PEMBAHASAN
A.
Teori
Kognitif Sosial
Social Cognitive Theory (teori kognitif sosial)
adalah teori yang menambahkan faktor-faktor kognitif, seperti keyakinan,
persepsi diri, dan ekspektasi pada teori pembelajaran sosial. Sedangkan
determinisme resiprokal adalah penjelasan tentang prilaku yang menekankan
efek-efek mualistis antara individu dan lingkungan.
Dalam teori kognitif sosial, faktor-faktor internal
maupun eksternal dianggap penting. Peristiwa di lingkungan, faktor-faktor
personal, dan prilaku dilihat saling berinteraksi dalam proses belajar.
Faktor-faktor personal (keyakinan, ekspektasi, sikap, dan pengetahuan),
lingkungan fisik dan sosial (sumber daya, konsekuensi tindakan orang lain dan
setting fisik) semuanya saling memengaruhi dan dipengaruhi. Banduran
menyebutkan interaksi kekuatan-kekuatan ini Reciprocal determinism
(determinisme resiprokal). Faktor-faktor sosial seperti model/panutan, strategi
instruksional, atau umpan balik (elemen-elemen lingkungan untuk siswa) dapat
mempengaruhi faktor-faktor personal siswa, seperti tujuan, sense of efficacy
untuk suatu tugas, atribusi (keyakinan tentang penyebab kesuksean dan kegagalan
dan proses-proses regulasi diri, seperti merencanakan, memonitor/memantau dan
mengontrol distraksi. Sebagai contoh umpan balik guru dapat membuat siswa
menetapkan tujuan yang lebih tinggi. Pengaruh sosial dilingkungan dan
faktor-faktor personal mendorong prilaku yang menghasilkan pencapaian seperti
persistensi dan usaha motivasi dan pembelajaran. Akan tetapi, prilaku-prilaku
ini juga berdampak secara resiprokal pada faktor-faktor personal. Sebagai
contoh, bila siswa mencapai sesuatu, keyakinan diri dan minatnya meningkat, prilaku
juga mempengaruhi lingkungan sosial. Sebagai contoh: bila siswa tidak bertahan
dan bila mereka tampak keliru memahami, guru dapat mengubah strategi
instruksional atau umpan balik. Efiksasi diri dan self regulated learning
adalah dua elemen kunci teori kognitif sosial yang sangat penting dalam
pembelajaran dan pengajaran. Efiksasi yang lebih besar akan menimbulkan usaha
yang lebih besar dan persistensi ketika dihadapkan pada setbacks (kemunduran)
1.
Pengaruh
Resiprokal
Ketiga
kekuatan personal, sosial/lingkungan, dan prilaku berinteraksi secara konstan
saling mempengaruhi dan dipengaruhi.
Bila
faktor-faktor personal, prilaku dan lingkungan saling berinteraksi secara
konstan, maka berbagai siklus kejadian bersifat progresif dan self perpetuating
(mengekalkan diri). Seperti contoh: seorang siswa baru disekolah terlambat
masuk kelas karena tersesat dalam gedung yang masih asing baginya. Siswa itu
memiliki tato dan tindikan di beberapa bagian tubuhnya. Siswa itu sebenarnya
cemas menghadapi hari pertamanya dan berharap bisa lebih berhasil disekolah
barunya, tetapi reaksi pertama guru pada keterlambatan dan penampilan
dramatisnya sedikit bermusuhan. Siswa itu merasa terhina dan memberikan respons
senada, sehingga guru mulai membentuk ekspektasi tentang siswa itu dan
bertindak lebih waspada dan kurang mempercayainya. Siswa merasakan
ketidakpercayaan itu. Dan memutuskan bahwa sekolah ini sama tidak bergunanya
dengan sekolah sebelumnya dan berpikir mengapa harus menunjukan prilaku yang
lebih baik. Rangkaian tindakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan pencapaian
tertentu.
Efiikasi diri adalah keyakinan kita tentang
kompetensi atau efektivitas pribadi kita dibidang tertentu. Bandura menjelaskan
efikasi diri sebagai keyakinan seseorang akan kapabilitasnya untuk
mengorganisasikan dan melaksanakan rangkaian tindakan yang dibutuhkan untuk
menghasilakan pencapaian tertentu. Efikasi diri juga perasaan seseorang bahwa
dirinya mampu menangani tugas tertentu dengan efektif. Kebanyakan orang
berpendapat berasumsi bahwa efikasi diri sama dengan konsep diri atau self
esteem tetapi ternyata tidak, berikut perbedaan antara keduanya:
Tabel 1
Perbedaan Efikasi Diri
dengan Konsep Diri
Efikasi
Diri
|
Konsep
Diri
|
Berorientasi masa
depan
|
Kontrak yang lebih
global
|
Spesifik konteks
tentang kompetensi untuk mengerjakan tugas tertentu
|
Berisi banyak
persepsi tentang self
|
Difokuskan dengan
kemampuan diri sendiri(anda) untuk menyelesaikan tugas tertentu dengan sukses
tanpa perlu membandingkan
|
Berkembang sebagai
hasil perbandingan eksternal dan internal dengan menggunakan orang lain
|
Dibanding self esteem, efikasi diri
berkaitan dengan penilaian tentang kapabilitas pribadi, self esteem berkaitan
dengan penilaian tentang harga diri.tidak ada hubungan langsung antara self esteem
dan efikasi diri. Ada kemungkinan
untuk merasa sangat mampu dibidang tertentu dan masih tetap tidak memiliki
tingkat self esteem yang tinggi atau sebaliknya. Contohnya: saya memiliki
efikasi diri yang sangat rendah untuk menyanyi tetapi self esteem saya tetap
tak terpengaruh, mungkin karena kehidupan saya tidak menuntut kemampuan
menyanyi, akan tetapi efikasi diri untuk mengajarkan pembelajaran tertentu
mulai turun setelah mengalami beberapa pengalaman buruk, maka saya akan tahu
bahwa self esteem saya pasti akan berpengaruh.
Sumber-sumber
Efikasi Diri
1. Mastery
experince adalah pengalaman langsung kita, sumber efikasi yang paling kuat.
Kesuksesan menaikkan keyakinan efikasi diri sementara kegagalan menurunkan
efikasi.
2. Tingkat
Arousal mempengaruhi sfikasi diri tergantung arousal itu diinterpretasikan.
Pada saat anda menghadapi tugas tertentu apakah anda cemas atau kawatir
(menurunkan efikasi) atau bergairah dan “psyched” menaikkan efikasi
3. Vicarious
Experience (pengalaman orang lain), seseorang memberikan contoh penyelesaian
4. Persuasi
sosial: umpan balik atas spesifik atas kerja. Persuasi sosial sendiri dapat
membuat siswa mengerahkan usaha, mengupayakan strataegi-strategi baru, atau
berusaha cukup keras untuk mencapai kesuksesan.
Bagaimana
efikasi mempengaruhi motivasi?
Efikasi
yang lebih besar menimbulkan usaha yang lebih besar, persistensi ketika
menghadapi kemunduran, tujuan yang lebih tinggi dan menemukan strategi baru
ketika yang lama gagal. Akan tetapi, bila sense of efficacy rendah, orang
mungkin sama sekali menghindari tugas atau mudah menyerah ketika timbul
masalah.
Teacher’s Sense of
Efficacy
Salah
satu diantara beberapa karakteristik guru yang berhubungan dengan prestasi
siswa adalah keyakinan efikasi guru bahwa dirinya dapat menjangkau bahwa siswa
yang paling sulit sekalipun untuk membantu mereka belajar. Guru dengan sense of
efficacy tinggi bekerja lebih keras, bertahan lebih lama, dan tidak begitu
banyak mengalami burn out. Sense of efficacy guru lebih tinggi
disekolah-sekolah yang guru-guru lainnya dan para administrator memiliki
ekspektasi tinggi atas siswa dan gurunya menerima bantuan dari sekolahnya dalam
mengatasi berbagai masalah instruksional maupun manajemen. Efikasi tumbuh dari
kesuksesan ril dengan siswaa, sehingga pengalaman atau pelatihan apapun yang
membantu anda sukses dalam tugas pengajaran sehari-hari akan memberi anda
fondasi untuk mengembangkan sense of efficacy dalam karier anda.
Faktro yang terlibat
dalam self regulated Learning
Salah
satu tujuan penting pengajaran adalah untuk mempersiapkan siswa untuk belajar
seumur hidup. Untuk mencapai tujuan ini, siswa harus menjadi self regulated
learners, artinya mereka harus memiliki kombinasi antara pengetahuan, motivasi
untuk belajar dan volition (kemauan0 yang menyediakan keterampila dan kemauan
untk belajar secara mandiri dan efektif. Pengetahuan mencangkup pengetahuan
tentang self, subjek, tugas, strategi pembelajaran, dan konteks-konteks untuk
aplikasi. Motivasi untuk belajar memberikan komitmen dan kemauan adalah
penyelesaian yang menangkal distraksi dan memproteksi persistensi.
Self Regulatif Learning
Cycle
Ada
beberapa model self regulated learning. Winne dan hadwin mendeskripsikan sebuah
model 4 fase: menganalisis tugas, menetapkan tujuan dan menyusun rencana,
menerapkan taktik untuk menyelesaikan tugas dan meregulasi pembelajaran.
Zimmerman menyebutkan tiga fase serupa: forethought (yang mencakup menetapkan
tujuan, membuat rencana, efikasi diri, dan motivasi, performance (yang
melibatkan pengendalian diri dan pemantauan diri), dan reflection (yang
mencangkup evaluasi diri dan adatasi yang membawa ke fase
foretought/perencanaan lagi).
Bagaimana
guru dapat mendukung, seharusnya melibatkan siswa dalam tugas-tugas yang
bermakna dan kompleks yang membutuhkan waktu lama memberi mereka kontrol atas
protes dan produk belajarnya, mereka perlu membuat pilihan-pilihan. Melibatkan
siswa dalam menetapkan kriteria untuk mengevaluasi proses dan produk
pembelajarannya, lalu memberi mereka kesempatan untuk menilai kemajuan dengan
menggunakan standar tersebut. Terakhir, beri dorongan kepada siswa untuk
bekerja secara kolaburatif dengan dan mencari umpan balik dari sesama teman.
B. Teori Belajar Konstrutivisme
1. Pengertian dan teori belajar konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan sebuah istilah yang diterjemahkan secara
luas oleh para filsuf, psikolog pendidikan, dan guru(Palinscar,1998; Phillips,
2000). Para filsuf berargumen mengenai validitas pemahaman mereka mengenai
konstruktivisme, dan ada tidaknya kesalahan penafsiran mengenai hal itu.
Psikolog pendidikan mempelajari konstrukstivisme sebagai teori
pembelajaran dan mempertimbangkan implikasinya terhadap proses belajar
mengajar. Untuk para pengajar, teori ini mengedepankan isu mengenai kepantasan
dalam berbagai objektif pembelajaran, pendekatan terhadap instruksi, dan peran
penugasan dalam pembelajaran.
Konstruktivisme
dapat dideskripsikan sebagai sebagai sebuah visi pembelajaran yang menyarankan
agar seorang siswa dapat membuat
kesimpulan terhadap materi yang mereka pelajari, daripada menerima
langsung dari sumber lain (misalnya., orang lain atau media bacaan) (Bradsford
et al., 2004). Definisi ini bisa kita artikan bahwa seorang siswa dapat
mengkonstruksi pengertiannya sendiri terhadap sesuatu hal, dikarenakan
penalaran itu masuk akal bagi mereka, karena lebih
berfokus kepada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka.
Siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi.
2. Konstruktivisme kognitif
Konstruktivisme kognitif
didasarkan pada teori Piaget yang berfokus pada konstruksi pengetahuan internal
seseorang (Greeno et al., 1996; Meter & Stevens, 2000; Nuthal, 1999a).
teori ini menekankan pada pencarian tiap individu untuk mendapatkan makna saat
mereka berinteraksi, menguji, dan memodifikasi suatu pola menarik yang terjadi
di lingkungannya( Parker & Goichea, 2000). Interaksi social mempengaruhi
prosesnya, tetapi kebanyakan sebagai pemicu dalam permasalahan kognitif
seseorang (Palincsar, 1998).
Konstruktivisme kognitif menginterpretasikan bahwa
seorang anak dapat memecahkan suatu permasalahan dengan merekonstruksi
pemikirannya untuk mengakomodasi
informasi baru. Bagi pengajar, interpretasi kebahasaan dari hal ini menegaskan
acktivitas pembelajaran berdasarkan pengalaman dan orientasi temuan baru. Sebagai contoh,
seorang siswa paling effektif mempelajari matematika apabila dia mengetahui
rumusannya pada saat dia menyusun sendiri baloknya sendiri, dibandingkan pada
saat dia melaihatnya disusun oleh guru.
Interpretasi ini menjadi
dilemma bagi pendidik karena hal ini “tidak mempercayai usaha pembelajaran secara langsung” (Resnick &
Klopfer, 1989, p.3). interpretasi tersebut menyarankan agar interaksi guru –
siswa itu sangat penting, tapi guru harus membatasi diri agar tidak memaparkan
pemikiran mereka kepada perkembangan pembelajaran siswa (DeVries, 1997).
3. Konstruktivisme social.
Konstruktivisme social
menurut Vygotsky, 1978, merupakan bentuk konstruktivisme yang menyarankan agar
seorang siswa membentuk pemahamannya dalam konsep social dan kemudian memahami
dan mendalaminya (Brunning et al., 2004; Horn, 2003). Menurut konstruktivisme
social, proses membagi pemahaman individual siswa membentuk pemahaman bersama
yang tidak mungkin didapatkan sendiri (Gauvain, 2001; Greeno et al., 1996)
Interpretasi
konstruktivisme social membantu memecahkan dilemma mengenai peran seorang guru.
Tidak menyarankan guru untuk terlalu
ikut campur agar siswa dapat melakukan pekerjaannya secara alami,, seperti
teori Piagetian (Resnick & Klopver, 1989, p.4). Konstruktivisme social
menegaskan peran guru dan menyarankan agar guru mempertimbangkan pertanyaan
mendasar dalam mengajar: bagaimana caranya mengatur dan mengimplementasikan
aktivitas belajar, memotivasi siswa, dan menugaskan pembelajaran. Jawabanya
berfokus pada memfasilitasikonstruksi pemahaman siswa melaluiinteraksi social
(Flemming & Alexander, 2001; Snuell, 1996). Melalui sudut pandang
konstruktivisme social, menciptakan situasi dimana siswa dapat bertukar ide dan
berkolaborasi dalam memecahkan masalah
merupakan peran penting guru (R. Anderson et al., 2001; Meter & Stevens,
2000).
a.
Teori pembelajaran sosiokultural
Teori pembelajaran
sosiokultural merupakan bentuk tteori yang menegaskan dimensi social dari
pembelajaran, menempatkan penekanan pada konteks budaya dimana proses
pembelajaran terjadi(Kozulin, 1998; Palinscar, 1998). Teori pembelajaran
sosiokultural mengingatkan kita bahwa
rumah dan komunitas siswa sangat mempengaruhi pembelajaran (Rogoff, 2003;
Roggof, Turkanis, Bartlett, 2001). Di beberapa rumah, seorang anak tidak
dipandang sebagai partner bicara yang setara, dimana di rumah lainnya anak
sering berbicara secara terbuka dengan orang dewasa mengenai beragam bahasan
(Au, 1992; Tharp & Gallimore,1991).
b.
Kelas sebagai komunitas pelajar
Kelas sebagai komunitas
pelajarmerupakan lingkungan pembelajaran dimana siswa dan guru bekerja sama
untuk membantu pencapaian tujuan (A. Brown & Campione, 1994; Palincsar,
1998).
Berikut adalah
karakteristik kelas sebagai komunitas pelajar:
(1) Seluruh siswa aktif
berpartisipasi dalam pembelajaran
(2) Siswa dan guru bekerja
sama untuk membantu proses belajar
(3) Interaksi terjadi
antaraa guru-siswa dan siswa-siswa
(4) Guru dan siswa
menghargai perbedaan pendapat
(5) Pemikiran termasuk
proses pembelajaran
c.
Kognitif
apprenticeship
Kognitif apprenticeship merupakan proses dimana siswa
berkemampuan rendah berdampingan dengan yang lebih ahli dalam mengembangkan kemampuan kognitif,
seperti membaca, menulis, atau memecahkan masalah (Englert, Berry, &
Dunsmoore, 2001; Palincsar, 1998).
Terdapat
lima komponen Kognitif apprenticeship:
(1) Model - Guru
mencontohkan terlebih dahulu
(2) Scaffolding – guru
menanyakan hal berkaitan topic bahasan sebagai petunjuk(clues)
(3) Verbalisasi – siswa
menjelaskanpengertian mereka melaui kata-kata
(4) Meningkatkan
kompleksitas – guru memberikan topic yang lebih rumit dari yang sudah dikuasai
siswa
(5) Eksplorasi - siswa menanyakan pemahaman siswa mengenai
materi.
d.
Situasi kognitif
Suatu pemikiran yang
menyarankan bahwa pembelajaran insting alami secara social, dimana kita tergantung pada hal itu, dan
tidak dapat dipisahkan dari konteks dimana kejadian itu berlangsung (Gauvain,
2001; King, @000; Rogoff, 1990).
4.
Karakteristik
Pembelajaran Secara Konstruktivisme
Walaupun terdapat
beragam interpretasi, banyak konstruktivis menyetujui empat karakteristik yang
mempengaruhi pembelajaran (Bruning et al., 2004; R. Mayer, 1996).
Karakteristik
Konstruktivisme
a) Siswa mengkonstruksi pengetahuan
yang masuk akal bagi mereka.
b) Pembelajaran baru tergantung pada
pemahaman yang didapat saat ini.
c) Interaksi social mendukung proses
pembelajaran.
d) Pembelajaran yang sangat bermakna
hadir di dalam praktek kehidupan nyata.
Penugasan di dunia nyata (otentik) merupakan aktivitas untuk
mengembangkan pemahaman yang dapat digunakan diluar kelas. Selain itu yang
paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan
kepada siswa . siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri.
Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat
informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri
ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan
strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga
kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka
mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi , tetapi harus diupayakan agar
siswa itu sendiri yang memanjatnya.
C. Hasil dari dari konstruksi pengetahuan
Kita telah mendeskripsikan pemikiran bahwa manusia secara insting
mengorganisir pengalamannya dalam usahanya untuk memahami dunia (Marinoff,
2003), dan mereka mulai melakukannya pada saat balita(Quinn, 2002). Salah satu
hasil-apa yang sebenarnya dibentuk oleh seorang siswa-adalah konsep.
1.
Konsep
Konsep merupakan
konstruksi mental atau representasi sebuah kategori yang memungkinkan seseorang
untuk mengidentifikasi apakah sesuatu
hal merupakan contoh atau bukan terhadap suatu kategori(Schunk, 2004, p.
196)konsep dikonstruksi berdasarkan pengalaman kita dan merupakan dasar
pemikiran seseorang(Ferrari & Elik, 2003).
a.
Teori pembelajaran pemahaman
Terdapat tiga focus
teori pembelajaran pemahaman, yaitu: karakteristik, prototype atau
purwarupa, dan contoh penting.
Beberapa konsep seperti
kotak, garis bujur atau kata kerja, memiliki karakteristik yang jelas (kadang
disebut attribute atau fitur), yang merupakan konsep dalam mendefinisikan
elemen(Medin, Proffit, & Schwartz, 2000). Teori yang berlandaskan konsep pembelajaran ini telah diselidiki oleh peneliti
sebelumnya(e.g., Bruner, Goodenow, & Austin, 1956) yang menemukan bahwa
orang memilah konsep berdasarkan aturan dasar, atau mendefinisikan karakter
masing masing(Bourne, 1982).
Teori kedua mengenai
teori pembelajaran pemahaman menyarankan bahwa untuk konsep seperti democrat,
republic, atau bahkan sebuah mobil, manusia membentuk suatu purwarupa,
representasi terbaik dari suatu kategori(Hampton, 1995; Medin et al., 2000).
Purwarupa tidak harus berbentuk fisik.
Purwarupa bisa juga berbentuk abstrak, dan dibentuk berdasarkan contoh
pengalaman seseorang(Reisberg, 2006; B. Ross & Spalding, 1994).
Teori ketiga teori
pembelajaran pemahaman tidak harus berbentuk purwarupa dari apa yang mereka
hadapi, melainkan contoh yang paling banyak ditemukan dari suatu konsep (Medin
et al., 2000).
b.
Contoh: Kunci Dalam Konsep Pembelajaran Dan
Pengajaran
Saat sebuah konsep
memiliki karakteristik konkrit, pembelajaran disederhanakan (Tennyson
&Cocchiarella, 1986). Mengesampingkan kerumitan konsep, kunci dari kosep
pengajaran adalah memberikan pengalman kepada para siswa dengan seperangkat
contoh yang dikombinasikan dengan definisi yang menggaris bawahi karakteristik
inti (Schunk, 2004; Tennysonn & Cocciarella, 1986). Dalam suatu konsep pembelajaran,
guru dapat mempresentasikan definisi dan mengilustrasikannya dengan contoh,
atau mendampingi siswa untuk mengkonstruksi suatu konsep.
c.
Pemetaan Konsep : Strategi Pembelajaran
Konsep tidak berada
didalam isolasi. Mereka berkaitan dalam skema yang rumit. Pemetaan konsep
adalah strategi pembelajaran dimana siswa membentuk hubungan visual diantara
konsep (Liu, 2004; R. Mayer, 2002). Pemetaan konsep menggarisbawahi effek dari
organisasi, imajinasi, dan kemampuan untuk memproses memori untuk menjembatani konsep
yang berarti (D. Robinson, Katayama, Dubois, & Devaney, 1998).
2.
Skema
Skema adalah hasil lainnya dari konstruksi pembelajaran.
Skema merupakan struktur kognitif yang mengorganisir informasi menjadi system
yang bermakna. Konsep dan attributnya dapat dipandang sebagai skema pendahuluan
(Schunk, 2004)
3.
Kesalahan Pemahaman Dan Perubahan Pemahaman
Dengan semua konstruksi
penegetahuan, pemikiran siswa dipengaruhi oleh pengetahuan dasar, ekspektasi,
kepercayaan, dan emosinya, yang terkadang mengarah pada penyimpulan yang salah
(Dole & Sinatra, 1998; Willard-Holt, 2003).
D. Implikasi Teori
Konstruktivistik pada Pembelajaran Pendidikan
Bagi kaum konstruktivis, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan suatu penciptaan suasana yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi aktif guru bersama-sama siswa dalam membangun pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah belajar itu sendiri. Menurut prinsip konstruktivisme, guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan sebagaimana mestinya. Sebagai fasilitator dan mediator tugas guru dapat dijabarkan sebagai berikut:
Bagi kaum konstruktivis, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan suatu penciptaan suasana yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi aktif guru bersama-sama siswa dalam membangun pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah belajar itu sendiri. Menurut prinsip konstruktivisme, guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan sebagaimana mestinya. Sebagai fasilitator dan mediator tugas guru dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Menyediakan
pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam merencanakan
aktivitas belajar, proses belajar serta hasil belajar yang diperolehnya. Dengan
demikian menjadi jelas bahwa memberi kuliah atau ceramah bukanlah tugas utama
guru.
2. Memberikan
sejumlah kegiatan yang dapat merangsang keingintahuan siswa dan mendorong
mereka untuk meng-ekspresikan gagasan-gagasannya serta mengkomukasikan-nya
secara ilmiah;
3. Menyediakan
sarana belajar yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Guru hendaknya
menciptakan rangsangan belajar melalui penyediaan situasi problematik yang
memungkinkan siswa belajar memecahkan masalah;
4. Memonitor,
mengevaluasi dan menunjukkan tingkat perkembangan berpikir siswa. Guru dapat
menunjukkan dan mempertanyakan sejauh mana pengetahuan siswa untuk menghadapi
persoalan baru yang berkaitan dengan pengetahuan yang dimilikinya. (Ditulis
Oleh Drs.Agustinus Maniyeni, M.Pd - Dalam buku “Wawasan Pembelajaran” halaman
1-15)
Berdasarkan ciri-ciri
pembelajaran konstruktivisme, berikut ini dipaparkan tentang penerapan di
kelas:
- Mendorong
kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar
Dengan menghargai gagasa-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir mandiri, berarti guru membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka. Para siswa yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar mereka sendiri serta menjadi pemecah masalah (problem solver) - Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon. Berfikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa merespon atau menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan penyelidikan.
- Mendorong
siswa berpikir tingkat tinggi
Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa untuk mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual yang sederhana. Guru mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui analisis, prediksi, justifikasi, dan mempertahankan gagasan-gagasan atau pemikirannya - Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau
diskusi dengan guru dan siswa lainnya
Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuannya sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa aman dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat bermakna akan terjadi di kelas - Siswa
terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi
Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai macam prediksi, seringkali siswa menghasilkan berbagai hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme dalam belajar memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji hpotesis yang mereka buat, terutama melalu diskusi kelompok dan pengalaman nyata - Guru
memberikan data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif
Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Kemudian guru membantu para siswa untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena alam tersebut secara bersama-sama.
Teori kontruktivis didasari ole ide bahwa pembelajar
mengembangkan pengetahuannya secara aktif, dan bukan menerimanya secara pasif
dalam bentuk paket, dari guru atau sumber-sumber dari luar. Teori –teori
pembelajaran kontruktivis difokuskan pada bagaimana orang membuat arti, baik
mereka buat sendiri. Konstruktivisme adalah pandangan yang menekankan pada
peran aktif pembelajar pemahaman dan memahami informasi. Kontruktivisme adalah
istilah luas yang digunakan ole para filsuf, perancang kurikulum, psikolog,
pendidik, dan lain-lain. Perspektif
kontruktivis berpijak pada, antara lain, penelitian piaget, Vygotsky, para
psikollogi Gestalt, Barlett, dan Brunner, maupun falsafah John Dewey. Tidak ada
teori kontruktivis tunggal, tetapi sebagaian besar kontruktivis memiliki dua
ide utama yang sama: pembelajar aktif dalam mengonstruksikan pengetahuannya
sendiri dan bahwa interaksi sosial penting bagi pengontruksian pengetahuan
(Brunning, Schraw, Norby, & Ronning, 2004) kontruktivisme memandang belajar
lebih dari sekedar menerima dan memproses informasi yang disampaikan oleh guru
atau teks. Pembelajaran adalah kontruksi pengetahuan yang bersifat aktif dan
personal. Jadi banyak teori dibidang ilmu kognitif yang memasukkan jenis
kontruktivisme tertentu karena teori-teori tersebut berasumsi bahwa
individu-individu mengkonstruksikan struktur kognitifnya sendiri saat mereka
menginterpretasikan pengalamannya dalam situasi tertentu.
Salah satu cara untuk mengorganisasikan
pandangan-pandangan kontruktivis adalah berbicara tentang dua bentuk
kontruktivisme: kontruksi psikologi dan kontruksi sosial. Konstruksi psikologis
memfokuskan pada bagaimana individu-individu menggunakan informasi, sumberdaya,
dan bantuan dari orang lain untuk membangun dan meningkatkan model mental dan
strategi problem solvingnya. Sebaliknya konstruksi sosial: melihat belajar
sebagai meningkatkan kemampuan kita untuk berpartisipasi bersama orang-orang
lain dalam kegiatan-kegiatan yang bermakna dalam budaya.
1. Konstruktivisme
Psikologis/ Individual
Konstruktivisme Psikologis tertarik dengan bagaimana
individu-individu membangun elemen-elemen tertentu dari aparatus kognitif atau
emosionalnya (Phillips: 1997). Para konstruktivis ini tertarik dengan pengetahuan,
keyakinan, konsep diri, atau identitas individual, sehingga mereka
kadang-kadang disebut konstruktivis individual atau konstruktivis kognitif,
mereka semua memfokuskan pada kehidupan psikologis salam diri orang. Pendekatan
pemprosesan informasi tentang pembelajaran menganggap pikiran manusia sebagai
sebuah simtem pemroses simbol. Sistem ini mengonversi input sensorik menjadi
struktur simbol (proposisi, gambaran, atau skema) dan kemudian memproses
(merehearse atau mengelaborasikan)struktur simbol itu sehingga pengetahuan
dapat disimpan dalam ingatan dan di-retrieve. Dunia luar dianggap sumber input,
tetapi begitu sensasi dipersepsi dan memasuki working memory, tugas pentingnya
diasumsikan terjadi “dalam kepala” individu. Sebaliknya perspektif konstruktivis
psikologi (kognitif) Piaget kurang memperhatikan representasi-representasi yang
benar dan lebih tertarik dengan makna sebagaimana yang dikontruksikan oleh
individu. Perhatian khusus Piaget adalah pada logic dan pengontruksian
pengetahuan universal yang tidak dapat dipelajari secara langsung dari
lingkungan pengetahuan seperti konservasi atau reversibilitas. Pengetahuan
semacam itu berasal dari merefleksikan dan mengkoordinasikan kognisi atau
pikiran kita sendiri, bukan dari memetakan realitas eksternal. Piaget melihat
lingkungan sosial sebagai salah satu faktor perkembangan yang penting, tetapi
tidak percaya bahwa interaksi sosial merupakan mekanisme utama untuk mengubah
pemikiran, sebagai psikolog menyebut jenis konstruktivisme Piaget adalah Kontruktivisime
“Gelombang pertama”. Konstruktivisme gelombang pertama fokus pada sumber-sumber pengetahuan
individual dan psikologis. Sedangkan konstruktivisme radikal adalah pengetahuan
diasumsikan merupakan konstruksi individual, pengetahuan tidak dapat dinilai
benar atau salah.
2. Konstruktivisme
Sosial Vygotsky
Vygotsky
percaya bahwa interaksi sosial, perangkat kultural, dan aktivitas menentukan
perkembangan dan pembelajaran individual. Meletakkan belajar dalam konteks
sosial dan kultural disebut konstruktivisme “gelombang kedua”. Oleh karena
teori ini, banyak menyadarkan diri pada interaksi sosial dan konteks kultural
untuk menjelaskan pembelajaran, kebanyakan psikolog mengklasifikasikan Vygotsky
sebagai seorang konstruktivis sosial (Palincsar:1998). Akan tetapi sebagaian
teoretisi mengkategorikannya sebagai konstruktivis psikologis karena ia
terutama tertarik dengan perkembangan dalam diri individu. Dalam pengertian
tertentu Vygotsky adalah keduanya. Dalah satu keunggulan dari teori
pembelajarannya adalah karena ia memberikan cara untuk mempertimbangkan yang
bersifat psikologis maupun sosial: ia
menjembati keduanya.
Cara Pengetahuan
Dikonstruksikan:
Tipe
|
Asumsi tentang
Pembelajaran dan Pengetahuan
|
Contoh Teori
|
External Direction
|
Pengetahuan
didapat dengan mengkonstruksikan representasi dunia luar. Pengajaran
langsung, umpan balik dan penjelasan memengaruhi pembelajaran. Pengetahuan
akurat sejauh ia merefleksikan “bagaimana suatu hal sesungguhnya” didunia
luar
|
Informatin processing
(pemerosesan informasi)
|
Internal Direction
|
Pengetahuan
dikonstruksikan dengan mentransformasi, mengorganisasikan, dan
mereorganisasikan pengetahuan sebelumnya, pengetahuan bukan cermin dunia
luar, meskipun pengalaman memengaruhi pemikiran dan pemikiran memengaruhi
pengetahuan. Ekspolarasi dan penemuan lebih penting dibanding pengajaran
|
Piaget
|
Both External dan
Internal Direction
|
Pengetahuan
dikonstruksikan berdasarkan interaksi sosial dan pengalaman. Pengetahuan
merefleksikan dunia luar yang disaring melalui dan dipengaruhi oleh budaya,
bahasa, keyakinan, interaksi dengan orang lain, pengajaran langsung, dan
modeling. Guided discovery, pengajaran, model, dan coaching maupun
pengetahuan sebelumnya, keyakinan dan pemikiran individu mempengaruhi
pembelajaran.
|
Vygotsky
|
GLOSSARY
Mastery Experience:
Pengalaman langsung kita sendiri, sumber informasi efiksasi yang paling kuat
Arousal:
reaksi fisik dan psikologis yang menyebabkan seseorang merasa alert (siaga),
bergairah atau tegang
Vicarious experiences:
pencapaian yang dimodelkan oleh orang lain
Modeling:
perubahan dalam prilaku
Social persuasion:
umpan balik atas kinerja salah satu sumber efiksasi diri
Setbacks:
kemunduran
The importans of
culture: pemahaman dan penerimaan guru terhadap
perbedaan kultural dapat mencegah konflik antara siswa, guru dan orang tua.
Teacher’s sense of
efficacy: keyakinan guru bahwa dirinya mampu
menjangkau bahwa siswa yang paling sulit dan membantu mereka belajar
Regulasi diri:
proses mengaktifkan dan mempertahankan pikiran, prilaku, dan emosi untuk mencapai
tujuan
Volition:
kekuatan kemauman, disiplin diri, gaya bekerja yang memproteksi kesempatan
untuk mencapai tujuan dengan menerapkan self regulated learning
Learning:
Anita mendiskusikan perbedaan antara teori behavioral, kognitif dan
konstruktivis, bersama dampaknya pada pengajaran.
Self regulated learning:
pandangan tentang belajar sebagai keterampilan dan akan diterapkan untuk
menganalisis tugas-tugas belajar, menetapkan tujuan dan merencanakan cara
melaksanakan tugas, enerapkan keterampilan, dan khususnya melakukan penyesuaian
pada bagaimana pembelajaran dilaksanakan
Agency:
kapasita untuk mengoordinasikan berbagai keterampilan belajar, motivasi dan
emosi untuk mencapai tujuan anda.