BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Bahasa
merupakan alat komunikas yang sangat penting dalam kehidupan manusia untuk
berkomunikasi, pada hakikatnya setiap manusia tidak dapat hidup sendiri,
bersosialisasi dengan manusia yang lain adalah sebuah keharusan dan sudah
menjadi fitrah bagi setiap manusia. Hadirnya fenomena ini maka akan muncul
sebuah pertanyaan, bagaimana seorang manusia hidup bersosialisasi dengan
manusia yang lain? Jawabnya adalah dengan melakukan tindak ujar. Ketika seseorang melakukan tindak
ujar yang baik dan benar, yakni tindak ujar yang tidak melukai lawan bicara.
Maka dari itu, dalam melakukan tindak ujar dengan lawan bicara, penting sekali
untuk memahami dan mempelajari bagaimana tindak ujar yang santun untuk
melakukan komunikasi dalam rangka bersosialisasi, semua ini akan dibahas dalam
ilmu pragmatik tentang kesantunan berbahasa.
Pragmatik
merupakan salah satu cabang ilmu tata bahasa yang berkaitan erat dengan tindak
ujar. Konteks dalam suatu tindak ujar ini memiliki peran yang sangat penting.
Konteks dalam suatu situasi yang berbeda akan memengaruhi makna sebuah tindak
ujar yang sama. Jadi, penggunaan sebuah bahasa dapat mempengaruhi maksud dan
tujuan dari tindak ujar yang disampaikan oleh pelaku tindak ujar.
Di
dalam ilmu pragmatik, bahasa diteliti tidak lepas dan harus sesuai dengan
konteks bahasa yang dimaksud. Bahasa dan konteks dalam pragmatik menjadi satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebuah karya sastra apabila telah sampai
kepada pembacanya maka sang penulis atau pengarang tidak memiliki hak atas
karyanya sendiri. Hak yang dimaksud dalam hal ini adalah, hak membela atau
menyatakan baik atau menutupi buruknya karya yang ia buat dari komentar
pembaca, baik itu komentar yang positif atau yang negatif. Hal ini pun terjadi
pada Ayu Utami dalam novelnya yang berjudul Saman telah mencuri
perhatian para kritikus dan dianggap memberikan warna baru dalam sastra Indonesia.
Selain mendapatkan komentar yang baik dari para pembacanya, novel ini juga
mendapatkan respon negatif dari sebagian pembacanya maupun dari beberapa
sastrawan yang lainnya.
Komentar
yang baik dan buruk yang mengiringi novel saman
telah menarik perhatian penulis untuk menjadikan novel ini sebagai subjek dalam
penelitian kecil yang penulis lakukan, yang berkaitan dengan ilmu pragmatik
mengenai kesantunan berbahasa. Dalam penelitian ini penulis tertarik menganalisis
unsur Pragmatik Kesantunan Berbahasa dalam Novel Saman Karya Ayu Utami.
B. Pembatasan
Masalah
Untuk
mempermudah dan menjelaskan permasalahan yang akan dibahas, maka dalam penelitian
ini penulis memfokuskan permasalahan pada penelitian pragmatik terkait
kesantunan berbahasa dalam tindak tutur percakapan antar tokoh di dalam novel Saman
karya Ayu Utami. Penelitian ini menggunakan “prinsip kesantunan yang sampai
saat ini dianggap paling lengkap, paling mapan, dan relatif paling komprehensip
yang dirumuskan oleh Leech. Rumusan itu selengkapnya tertuang dalam enam maksim
interpersonal”.[1]
C. Perumusan
Masalah
Berdasarkan
pembatasan masalah yang telah dibahas sebelumnya pada pembatasan masalah, serta
permasalahan pada latar belakang yang telah dibahas pula sebelumnya, maka
pertanyaan mendasar dalam penelitian ini adalah bagaimana penerapan kesantunan
berbahasa menurut teori Leech dalam tindak tutur percakapan antar tokoh di
dalam novel Saman karya Ayu Utami?
D. Tujuan
Penelitian
Dalam
Penelitian ini ada dua tujian yang ingin di capai diantaranya yaitu:
1. Menjelaskan
kesopanan berbahasa dalam novel Saman yang masuk dalam salah satu kategori kesopanan
berbahasa teori Lecch.
2. Menjelaskan
bahasa dalam novel Saman yang tidak masuk dalam kategori maksim kesantunan
berbahasa teori Lecch.
BAB II
KAJIAN TEORETIK
A. Pengertian
Kesantunan Berbahasa dalam Pragmatik
Kata
kesantunan yang memiliki kata dasar santun, dalam kamus besar bahasa
indonesia yang artinya adalah (1) halus dan baik (budi bahasanya, tingkah
lakunya); sabar dan tenang; sopan; (2) penuh rasa belas kasihan; suka menolong.[2] Jadi,
hakikat kesantunan berbahasa adalah hal yang paling mendasar yang dapat menjadi
sebuah prinsip dan strategi dalam hal kehalusan dalam berbahasa yang baik dan
benar. Prinsip kesopanan dan strategi dalam kesopanan berbahasa adalah
meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan orang lain.
Yang dimaksud dengan sopan-santun adalah memberi penghargaan atau menghormati
orang yang diajak bicara. Khususnya pendengar atau pembaca.[3]
Setiap
orang harus memiliki tatacara berbahasa sesuai dengan normanorma budaya, jika
tidak maka ia mendapat nilai negatif seperti: disebut sebagai orang yang
sombong, egois, angkuh bahkan tidak berbudaya. Oleh karena itu, terdapat
hal-hal yang harus diperhatikan terkalit kesantunan berbahasa. Hal-hal tersebut
adalah:
a.
Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan
keadaan tertentu.
b.
Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalm
situasi tertentu
c.
Kapan dan bagaimana giliran berbicara atau
menyela pembicaraan diterapkan
d.
Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika
berbicara
e.
Bagaimana sikap dan gerak-gerik ketika
berbicara
f.
Kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan.[4]
Dengan
demikian, setiap orang harus memiliki kemampuan akan membaca situasi dan kondisi.
Dengan ini, setiap orang akan lebih mudah menyesuaikan apa yang akan dia
katakana dengan tempat dimana ia berada.
Menurut
Danardana kesantunan berbahasa seseorang juga dapat dilihat pada sikapnya dalam
menghargai orang lain.[5]
Dengan
demikian menghargai orang lain menjadi hal yang sangat penting dalam
bersosialisasi antar manusia, karena tidak seorang pun manusia yang hidup dimuka
bumi ini dapat menjalani kehidupannya secara individu tanpa bantuan dari orang
lain.
B. Maksim
Kesantunan Berbahasa dalam Pragmatik
Maksim
kesantunan berbahasa menurut teori Lecch tertuang dalam enam maksim,
diantaranya sebagai berikut:
1.
Maksim Kebijaksanaan
Kurangi
kerugian orang lain, Tambahi keuntungan orang lain
2.
Maksim Kedermawanan
Kurangi keuntungan diri sendiri, Tambahi
Pengorbanan diri sendiri
3.
Maksim Penghargaan
Kurangi
cacian pada orang lain, Tambahi pujian pada orang lain
4.
Maksim Kesederhanaan
Kurangi pujian pada diri sendiri, Tambahi
cacian pada diri sendiri
5.
Maksim kemufakatan
Kurangi antara ketidaksesuaian antara
diri sendiri dengan orang lain, Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri
dengan orang lain
6.
Maksim Simpati
Kurangi antipasti antara diri sendiri
dengan orang lain, Perbesar antipasti antara diri sendiri dengan orang lain.[6]
Dasar
pemikiran dalam maksim kebijaksanaan adalah seseorang harus memiliki prinsip
mengurangi kerugian orang lain dan memberi keuntungan pada orang lain.
Contohnya adalah: jika seseorang telah membeli makanan dengan membawa uang yang
pas-pasan dengan harga makanan yang dibelinya namun di tengah jalan ia melihat
seorang anak jalanan tengah nangis karena kelaparan, lalu ia memberikan makanan
satu-satunya yang ia miliki untuk anak jalanan tersebut seraya berkata
”makanlah makanan ini, di rumah, saya masih memiliki makanan yang lain” yang
pada kenyataannya ia tidak memiliki makan yang dikatakan pada anak jalanan di
rumahnya itu.
Pada
maksim kedermawanan para peserta tutur diharapkan dapat menghormati orang lain,
hal ini akan terjadi apabila seseorang telah dapat mengurangi keuntungan
dirinya demi memaksimalkan keuntungan orang lain. Contohnya adalah disebuah
kosan A menawarkan jasa penitipan pada teman kosan yang lainnya: “siapa yang
mau nitip makanan? Saya mau ke luar cari makanan?” dari contoh tersebut si A
telah memaksimalkan keuntungan pada teman-temannya untuk membelikan pesanan
makanan untuk teman-temannya.
Dalam
maksim penghargaan para peserta tutur diharapkan untuk tidak mengejek satu sama
lain namun saling memberikan penghargaan satu sama lain. Contohnya adalah:
ketika seseorang mengucapkan trima kasih kepada lawan tuturnya tidak hanya
sekedar mengucapkan kata terima kasih, mamun menyebut namanya setelah
mengucapkan kata terima kasih tersebut sebagai penghargaan lebih untuk lawan
tuturnya seperti:
Maya: “trima
kasih, Shina”
Shina:
“sama-sama, Maya”
Untuk
maksim kesederhanaan, memiliki konsep kerendahan hati dengan cara mengurangi
pujian terhadap dirinya sendiri. Dituturkan seorang ketua terhadap wakilnya
yang masih junior pada saat mereka bersama-sama bekerja di kantor mereka.
Ketua: “sebelum rapat dimulai, nanti
kamu pimpin do‟a terlebih dahulu ya.”
Wakil: “siap
kakak, Tapi saya tidak sebagus kakak, lho.”
Maksim
kemufakatan memiliki pokok pikiran, para peserta tutur dapat saling menyelaraskan
kecocokan diantara satu dengan lainnya. Misalnya dengan cara mencari tahu hobi
dari lawan tuturnya untuk selanjutnya dijadikan topik obrolan diantara keduanya
agar terjalin kecocokan diantara keduanya dengan menunjukkan keingintahuan atau
memberi tau informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kesukaan lawan
bicaranya dari lawan bicaranya.
Maksim kesimpatian memiliki
tujuan agar peserta tuturnya dapat menjujung tinggi sikap simpati diantara
keduanya yaitu penutur dan lawan tuturnya. Misalnya seseorang akan turut
berduka apabila lawan tuturnya tengah dalam musibah dan seseorang akan turut
bahagia apabila lawan tuturnya sedang dalam keadaan senang dan gembira.
C.
Pengertian
Novel
Kata
novel dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: karangan prosa yang panjang mengangung
rangkaian cerita kehidupan sesorang dengan orang lain di sekelilingnya dengan
menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.[7]
Novel
pada umumnya terdiri dari beberapa bab, disetiap babnya memiliki alur cerita
yang berbeda-beda sehingga hubungan antar bab memiliki hubungan yang erat.
Apabila membaca sebuah novel hanya satu bab saja, maka tidak akan menghasilkan
keutuhan cerita dari novel tersebut, karena keutuhan sebuah cerita dalam sebuah
novel meliputi keseluruhan bab. ”suatu cerita yang bermain dalam dunia manusia
dan benda yang ada disekitar kita, tidak mendalam, tidak banyak melukiskan satu
saat dari kehidupan seseorang, dan lebih mengenai sesuatu episode”.[8]
Novel
dalam sejarah kemunculannya di Indonesia, telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia
sejak dahulu sebagai karangan fiksi yang mengandung daya imajinatif yang sangat
kreatif dari pengarangnya, baik dari unsur intrinsik maupun ekstrinsiknya. Novel dalam bentuk
penyajiannya mengungkapkan segala sesuatunya secara bebas dan sangat rinci dan
lebih banyak menghadirkan berbagai masalah yang lebih banyak dan lebih
kompleks, hal ini masuk dalam membangun unsur cerita yang terdapat dalam novel
tersebut.
Jadi,
novel dalam keberadaannya sangatlah dekat dengan masyarakat, dan bukan hal yang
baru bagi masyarakat Indonesia saat ini. Kekreatifan seorang pengarang akan
lebih terlihat dari cara ia menjelaskan segala sesuatunya secara rinci disetiap
cerita yang ia sampaikan dalam karyanya.
Dalam
novel terkandung beberapa unsur yang membangunnya, yaitu unsur instrinsik dan
unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah bagian pondasi penting dalam sebuah
karya sastra, yang dimana sekema cerita sebuah karya sastra dapat dilihat dari
unsur intrinsik tersebut. Burhan Nurgiantoro berpendapat bahwa “unsur intrinsik
adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah
yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang
secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra.”[9]
Adapun yang termasuk ke dalam unsur-unsur intrinsik yaitu: tema, penokohan, llur, latar, dan sudut pandang. Sedangkan unsur ekstrinsik merupakan latar belakang
dan sumber informasi bagi karya sastra dan tidak dapat diabaikan karena
mempunyai nilai dan pengaruh. Mnurut Haryono, unsur ekstrinsik sastra adalah
unsur yang membangun karya sastra yang berasal dari luar karya sastra itu,
meliputi keadaan lingkungan, sosial, atau budaya saat karya tersebut dibuat,
serta latar belakang pengarang.[10]
Dengan
demikian struktur ekstrinsik ini, merupakan unsur atau bagian yang secara
fungsional berhubungan dengan sebuah karya sastra satu sama lainnya. Bila
stuktur ekstrinsik dengan sebuah karya sastra itu tidak saling berhubungan maka
tidak dapat dikatakan struktur. Struktur itu sendiri harus dilihat dari satu
titik pandang tertentu. Struktur ekstrinsik dianggap sebagai bagian dari
struktur yang membangun cerita novel bila ia dianggap memberi pengaruh terhadap
keseluruhan struktur novel itu, terutama bila novel itu dianggap sebagai
pencerminan kehidupan atau interperensi tentang kehidupan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode
Penelitian
Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong mendefinisikan metode kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.[11]
Penelitian
kualitatif juga dapat dikatakan penelitian langsung, karena para peneliti langsung
melakukan penelitiannya terhadap objek yang menjadi sumber penelitiannya tanpa
melalui proses statistik atau bentuk hitungan lainnya. Sejalan dengan definisi
tersebut, objek penelitian penulis yaitu meneliti bahasa tulisan yang terdapat
dalam novel Saman karya Ayu Utami
dari bidang pragmatik kesantunan berbahasanya.
B. Teknik
Pengumpualan Data
Dalam
pengumpulan data, peneliti menganalisis/mencari percakapan dalam novel Saman Karya Ayu Utami yang mengandung
salah satu dari enam maksim yang digunakan, akan dideskripsikan yang kemudian
dianalisiskan sesuai dengan konteks latar belakang penuturannya dan
diinterpretasikan berdasarkan maksim-maksim kesantunan berbahasa menurut Leech.
BAB IV
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Analisis
Deskripsi Temuan Kesantunan Berbahasa Novel Saman Karya Ayu Utami
Di perjalanan
pulang dia bilang, sebaiknya kita tak usah berkencan lagi (saya tidak
menyangka). “saya sudah punya istri.”
Saya
menjawab, saya tak punya pacar, tetapi punya orang tua. “kamu tidak sendiri,
saya juga berdosa.”
Ia membalas,
bukan itu persoalannya. “orang yang sudah kawin, tidak bisa tidak begitu.”
Saya mengerti.
Meskipun masih perawan.(h.4)
Konteks
tuturan: tokoh Dia yang seorang suami dari seorang istri, sepulang dari kencan
dengan seorang wanita perawan dalam cerita ini adalah si Saya, berniat untuk
tidak lagi berkencan lagi karena si Dia tidak dapat memungkiri hasratnya
seorang laki-laki yang sudah beristri namun ia ingin menjga keperawanan teman
kencannya yang tidak lain dalam cerita ini adalah si Saya.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas menganut maksim kebijaksanaan karena tokoh Dia tidak ingin
memberikan kerugian pada tokoh si Saya dengan mendapatkan keperawanan dari nya,
bahkan tokoh Dia ingin menjaga si Saya dari kerugian yang akan diterimanya.
Kenapa kamu
tidak pernah menelpon lagi, katanya. Saya mencoba tetapi kehilangan jejak, saya
jawab. Saya maih disini, terdengar suaranya. Dan saya berdebar, entah kenapa,
barangkali karena ia sedang di Jakarta.
“Bisakah kita
ketemu?” saya berharap. “Makan siang?”
“Terus,
setelah makan siang?”
“Setelah
itu…barangkali hari sudah sedikit sore.”
“Bagaimana
kalau makan malam?”
“Istri ke
luar kota?”
“Dari mana
kau tahu? Kau telepon ke rumah, ya?”
“Sihar, k mu tidak pernah mengajak
makan malam sebelum ini…”
Ia terdiam.
Saya juga terdiam.
Lalu ia
bertanya, apakah kita juga bisa sarapan bersama esok harinya jika kita makan
berdua malam harinya. Saya menyaut, saya masih tinggal bersama orang tua.
Mereka akan bertanya-tanya jika saya tidak pulang. “meskipun kamu sudah dewasa
dan sering bepergian?” ujarnya. Saya mengiya. Di pesawat telepon terdengar ia
mengeluh. “Lagi pula, kamu masih perawan.” (h.5)
Konteks
tuturan: tokoh si Dia yang memiliki nama Sihar. Sihar sedang melakukan percakan
dengan si Saya yang mana adalah seorang wanita yang masih perawan melalui
pesawat telepon untuk mengajak kencan.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas melanggar maksim permufakatan. Karena tokoh Sihar berusaha
melakukan ketidaksesuaian pada dirinya sendiri terhadap orang lain yang tidak
lain adalah tokoh si Saya.
Malam itu
kami tidak jadi berkencan. Begitu terjadi berulangkali, lebih dari enam belas.
Sampai suatu kali dia bilang, jangan menelepon lagi. Lebih baik jangan. Kenapa,
kubertanya. Saya punya istri, jawabnya. Kubertanya, kenapa.
“Istriku sering menerima telepon yang
dimatikan begitu dia angkat.”
“Bukan aku,” saya berbohong. Tidak
sesering itu. Barangkali orang lain? “Tapi dia bilang itu firasat.”
“Nah, kini
kamu merasa berdosa. Padahal kita belum
berbuat
apa-apa.” (h.5-6)
Konteks
tuturan: masih sama seperti konteks sebelumnya yaitu, tokoh si Dia yang
memiliki nama Sihar. Sihar sedang melakukan percakan dengan si Saya yang mana
adalah seorang wanita yang masih perawan melalui pesawat telepon. Namun kali
ini ia tidak mengajak untuk berkencan namun membuat larangan kepada tokoh si
Saya untu tidak lagi menelpon tokoh Sihar.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas menganut maksim permufakatan, karena tokoh Sihar berusaha
mengurangi hubungannya yang tidak sesuai dengan orang lain yaitu pada tokoh si
Saya, dan ia neningkatkan kesuaian dirinya pada istrinya.
“Bagaimana,
Sihar? Lambat sekali pekerjaan ini,” tegur Rosano seolah tidak peduli kehadiran
tamu-tamunya di antara mereka.
“Alat ini
masih harus di cek, sebentar. Sepertinya kita juga belum bisa kerja, Pak.
Analisa mud logger, tekanan gas di bawah naik. Kita memank harus
menunggu dulu….Pak”, bukan dengan hormat, melainkan seperti mempermainkan
kesombongan Rosano yang agaknya senang jika orang-orang di sana memanggilnya begitu.
“Bukan tugas
kamu untuk memutuskan menunggu atau tidak. Saya akan cek dengan dia. Tim kamu
harus siap dalam dalam satu jam ini.” (h. 10)
Konteks
tuturan: percakan antara atasan dengan bawahan, dimana sang atasan merasa
paling pintar dan berkuasa tanpa mau mendengarkan bawahannya.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas melanggar maksim penghargaan karena kedua belah pihak antara
atasan dan bawahan tidak saling menghargai dan menghormati. Rosano sebagai
atasan merasa paling berkuasa dan merasa paling pintar sehingga menimbulkan
ketidaksenangan dalam diri seorang bawahannya.
“Saya ikut
sedih biarpun tidak sempat kenal dia.” Kasihan keluarganya. Apakah dia suami
yang setia?
Dia bukan
orang yang secara seksual setia pada istri, seperti enam puluh persen lelaki di
sini. Tetapi ia tidak pernah menyianyiakan keluarga. Istri dan anak-anaknya,
ayah-ibu dan mertua. “saya tidak tahu siapa yang menghidupi mereka setelah
ini.”
“Tapi ada
asuransi, kan?” Meskipun uang tak pernah bisa menggantikan manusia. (h. 20)
Konteks
tuturan: para penghuni kapal dikagetkan dengan apa suara dentuman besar akibat
ledakan yang bersumber dari bawah sumur akibat keegoisan antara atasan dan
bawahan sehingga menjatuhkan korban pada salah satu pekerja yang tidak lain
adalah sahabat dekat Sihar.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas menganut maksim simpati karena dalam hal ini sihar sebagai
sahabatnya sangat memikirkan keluarga korban. Terlebih lagi dengan Laila, ia
sama sekali tidak mengenal korban yang telah meninggal itu namun ia sangat menyesal
dengan kejadian ini yang mengakibatkan jatuh satu korban yang disebabkan oleh
keegoisan keduanya, yaitu antara atasan bersama Rosano dan bawahan bernama
Sihar.
Saya
bertanya-tanya pada Sihar dan Saman, apa yang sebetulnya terjadi. Betulkah
rosano sekejih itu, memperkosa dan membunuh? Dia memang menyebalkan, tapi
sungguhkah dia sekejam itu? Tapi, mereka Cuma menjawab, “kami juga tidak menyangka.
Tapi, kalau tidak begitu, dia tidak akan masuk penjara.”
Namun, sejak
mereka berbicara empat mata dulu dan meninggalkan saya direstoran, saya merasa
mereka bersekongkol. Kali ini saya juga merasa ada sesuatu yang mereka tutupi.
(h. 36)
Konteks
tuturan: Sihar, Saman dan Laila berkumpul membicarakan masalah yang dihadapi
keluarga korban atas kejadian di laut pada saat itu, dan menyusun sebuah
rencana agar keluarga korban mendapat keadilan dengan mengangkat kasus tersebut
ke meja hijau.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas melanggar maksim kedermawanan yang dilanggar karena, Sihar dan
Saman menambah atau melebih-lebihkan kesalahan Rosanao agar ia dapat
dijebloskan kedalam penjara.
Di boks
telepon itu, saya putar sambungan internasionl ke Jakarta, ke kantornya.
Delapan belas dering. Sembilan belas dering….
“Bisa bicara
dengan Sihar?”
“Dari mana
Bu?”
“Dari Amerika.”
“ Maaf,
sekarang jam empat pagi. Besok saja telepon lagi. Terima Kasih.” Dan telepon
ditutup. (h. 40)
Konteks
tuturan: Laila yang sedang berada di Amerika sedang menelpon Sihar ke kantornya
dengan tujuan ingin memastikan apakah Sihar jadi berangkat ke Amerika atau
tidak.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas melanggar maksim kebijaksanaan yang seorang petugas penerima
telepon tidak segera mengangkat telepon yang sudah bordering sampai sembilan
belas kali bordering.
“Saya memang
punya ikatan dengan tempat itu, Romo tahu,” akhirnya ia mengaku.
Lalu diam
sesaat.
Romo Daru: “Kamu hendak mencari yang
dulu hilang?” “Saya juga membawa kabar bahwa ibu telah meninggal.” “Kalau Cuma
untuk itu, kamu bisa pergi berlibur ke sana.”
Pria itu
menatap ke pucuk lengkung jendela.
Wisanggeni
tercenung, “Romo, kalu saya punya kepentingan pribadi, bukan berarti saya tidak
layak bekerja di sana, bukan”
“Jik Uskup
memutuskan lain, mintalah ijin cuti ke Prabumulih satu atau dua bulan.” (h. 44)
Konteks
tuturan: Wisanggeni yang baru saja diangkat menjadi seorang Pater dalam sebuah
acara Misa di Gereja. Ia berusaha maminta pada seorang Romo yang Ia kenal untuk
ditugaskan di sebebuah daerah dimana ia dulu tinggal semasa kecilnya. Daerah
itu bernama Prabumulih.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas menganut maksim Simpati karena sang Romo sangat simpati
terhadap masa lalu wisanggeni dimasa kecilnya. Dia tidak memiliki wewenag akan
penempatan kerja seseorang yang telah menjadi Pater, namun ia berusaha memberi
solusi pada Wisanggeni.
9) “Kami
sedang menunggu anak pertama,” terdengar
suara ichwan,
riang, optimis. Wis terkesip:
“jangan
dilahirkan di sini!”
“Tentu saja.”
“Lho,
kenapa?” (ia merasa tolol dengan pertanyaannya sendiri.)
“Kantor mau
membiayai. Kenapa tidak di Pondok Indah?” Ichwan masih riang. “Biar Yayang
dekat dengan orang tuanya.”
Wis lega. (h.
62)
Konteks
tuturan: Wisanggeni sedang bertamu di sebuah rumah yang dulu penah ia tinggali
semasa kecilnya. Rumah itu kini di tinggali oleh keluarga Ichwan.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas menganut maksim penghargaan karena Wis tidak ini member
kecemasan pada keluarga Ichwan dengan menceritakan kejadian yang pernah ia
alami dulu bersama keluarganya mengenai adiknya yang sedang didalam kandungan
ibunya tibatiba menghilang tanta jejak.
“Siapa
dia?”
“Anak
transmigrasi Sei Kumbang. Dulu biasa main kesini. Anak begini….” Rogam
menyilangkan telunjuk di dahinya.
Wis
menatap gadis itu dengan gelisah. Rogam melanjutkan ceritanya. Tidak ada yang
tau namanya. Orang-orangmenyapa dia sesuka hati: Eti, Ance, Yanti, Meri, Susi,
apapun. Dia kan menoleh seperti seekor anjing yang kesepian yang dipanggil
dengan sembarang nama berakhiran “I”: Pleki, Boni, Dogi. Gadis itu dikenal di
kota ini karena satu hal. Dia biasa berkeliaran di jalan-jalan dan menggosok-gosokan
selangkangannya pada benda-benda — tonggak, pagar, sudut tembok—seperti
binatang yang merancap. (h. 69-70)
Konteks
tuturan: Wis baru melihat seorang gadis di Prabumulih yang menarik perhatiannya
karena memprihatinkan pada seorang warga yang bernama Rogam.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas melanggar maksim penghargaan karena Rogam telah menceritakan
seorang gadis dengan sebutan yang menghina.
“Stop! Stop!
Apa yang kalian lakukan!” wis berlari menghampiri dua pemuda yang baru menarik
anak kunci dari gemboknya.
“Kami
terpaksa, Bang. Adik kami ini gila. Dia Kesetanan.”
“Kalian tidak
bisa memasungnya begitu…..”
“Lepaskan!
Dia Cuma anak perempuan!” Wis mengguncang bahu salah satu lelaki itu.
Tapi ibunya
menghampiri Wis. “Pak” panggilnya dengan hormat, seperti orang desa yang
merendahkan diri terhadap pendatang yang dari kota. “Kami bukan tidak sayang
padanya. Kami ini tidak tahu cara lain.”Suara itu lemah dan Wis melongo. Tak
terlihat kebengisan di wajah wanita empat puluh itu. Ia memandang putrinya yang
dikerangkeng dengan tatapan kosong. (h. 72)
Konteks
tuturan: Wis mencoba mencegah perlakuan seorang manusia melakukan hal yang
menyiksa, terhadap manusia yang lain, terlebih orang itu adalah keluarganya.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas menganut dua maksim, yitu maksim simpati dan tuturan ini juga
melanggar maksim permufakan karena, Wis sangat simpati melihat gadis tersebut,
tak perduli dengan rasa antipasti dirinya terhadap orang lain yang ia baru kenal.
Namun tidak pada kedua kaka si gadis beserta keluarganya yang tidak
memperlakukan adiknya selayaknya manusia.
Tapi sanggupkah
aku melindungi mereka dalam situasi begini? Apa artinya seorang lelaki?
“Semua sudah
di sini Ibu-Ibu?” Ia mencoba mengendalikan diri.
Mereka
mengiya. Lalu Wis meminta wanita-wanita itu bersalawat. “Berdoalah yang
lantang, selantang mungkin. Insyaallah, doa kita meredkan kemarahan
orang-orang.” Semoga Tuhan melembutkan hati orang-orang yang mungkin akan
mengepung. (h. 102)
Konteks
tuturan: Suasana malam dalam keadaan genting. Semua warga khususnya perempuan
dan anak-anak berkumpul dalam satu tempat di sebuah surau kampung mereka. Hanya
ada Wis yang menjaga dari pihak laki-laki.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas menganut maksim permufakatan karena Wis berusaha menyesuaikan
dirinya dalam situasi setempat. Sebagai lakilaki yang dapat melindungi seorang
wanita. Dan berusaha menenangkan suasana dengan mengajak berdoa dan bersalawat
sesuai dengan agama yang dianut oleh banyak warga setempat, meskipun ia adalah
seorang pater beragama Katolik.
“Jangan
sampai tertangkap, Anson. Aku akan mencarimu begitu aku keluar.” Meskipun ia
tidak tahu apa yang akan dia lakukan kelak; apa yang akan terjadi pada
Anson-juga orang-orang yang ditahan, ibu-ibu— selama ia hanya berbaring di
rumah sakit.
“Abang pasti
cepat sembuh. Tuhan menyelamatkan Abang berkali-kali,” pemuda itu memegang
lengannya sebelum pergi. (h. 114)
Konteks
tuturan: Anson yang sedang menjenguk Wis yang sedang dirawat di rumah sakit.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas menganut maksim penghargaan karena Wis berusaha mengurangi
kegelisahan pada diri Anson. Begitupun Anson yang menghibur Wis agar cepat
sembuh dengan memberi kepercayaan pada diri Wis karena Tuhan lagi-lagi menolongnya.
“Apa komentar
mu Wis?”
“Kenapa baru
sekarang surat itu datang? Setelah kebakaran? Kenapa tidak sejak serangan
pertama saya dituduh?” ujarnya lirih. (h. 115)
Konteks
tuturan: Wis yang sedang dirumah sakit, sedang dijenguk oleh teman sesame pater
dari gereja. Pater tersebut menceritakan berita yang kini tersebar mengenai
kejadian pembakaran pabrik juga kampung di Prabumulih.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas menganut maksim kedermawanan karena Wis menambah beban dirinya
demi warga Prabumulih.
Ia
berpikir-pikir sejenak, lalu bertanya: “apa jawaban Pater waktu itu?”
“Saya tidak
tau kamu dimana. Sebab saya tidak tahu.”
“Apakah
sekarang mereka sudah diberitahu?” Pater Westanberg menggeleng. “Saya kira apa
yang terjadi pada kamu sungguh tidak wajar. Lagi pula, kamu masih sakit. Saya
belum memberitahu siapapun. Suster-suster juga tutup mulut.”
“Menurut
Pater, kelihatannya mereka sudah tahu saya selamat, atau justru hendak
konfirmasi secara tidak langsung bahwa saya hilang, mati terbakar di bunker
pabrik? Sebab malam itu saya tak melihat orang tahu saya kabur.” Bahkan aku sendiri
tak mengerti bagaimana aku bisa keluar.
Pater
Westenberg masih menggeleng. “Tapi, mereka sopan dan tidak memaksa memeriksa
kamarmu.”
“Apa bapa
Uskup sudah dengar?”
“Ya, Bapa
Uskup sudah dengar. Beliau membuat tim khusus untuk meneliti perkara ini.”
“Apa
kira-kira kemungkinanya Pater?”
Pater
Westenberg menghela nafas, seperti berat ia menjawab: “Jika tim yakin kamu
memang tidak bersalah, kamu harus memenuhi panggilan polisi. Jika kamu merasa
bersalah, saya kira kamu harus mengundurkan diri dari tugas Pastoral. Selanjutnya
menjadi tanggung jawabmu sendiri untuk menyerahkan diri atau tidak.”
“ Itu tidak
adil, Pater. Kedua-duanya adalah hukuman buat saya-“ Tapi lehernya mengejang
sebelum ia selesai bicara dalam suaranya yang tegang. Kini, sedikit emosi saja
membuat tubuhnya mengejut.
Rekan
seniornya segera mengelus kepalanya, tertegun melihat keadaan pemuda itu.
“Jangan terlalu tegang, Nak. Akan saya pikirkan sesuatu untukmu. Tapi kamu,
atau kita, tak bisa terlalu berharap pada hirarki. Gereja sendiri dalam posisi terjepit.
Tuduhn kita disusupi komunis menimbulkan ketakutan umat. Tuduhan melakukan
kristenisasi membuat kita dibenci.” Dan pada dirimu ada semua sangkaan itu. (h.
115-116)
Konteks
tuturan: sama seperti konteks yang sebelumnya, dimana Wis yang sedang terbaring
dirumah sakit. Ia sedang dijenguk oleh rekan sesame Pater dari gereja.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas manganut maksim simpati karena Pater Westenberg begitu simpati
melihat keadaan yang sedang menimpa rekannya. Ia pun bersedia untuk membantu
mencari solusi yang terbaik untuk Wis dan Gereja.
“Dia Mati.
Dia Mati.”
“Jadi Sihar
tidak datang?”
“Dia dibunuh.
Aku takut dia Dibunuh.”
“Apa?”
“Kamu sudah
pastikan beritnya?”
Ia
menggeleng. “orang dikantornya tidak mau cerita. Mungkin mereka khawatir untuk menyampaikan
kabar begitu. Lagi pula, masih terlalu pagi di sana….”
“Tala,” ia
memanggil aku lagi, “Tolong aku dong! Tolong teleponkan rumahnya, ke Jakarta,
ada kabar apa…” (h. 119-120)
Konteks
tuturan: Laila yang sedang khawatir mencari kabar dari Sihar. Lailapun meminta
tolong pada Tala untuk mencri tahu kabar Sihar.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas manganut maksim kedermawanan karena Laila sangat menghawatirkan
keberadaan Sihar, jadi bagaimanapun caranya ia kan berkorban untuk
mendapatkannya.
“Sihar tidak mati,” kataku agak
kecewa. Ya, aku kecewa. Laila menatapku, lega dan berharap.
Aku
melanjutkan: “Dia ada di hotel Days Inn. 57th Street,
West.” “Sama Istrinya.” (h. 121)
Konteks
tuturan: Tala yang diminta tolong oleh Laila untuk menelepon ke rumah Sihar,
telah dilaksanakan. Tala pun mendapatkan informasi yang jelas mengenai Sihar.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas menganut maksim kedermawanan karena Tala yang sebenarnya sangat
membenci Sihar, Laki-laki yang menurutnya hanya mempermainkan perasaan
sahabatnya yaitu, Laila. Tetap saja Ia membantu Laila untuk mencari informasi
mengenai Sihar. Dia meredam kebenciannya dan berkorban demi sahabatnya Laila.
“ Kenapa sih
Istrinya harus ikut-ikutan terus, “ ia seperti menahan guruh dalam dadanya.
“Aku
menghiburnya: “wajar saja. Ini kesempatan berlibur berdua ke Amerika dengan
beli satu tiket.”
Ia menghela
nafas: “Betul juga, sih.”
“Seharusnya
ia member kabar. Kamu kan sudah kasihkan alamatku. Apa susahnya menelepon?”
“Mm. iya
sih…Tapi bagaimana mau telepon kalau istrinya di samping terus?”
“istrinya
juga kalau berak juga minta ditunggui, ya?” “Mungkin beraknya cepat.”
“Untung
sekali dia, ya. Aku harus nongkrong sepuluh menit sampai taiku keluar. Padahal
aku sudah makan sayur dan buahbuahan. Tapi, seharusnya Sihar bisa pura-pura
menelepon ke sini.”
Tapi nomor
kamu akan tercatat direkening hotel. Dari angkanya saja istrinya bakal tahu
kalau itu telepon local, bukan ke Odessa. Kalau dia cek ke sini gimana?”
“Telepon dari
luar, dong! Orang biasa begitu, karena telephon umum selalu lebih murah
daripada telepon hotel. Masa begitu saja tidak punya akal? Dia itu bodoh apa
tidak serius!” (h. 124-125)
Konteks
tuturan: perdebatan antara Laila dan Tala mengenai keberadaan Sihar dengan
Istrinya yang juga berada di Amerika. Tala yang yang selalu tidak ingin
menambah alasan untuk Laila memaafkan Sihar terlalu cepat. Namun Laila selalu saja berpihak pada Sihar.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas melanggar maksim permufakatan karena Laila tidak dapat
menempatkan dirinya sebagai orang yang datang belakangan dalam hidup Sihar.
19) “Kamu
yakin yang menerima teleponmu tadi bukan istrinya?”
“Laki-laki,
kok!” Aku pasti, tapi kemudian tak pasti. Kecuali kalau istrinya juga bisa
mengubahubah suara kayak aku.” “Tapi, kenapa dia harus berbohong?”
“Siapa tahu
istrinya tahu rencana kami.”
“Terus?”
“Terus… dia mencoba
mengagalkan. Atau, cuma mau menjebak.”
“Untuk apa?
Lagi pula, kalau begitu, kalau istrinya tidak di sini, malah tidak ada alasan
Sihar untuk tidak menelepon kamu.”
Laila
termanyun. “Betul juga y… Kenapa sih dia takut sekali? Aku tidak akan mengganggu
istrinya. Aku cuma ingin bertemu dia. Aku tidak akan menganggu keluarganya…”
Aku pun
termangu.
“Atau,”
kataku menghiburnya, “mungkin dia justru tak mau merugikan kamu.”
Kamu masih
perwan. (h. 126)
Konteks
tuturan: Tala dan Laila yang masih membicarakan Sihar dengan istrinya. Laila
berusaha meminta kepastian pada Tala bahwa yang mengangkat teleponnya benar
seorang pria, ketika Tala berusaha menolong Laila mencari tahu keberadaan
sihar.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas menganut maksim permufakatan karena Laila dalam perbincangannya
kali ini bersama Tala berusaha mengurangi dan menyadari ketidaksesuaiannya
dalam kehidupan Sihar dan keluarganya.
“Kaya apa sih
rasanya waktu pertama kali?”
“Engga ada
rasanya.”
“Engga
sakit?”
“Aku enggak.”
“kok bisa
engga sakit?”
“Enggak tahu.
Mungkin karena aku tak pernah punya trauma.”
“Trauma apa?”
“Vaginismus.”
Aku pernah dengar seorang perempuan yang tidak bisa berhubungan seks. Vaginanya
selalu menutup setiap kali ada penis di ambangnya baru permisi. Dia trauma pada
seksualitasnya hingga ke bawah sadar. Dia di satu ekstrim, aku di ekstrim
lain.”
Laila tertawa
keras-keras. “Wah, bagaimana kalau ternyata aku juga trauma, ya?”
Aku tertawa
juga. “Bayangkn kalau dia sudah susah payah curi-curi kesempatan lepas dari
istrinya untuk kencan dengan kamu. Terus, kamu juga sudah kepingin. Tapi ternyata
tidak bisa tembus.” (h. 128)
Konteks
tuturan: Laila yang sedang menanyakan pengalaman yang pernah dirasakan Tala,
namun belum pernah dirasakan Laila. Ia bertanya karena tersimpan kehawatiran
dalam dirinya mengenai berhubungan seksual.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas menganut maksim penghargaan karena Tala berusaha berbagi
pengalaman dengan Laila dan berusaha menghilangkan kehawatiran yang sedang
dihadapi Laila.
Tapi temanku
malah berhenti tertawa.
“Kamu yakin
dia di sini dengan istrinya?”
Aku berhenti
tertawa tertawa juga.
“Kamu yakin
akan begituan kalau betulbetul ketemu Sihar?”
Ia
menggeleng. “Enggak tahu, deh. Menurutmu bagaimana?”
“Menurutku
jangan.”
“Kenapa?”
“Lebih baik
jangan.” (h. 130)
Konteks
tuturan: Laila dengan Tala yang masih membicarakan mengenai Laila, Sihar dan
istri Sihar. Membicarakan bagaimana jika Laila benar dapat bertemu dengan Sihar
yang sudah beristri itu.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas menganut maksim kebijaksanaan karena Tala berusaha
menghilangkan kerugian yang pasti dirasakan Laila apabola dia benar-benar
melakukan hal yang tidak seharusnya Laila lakuakan bersama suami orang, Karen
dia masih perawan.
“Tala?”
suaranya masih lirih.
“Laila! Hai…
Sudah?”
“Sudah apa?”
“Begitu…”
“Enggak.
Engga sampai beneran.”
“Tapi
sampai?”
“Dia sampai.”
“Kamu?”
“Enggak tahu…
Kasih kabar yang lain aku baik-baik.” Klik. (h. 132)
Konteks
tuturan: Laila yang sedang kencan dengan Sihar menelepon Tala untuk memberi
kabar kepada teman-temannya.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas menganut maksim prnghargaan karena Laila berusaha menghilangkan
kehawatiran temannya, karena ia sedang kencan dengan Sihar melalui telepon.
“Dia
membelikan tiga buku yang kuminta di Singapura.”
“Dan kamu
telah memberinya lima kaset CD, buku melatih intelegensia anak, buku ginekologi
umum, dan tiga kali mengirimi makan siang ke kantornya: Pizza Hut, Hoka-Hoka Bento,
Bakmi GM.”
“Gila! Kamu
pelit banget. Semuanya dihitung.”
“Kamu terlalu
baik. Aku takut kamu terlalu baik untuk orang macam dia.”
Tapi
begitulah Laila, pada siapapun dia memberi. Dia sahabat terbaik yang pernah
kudapat. Karena itu aku takut dia disakiti. Barangkali aku terlalu protektif?
(h.134)
Konteks
tuturan: Laila dan Tala sedang membcarakan apa asaja yang sudah Lalila berikan
untuk Sihar, begitu sebaliknya selama mereka berkencan.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas menganut maksim kebijaksanaan karena Laila berusaha mengurangi
kerugian pada Sihar yang telah memberinya tiga buku yang diinginkan Laila di
Singapura. Begitu pun dengan Tala ia berusaha memuji sahabatnya karena sifat
baiknya pada siapapun.
“Nama saya
Shakuntala orang jawa tak punya nama keluarga.”
“Anda
memiliki ayah, bukan?”
“Alangkah
indahnya kalau tak punya.”
“Gunakan nama
ayahmu,” kata wanita di loket itu.
“Dan mengapa
aya harus memakainya?”
“Formulir ini
harus diisi.”
Aku pun
marah. “Nyonya, Anda beragama Kristen bukan? Saya tidak, tapi saya belajar dari
sekolah Katolik: Yesus tidak mempunyai ayah. Kenapa orang harus memakai nama
ayah?” (h. 140)
Konteks
tuturanya: di sebuah loket pembuatan visa. Tala yang harus mengisi formulir
pembuatan visa memilih tak jadi membuat visa karena harus menggunakan nama ayah
dibelakang namannya.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas melanggar maksim simpati karena thala menunjukkan sikap
antipatinya terhadap ayahnya sendiri dengan tidak menginginkan menyebutkan nama
ayahnya dibelakang namanya. Tala pun tidak memberikan simpati yang baik pada
petugas loket, dimana ia akan membuat visa.
“Laila, taman
itu luas sekali. Di mana persisnya?”
“Katanya di
dekat monument Colombus.”
“Dimana dia
akan tinggal?”
“Belum tau
nanti dia yang menghubungi.”
Aku menghela
nafas. Kamu masih penasaran sama dia? Tanyaku separuh heran separuh kesal.
“Ternyata iya,” jawabnya dlam telepon.
Setelah sekian lama sikapnya enggak jelas terhadap kamu? “Dia kan harus menjaga
perasaan istrinya. Dia laki-laki sopan.”
“Jadi, apa
sebetulnya kamu cari? Perkawinan bukan, seks bukan.”
“Aku Cuma
pingin sama-sama dia.”
“Laila kamu
kencan dengan dia di sini, kamu pasti akan begituan, lho! Kamu sudah siap?”
“Enggak,
enggak tahu…”
“Dia pasti
minta. Kamu mau gimana?”
“Aku cuma
pingin sama-sama dia. Aku capek menahan diri.”
Aku menghela
nafas lagi. “ Ya, sudah. Aku senang sekali kamu kesini.” (h. 148)
Konteks
tuturan: perbincangan Laila dengan tala di telepon sebelum Laila berkunjung k
Amerika dimana tala tinggal saat ini. Tala senang sekali karena sahabatnya akan
datang k Amerika dimana ia tinggal. Namun disisi lain ia hawatir dengan Laila
karena ia pergi ke Amerika bukan hanya ingin mengunjunginya saja, melainkan
ingin berkencan dengan Sihar yang akan ditugaskan di Amerika oleh perusahaannya.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas menganut maksim kebijaksanaan karena Tala berusaha memastikan
Laila tentang kedatangannya ke Amerika dan dimana ia akan bertemu dengan Sihar
dengan tujuan memperkecil kerugian yang mungkin akan diterima oleh Laila.
“Laila
saja ke sini untuk selingkuh. Masa kamu enggak?” Kataku.
“Enggak!”
katanya ketus. Itu saja. (h. 150)
Konteks
tuturan: Laila berbicara dengan sahabatnya yang bernama Yasmin. Ia menanyakan
tujuan Yasmin ke Amerika selain menemuinya juga kedua sahabatnya yang lain
yaitu, Cok dan Laila yang sedang mengunjunginya juga di Amerika.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas melanggar maksim penghargaan karena pertanyaan Tala pada Yasmin
membuat Yasmin tidak nyaman yang ditunjukkan dengan ketusnya Yasmin ketika
menjawab pertanyaan Tala.
“Kenapa
kalian bengong begitu?” dengan jengkel aku bertanya. Ku tau keduanya terkejut
karena Cok sudah bukan perawan.
Akhirnya
Laila berkata ”Apa kubilang dulu. Musuh kita adalah laki-laki. Laki-laki
merusak dia.”
Aku agak lega
karena ia bukan mempermasahkan Cok. Namun aku tetep ngotot: “kenapa laki-laki?
Pacarnya tidak meninggalkan dia, kok! Dia yang meninggalkan pacarnya, karena dipingit
Papa dan Mama-nya.”
“Tapi percaya
deh, cowok itu akan punya pacar baru di Jakarta. Untuk apa dia mengingat Cok
setelah dia mendapatkan semuanya.” (h. 155)
Konteks
tuturan: Tala sedang menceritakan Cok sahabatnya kepada sahabatnya yang lain
yaitu Yasmin dan Laila.
Interpretasi tuturan:
tuturan di atas melanggar maksim kesederhanaan karena tuturan Laila seolah-olah
dialah yang paling benar.
B. Temuan
Kesantunan Berbahasa teori Leech dalam Novel Saman Karya Ayu Utami
No
|
Maksim Kesantunan Berbahasa
Menurut Leech
|
Jumlah Temuan
|
1
|
Maksim
Kebijaksanaan
|
4
|
2
|
Maksim Kedermawanan
|
3
|
3
|
Maksim Penghargaan
|
4
|
4
|
Maksim Kesederhanaan
|
0
|
5
|
Maksim Kemufakatan
|
3
|
6
|
Maksim Simpati
|
4
|
Jumlah
|
18
|
No
|
Maksim yang Bertentangan dengan
Kesantunan Berbahasa Menurut Leech
|
Jumlah Temuan
|
1
|
Maksim
Kebijaksanaan
|
1
|
2
|
Maksim
Kedermawanan
|
1
|
3
|
Maksim
Penghargaan
|
2
|
4
|
Maksim Kesederhanaan
|
1
|
5
|
Maksim Kemufakatan
|
4
|
6
|
Maksim Simpati
|
1
|
JUMLAH
|
10
|
BAB V
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dalam penelitian
ini, dapat disimpulkan bahwa penerapan kesantunan berbahasa dalam novel Saman
karya Ayu Utami, menjadi proritas di dalam novel ini. Karena dapat terlihat
dari perbandingan antara jumlah maksim kesantunan yang ditemukan di dalam novel
ini. Maksim kesantunan berbahasa menurut teori Leech yang terdapat di dalam
novel Saman karya Ayu utami ini berjumlah 18 kesantunan berbahasa, yang
terdiri dari enam maksim yang dikeluarkan oleh Leech, yang melanggar maksim
kesantunan berbahasa menurut teori Leech yang terdapat di dalam novel Saman karya
Ayu Utami ini berjumlah 10 kesantunan berbahasa, yang terdiri dari enam maksim
yang dikeluarkan oleh Leech. Tidak selamanya kata-kata seks atau segala sesuatu
yang berhubungan dengan seks itu menjadi kata-kata yang tidak sopan dalam
prinsip maksim kesantunan berbahasa menurut Leech, karena apabila selama dalam percakapan
dengan tidak ujar yang mungkin menggunakan bahasa “seks” namun tidak melanggar
salah satu maksim kesantunan berbahasa yang di keluarkan oleh Leech maka tindak
ujar tersebut masuk dalam kategori santun. Kategori kesantunan ini dilihat dari
konteks penutur dengan lawan bicaranya bukan hanya dari segi bahasa yang
penutur atau lawan tutur ujarkan, dengan kata lain maksim-maksim yang tergabung
dalam prinsip kesantunan berbahasa menurut Leech lebih ditekankan pada efek
perasaan antara pelaku dan pendengar tindak tutur. Bukan pada nilai kata-kata
yang diucapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Danardana,
Agus Sri. Anomali Bahasa. Jakarta: Palangan Press. 2011
Departemen
Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. Edisi ke-3. 2003
Hariyono,
Bahasa Indonesia SMP Kelas 9. Bogor: BP. 2008
Hindun.
Pragmatik untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: UIN Jakarta. 2011
Keraf,
Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2008
Moleong,
Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
2000
Nadar,
F.X. Pragmatik dan penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2009
Nurgiantoro,
Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
2005
Nurgiantoro,
Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Cet. VI. 2007
Purwo,
Bambang Kaswanti. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta:
Kanisius.1990
Rahardi,
Kunjana. Praghmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta:
Erlangga. 2005
[1] Rahardi,
Kunjana. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. (Jakarta:
Erlangga. 2005), h. 59
[2]
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia.(Jakarta:
Balai Pustaka, 2003), h. 997
[3]
Gorys Keraf. Diksi dan Gaya Bahasa. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2008), h. 114
[4] Hindun. Pragmatik
untuk Perguruan Tinggi. (Jakarta: UIN Jakarta, 2011), h. 46
[5]
Agus Sri Danardana. Anomali Bahasa. (Jakarta: Palangan Press, 2011),
h.162
[6]
Rahardi, Kunjana. Pragmatik Kesantunan
Imperatif Bahasa Indonesia. (Jakarta: Erlangga. 2005). h. 59-60.
[7] Departemen
Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Puataka, 2003), h. 788
[8] Burhan
Nurgiantoro. Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2005), h. 16.
[9] Burhan Nurgiantoro, Teori
Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjahmada University Press, Cet, VI, 2007),
h. 23
[11]
Lexy J. Moleong “Metode PenelitianKualitatif”.(Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 2000), h. 3