya.”
“Tapi percaya deh, cowok itu akan punya pacar baru di Jakarta. Untuk apa dia mengingat Cok setelah dia mendapatkan semuanya.” (h. 155)
Konteks tuturan: Tala sedang menceritakan Cok sahabatnya kepada sahabatnya yang lain yaitu Yasmin dan Laila.
Interpretasi tuturan: tuturan di atas melanggar maksim kesederhanaan karena tuturan Laila seolah-olah dialah yang paling benar.
B.   Temuan Kesantunan Berbahasa teori Leech dalam Novel Saman Karya Ayu Utami
No
Maksim Kesantunan Berbahasa
Menurut Leech
Jumlah Temuan
1
Maksim Kebijaksanaan
4
2
 Maksim Kedermawanan
3
3
 Maksim Penghargaan
4
4
 Maksim Kesederhanaan
0
5
 Maksim Kemufakatan
3
6
 Maksim Simpati
4
Jumlah
18
           
            No
Maksim yang Bertentangan dengan
Kesantunan Berbahasa Menurut Leech
Jumlah Temuan
1
Maksim Kebijaksanaan
1
2
Maksim Kedermawanan
1
3
Maksim Penghargaan
2
4
 Maksim Kesederhanaan
1
5
 Maksim Kemufakatan
4
6
 Maksim Simpati
1
JUMLAH
10
BAB V
PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa penerapan kesantunan berbahasa dalam novel Saman karya Ayu Utami, menjadi proritas di dalam novel ini. Karena dapat terlihat dari perbandingan antara jumlah maksim kesantunan yang ditemukan di dalam novel ini. Maksim kesantunan berbahasa menurut teori Leech yang terdapat di dalam novel Saman karya Ayu utami ini berjumlah 18 kesantunan berbahasa, yang terdiri dari enam maksim yang dikeluarkan oleh Leech, yang melanggar maksim kesantunan berbahasa menurut teori Leech yang terdapat di dalam novel Saman karya Ayu Utami ini berjumlah 10 kesantunan berbahasa, yang terdiri dari enam maksim yang dikeluarkan oleh Leech. Tidak selamanya kata-kata seks atau segala sesuatu yang berhubungan dengan seks itu menjadi kata-kata yang tidak sopan dalam prinsip maksim kesantunan berbahasa menurut Leech, karena apabila selama dalam percakapan dengan tidak ujar yang mungkin menggunakan bahasa “seks” namun tidak melanggar salah satu maksim kesantunan berbahasa yang di keluarkan oleh Leech maka tindak ujar tersebut masuk dalam kategori santun. Kategori kesantunan ini dilihat dari konteks penutur dengan lawan bicaranya bukan hanya dari segi bahasa yang penutur atau lawan tutur ujarkan, dengan kata lain maksim-maksim yang tergabung dalam prinsip kesantunan berbahasa menurut Leech lebih ditekankan pada efek perasaan antara pelaku dan pendengar tindak tutur. Bukan pada nilai kata-kata yang diucapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Danardana, Agus Sri. Anomali Bahasa. Jakarta: Palangan Press. 2011
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Edisi ke-3. 2003
Hariyono, Bahasa Indonesia SMP Kelas 9. Bogor: BP. 2008
Hindun. Pragmatik untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: UIN Jakarta. 2011
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2008
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2000
Nadar, F.X. Pragmatik dan penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2009
Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 2005
Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Cet. VI. 2007
Purwo, Bambang Kaswanti. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Kanisius.1990
Rahardi, Kunjana. Praghmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. 2005


[1] Rahardi, Kunjana. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. (Jakarta: Erlangga. 2005), h. 59
[2] Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia.(Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 997
[3] Gorys Keraf. Diksi dan Gaya Bahasa. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 114
[4] Hindun. Pragmatik untuk Perguruan Tinggi. (Jakarta: UIN Jakarta, 2011), h. 46
[5] Agus Sri Danardana. Anomali Bahasa. (Jakarta: Palangan Press, 2011), h.162
[6] Rahardi, Kunjana. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. (Jakarta: Erlangga. 2005). h. 59-60.
[7] Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Puataka, 2003), h. 788
[8] Burhan Nurgiantoro. Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), h. 16.
[9] Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjahmada University Press, Cet, VI, 2007), h. 23

[10] Hariyono, Bahasa Indonesia SMP Kelas 9, (Bogor: BP, 2008), h. 132
[11] Lexy J. Moleong “Metode PenelitianKualitatif”.(Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2000), h. 3